(Catatan
Singkat Bedah Buku dan Malam Apresiasi
Kitab
Puisi Rohmantik Irman Syah)
Oleh: Mahareta
Iqbal Jamal *)
“Jangan katakan apa yang ingin kau katakan.
Panggungkan.”
Setiap
orang yang membacakan puisi memiliki cara, ciri, dan konsep tersendiri dalam
menghadirkan puisi di atas panggung. Baik itu yang “bermain” dalam tataran
warna vokal, gestur atau gerak tubuh, intonasi, ritme, hingga “bercumbu” dengan
puisi lewat emosi yang diperlihatkan, dan lain sebagainya. Hal yang dijabarkan
di atas merupakan elemen yang sejatinya sering dipergunakan sebagai peranti
dalam membacakan puisi agar menarik simpati penonton untuk masuk ke dalam pembacaannya.
Tak
jarang, seorang pembaca puisi yang berfokus pada ranah ini melakukan
bongkar-pasang konsep pembacaan puisi lewat eksperimentasi bentuk dalam mencari
hngga menemukan bentuk itu sendiri. Bentuk inilah yang kemudian dipertontonkan dari
satu panggung ke panggung yang lain secara kontiniu, hingga nantinya bentuk
tersebut menjadi ciri bagi si pembaca puisi agar ia dikenal sebagai “a”, bukan
epigonnya “b”.
Kira-kira seperti itu. Meski, dalam beberapa “kasus”, ada juga
yang membacakan puisi hanya sekadar membacakannya saja tanpa peduli
menghadirkan atau pun memanfaatkan ruang dan interaksi penonton sebagai penciptaan
momentum puitik dalam pembacaan puisi tersebut. Kita (penonton) sering
mendengar istilah musikalisasi puisi, dramatisasi puisi, visualisasi puisi, dan
sasi-sasi lainnya. Tapi, Rohmantik?
Rohmantik: Identitas Diri
Irman Syah
Jika
bicara puisi dan puisi yang dipanggungkan, tentunya nama Rohmantik sudah tidak
asing lagi bagi penikmat ataupun pegiat seni pertunjukan di Indonesia, khususnya
di Sumatera Barat. Rohmantik. Nama Rohmantik ini seakan sudah melekat pada
badan dan jiwa seorang penyair bernama Irman Syah atau biasa dipanggil dengan
sebutan Ucok Mancah. Penyair kelahiran Magek (Tialatang Kamang) 55 tahun yang
lalu itu adalah seorang penyair “musafir” yang di setiap perjalanannya, ada
saja yang ia tinggalkan sebelum akhirnya meneruskan perjalanan.
Mendirikan Teater Langkah Unand
di Padang, melanjutkan langkah ke Payakumbuh dengan mendirikan komunitas Janjang, bermukim di Medan dan
mendirikan Komunitas Panggung Terbuka,
hingga melanjutkan ekspansi dengan merantau ke pulau Jawa, tepatnya di Jakarta
dan Bekasi, lalu mendirikan Komunitas
Planet Senen dan Sastra Kalimalang.
Meski, di dalam sebuah catatan, beliau sempat juga berada di beberapa tempat
dalam proses pencariannya sebagai seorang penyair “musafir”, seperti Kayutanam,
Sitiung, Batam, Bogor, Semarang, dan Ternate.
Rohmantik
telah menyatu dengan darah dan daging Irman Syah dalam bentuk pertunjukan
panggung puisi. Pada Maret 2019, Irman Syah mencoba menghadirkan Rohmantik ke
dalam medium lain; kitab puisi. Puisi yang berjudul Rohmantik yang ditulis Irman Syah pada tahun 2006 kemudian dipilih
sebagai judul dari kitab puisi tersebut. Puisi dan Irman Syah sudah terkristal
dalam diksi Rohmantik, sehingga tak
heran diksi tersebut dijadikan hal yang pamungkas untuk mendobrak kepopuleran
kitab puisi tersebut agar ia lahir tidak di atas “keterasingan” atau seolah tak
berjarak dari diri Irman Syah dan Rohmantik itu sendiri. Sehingga kitab puisi
tersebut harus juga “seolah-olah” menjadi Rohmantik. Padahal, tidak harus juga
karena buku dan panggung adalah dua medium yang berbeda.
Rohmantik
terdiri dari dua kata, roh dan mantik, yang berarti jiwa dan akal. Konsep
panggung puisi yang dibentuk oleh Irman Syah berakar dari kaba, silek, shalawat
dulang, dan dendang. Irman Syah mencampurkan keempat komponen tersebut untuk
menghadirkan Rohmantik ke atas panggung. Pembacaan puisi dengan permainan bansi
dan dendang yang Irman Syah hadirkan lebih bereksperimen pada bebunyian, kelirihan,
ritme, rasa, interaksi penonton, pemanfaatan ruang, kerewelan, tingkah perangai,
semua menjadi berkelindan.
Inilah
yang kemudian dapat membentuk momentum puitik tersebut lewat kepiawaian dan
spontanitas Irman Syah dalam memanggungkan puisi dan hanya bisa hadir lewat
sesuatu yang ia namakan dengan Rohmantik. Melalui inilah kemudian Irman Syah
dikenal sebagai penyair panggung puisi dengan nama panggung Rohmantik. Rohmantik
telah menjadi identitas diri bagi Irman Syah lewat panggung dan puisi.
Poelang
Kampoes Pulang ke Ragi dan
Boekan Tamoe
Pada
tanggal 24 Februari 2020 Teater Langkah bekerja sama dengan Labor Penulisan
Kreatif (LPK) mengadakan sebuah agenda yang bertajuk Poelang Kampoes Poelang ke Ragi yang mana agenda tersebut membedah
kitab puisi Rohmantik dan malam
apresiasi Boekan Tamoe. Pada agenda
bedah kitab puisi menghadirkan tiga pembicara, yaitu Dr. Fadlillah, M. Si
(akademisi), Ria Febrina, S.S., M.Hum. (akademisi), dan Yudilfan Habib dt
Monti, serta dimoderatori oleh Sudarmoko (akademisi).
Ria
Febrina mencoba mengerucutkan pembahasannya pada nilai-nilai kemanusiaan yang
ada di dalam kitab puisi Rohmantik. Ria
Febrina juga mengaitkannya dengan pembahasan perempuan dari masa ke masa yang
coba ditafsirkan melalui puisi-puisi Irman Syah, termasuk bagaimana perempuan
Minangkabau dulunya dan korelasinya dengan hari ini. Habib dt Monti mencoba mengarahkan
pembicaraan ke ranah personal beliau selama hidup dan berkarib dengan Irman
Syah hingga beliau menceritakan bagaimana proses Irman Syah dalam menemukan
jati diri, serta pembicaraan-pembicaraan mengenai kerja-kerja industrialisasi
di dalam perpuisian dan bidang kebudayaan.
Sementara,
Fadlillah mencoba menghadirkan perspektif lain lewat istilah “bahasa toilet”
melalui paradigma dunia terbalik lewat puisi Grafiti Toilet karya Irman Syah, dan mencoba mencari kesamaan-kesamaan
polanya dengan karya sastra yang lain. Fadlillah membahas sesuatu hal yang
saling berkontradiktif dengan nilai-nilai adiluhung yang telah mengakar di
dalam nilai-nilai agama, moral, yang bertolak-belakang dengan puisi Grafiti Toilet. Sesuatu hal yang baik
berasal dari tempat-tempat yang kotor, seperti toilet. Hingga Fadlillah mengambil kesimpulan bahwa Irman Syah menjawab
seluruh persoalan itu dengan satu kata, yakni rohmantik yang berarti kembali ke
roh: jiwa, nurani, iman, dan mantik: logika, akal budi, dan akal
sehat.
Pada
malam apresiasi bertajuk Boekan Tamoe
dimeriahkan oleh berbagai seniman dan komunitas seni lintas generasi yang
memiliki cara tersendiri juga dalam menghadirkan puisi-puisi dari kitab puisi Rohmantik ke panggung, seperti Rusli
Marzuki Saria, Zurmailis, Hermawan An, Ikhwanul Arif, Studio Merah, Komunitas Seni Nan Tumpah,
S. Metron Masdison, Mahatma Muhammad, Alvin Sena Bayu, Ilham Yusardi, Teater
Langkah, Mhd. Irfan, Saksopoem, UKS Unand, dll. Tentunya, malam apresiasi
ditutup dengan pertunjukan spesial dari Rohmantik
Performance.
Menonton atau Merekam
Pertunjukan?
Sesungguhnya
beberapa penonton yang asyik sendiri dengan gawai pintarnya dan sibuk merekam
selama acara berlangsung, terlihat sedikit mengganggu pemandangan selama
jalannya acara. Saya pribadi sedikit risih dengan hal tersebut. Kenapa kita
tidak menikmati acaranya saja dan mengarsipkan di ingatan kita masing-masing?
Acara
ini akan terasa khusyuk dan intim dinikmati jika sesi pendokementasian hanya
diserahkan dan dipercayakan kepada panitia dokumentasi, sehingga penonton tidak
perlulah ikut terlibat sebagai anggota dokumentasi dadakan di luar struktur
kepanitiaan. Jika ingin foto atau video selama acara, bisa saja diminta ke
bagian dokumentasi. Jika berkeras hati juga, kedepannya daftarkan diri sebagai
bagian dari struktur kepanitiaan. Sesimpel itu sebenarnya.
Bagaimana
jika yang hadir memenuhi kuota, atau bahkan lebih, akan berapa banyak gawai
pintar yang terangkat ke udara hanya untuk merekam? Hal demikian sesungguhnya
tak lain dan tak bukan hanya untuk menjaga kenyamanan dan kekondusifan selama
acara berlangsung agar perhatian penonton hanya berpusat pada satu titik saja,
bukan ke arah lain yang dengan “sengaja” membikin titik-titiknya sendiri. Hal
itu belum termasuk kepada kendala-kendala teknis seperti suara mikrofon yang
kecil, pergantian setting yang
memakan waktu, atau suara tawa dan obrolan penonton saat acara berlangsung. Semoga
kedepannya penonton lebih peka dan menghargai lagi. Semoga.
Meski
demikian, sebising atau sesibuk apapun penonton dengan cara menontonnya, bansi
Rohmantik tetap saja ditiup. Kesakralan bunyinya terus saja mengalun. Dendang
terus saja berusaha sampai ke ulu hati penonton. Gestur dan hentakan masih saja
serupa ketipak kuda di lintasan. Puisi yang dibacakan terus mencoba masuk ke
inti jantung. Dalam malam yang semakin larut, penonton mulai meninggalkan
tempat duduknya dan menanggalkan ke-rohmantik-an Irman Syah dari dalam diri, satu
per satu. Rohmantik menutup malam pertunjukan dengan gumam yang berirama Simarantang Tinggi. Malam terselamatkan!
Padang,
2020
*) Biodata
Singkat
Mahareta Iqbal Jamal lahir di
Padang, 11 Maret 1995. Sedang menamatkan studi di Jurusan Sastra Indonesia
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas. Bergiat di Metasinema FIB Unand dan
Lab. Pauh 9. Tulisan-tulisannya pernah dimuat di koran lokal dan media daring,
seperti Infoscreening.co, Garak.id, dan Geotimes.
No comments:
Post a Comment
SILAHKAN TINGGALkAN TANGGAPAN DI SINI