Oleh: Yeni Purnama Sari
Sejak dahulu, apa yang ditulis penyair ke
dalam sajak-sajaknya tiada pernah terlepas dari peristiwa-peristiwa yang
terjadi di alam dan kehidupan manusia. Peristiwa-peristiwa yang bergerak dalam
pusaran waktu, membentuk sebuah perulangan. Katakanlah: kelahiran, kematian,
cinta, kehilangan, rindu, kesepian, keriuhan, ketuhanan, keindahan alam, dan
sebagainya. Semua ini menjadi objek pengamatan dan perenungan yang tak
habis-habisnya, dan telah ditulis berulang-ulang ke dalam banyak sajak. Lalu,
apakah yang menjadikannya berbeda?
Rohmantik adalah kitab puisi tunggal pertama
Irmansyah, Penyair kelahiran Magek, 12 Oktober 1965. Diterbitkan pertama kali
oleh Jual Buku Sastra (Jbs), pada April 2019. Buku ini memuat 50 judul puisi
yang ditulisnya dalam kisaran tahun 1988-2012. Tema yang dibicarakan dalam
sajak-sajaknya cukup beragam. Mencakup peristiwa-peristiwa kehidupan,
catatan-catatan perjalanan, persoalan-persoalan dalam kehidupan sosial, baik di
kampung halaman maupun di tanah rantau yang ia jelang, persoalan-persoalan yang
mendera bangsa, percintaan, pergulatan dalam diri, keintiman dengan Tuhan.
Dengan kata lain, hal-hal yang menjadi pokok
persoalan dalam sajaknya sesungguhnya juga adalah hal yang sering kita jumpai
dalam keseharian. Namun, sekali lagi, kenapa hal ini terasa berbeda ketika kita
membaca persoalan-persoalan itu melalui sajak-sajak yang ditulis oleh Penyair
Panggung yang satu ini?
Untuk menemukan jawabannya, tentu saja kita
mesti menceburkan diri pada kedalaman sajak-sajaknya yang terdapat dalam kitab
puisi bertajuk Rohmantik ini, satu demi satu. Sebagai kitab puisi tunggal
pertamanya, Rohmantik menjadi semacam rangkuman dari catatan panjang perjalanan
seorang Irmansyah. Buku ini lahir setelah 33 tahun lebih ia berkarya. Bisa
dikatakan, puisi yang termaktub di dalamnya benar-benar yang
terpilih. Semacam sari dari sekian banyak karya yang telah ia ciptakan.
Kitab puisi ini dibuka dengan puisi “SONETA
BUAT IBUNDA” yang jelas diperuntukkan bagi sang bunda.
Pada bait pertama:
Kukenangkan wajah lusuh renta
tertikam matahari terang raya
adalah dikau bunda
yang selalu menyapa sebuah cita
....
Pada bait terakhir:
setiap langkahmu tak pernah surut
walau kau hanya berjanji
berjanji pada sebuah bakti
Magek, April 1988
(SONETA BUAT IBUNDA, halaman 1)
Magek adalah kampung kelahiran sang penyair
yang juga aktor ini. Berbicara kampung, ingatan akan sampai kepada ibu. Lewat
puisi ini, penyair mengenang sosok ibu. Segala petuah berhulu pada dendang
seorang ibu. Petuah-petuah yang menjadi pedoman hidup, sumber kekuatan. Pangkal
setapak sebelum tungkai diarak, jelang beribu perjalanan dijejak. Tempat pulang
setelah sekian mil jarak direntang antara kampung halaman dan perantauan.
Antara rindu dan ingatan masa silam. Adalah ibu, tempat memulangkan segala
keluh, tempat istirah mengeringkan peluh.
***
Kemudian, beranjaklah kita menuju puisi pada
halaman-halaman berikutnya. Ketika perjalanan sudah dimulai. Dan pada tiap
persimpangan, menyuguhkan peristiwa demi peristiwa. Hal-hal yang menyentak alam
pikir. Menimbulkan pergulatan batin. Membuka pintu-pintu renung bagi penyair.
Persoalan-persoalan hidup yang kemudian diterjemah ke dalam puisi. Puisi
sebagai jalan menemukan jawaban atas setiap pertanyaan dan keresahan
jiwa. Bukan sekadar kata, atau keluh kesah semata. Hampa dan dangkal makna.
Mari kita simak penggalan puisi berikut:
Ketika aku menjadi kata, seseorang selalu
saja memberatkan makna pada inti jiwa
Kemudian seorang lagi, sehingga semua
sepakat menggelariku dengan beragam sebutan:
tanah, motor, sawah, gedung, kota, pabrik,
atau berjuta sebutan lainnya
...
(SINGGASANA PENYAIR, halaman 3)
Bait pertama puisi ini menggambarkan ‘Aku’
yang melebur menjadi kata. Lalu, siapakah ‘Aku’? Apakah penyair? Apakah puisi?
Atau malah diri kita sendiri? Kita semua bisa saja menjadi ‘Aku’ dalam puisi
itu. Sebagai seorang penyair, kata adalah alat untuk menyampaikan gagasan. Buah
pikir. Menulis dengan jujur, sepahit apapun itu. Apapun yang ditulis, merupakan
cerminan pikiran. Bagaimana seseorang menyikapi hidup, memaknai setiap
peristiwa, segalanya akan membentuk jiwa. Segalanya mesti dinamai, meski dengan
sebutan yang memualkan sekalipun.
Kemudian pada bait lainnya:
...
Sebagai seorang yang telah menjadi kata
tentu aku ingin digelari sebutan indah,
melodius
dalam merindukan kenyataan:
Arrasy, nur, qur’an, nabi, khalifah, atau
perangkat tabi’-tabi’in yang bergerak luwes
atas nama kebenaran
(SINGGASANA PENYAIR, halaman 3)
Bait ini menyiratkan sebuah keadaan ideal
yang diinginkan setiap orang. Bagaimana kata-kata bersitahan di atas jalan
kebenaran. Mencatat hal-hal baik dan indah, sesuatu yang diidamkan dalam
kehidupan:
Bagiku tak ada yang teramat indah selain jiwa
yang menari menggapai awan dalam pergantian
musim, sebuah singgasana cinta-kasih,
tegur-sapa
saat pergi dan pulang dari tepian,
burung-burung
meningkap sayap di pohon mangga:
Aku kata lewat siulnya
Kemudian pada bait selanjutnya, tersirat
harapan dari ‘Aku’ yang telah lebur menjadi ‘Kata’:
...
Sebagai kata, aku ingin berada di beranda
putih
Merakit awan menjadi mendung, menanam
hujan bagi daun-daun kering
kubayangkan, alangkah bahagia menjadi janji:
Menebarkan kebijaksanaan sedalam-dalam kalam
Magek, 1989
Sederhananya, si ‘Aku’ ingin menjadi ‘Kata’
yang memiliki makna. Menjadi kalimat penuh hikmah, mengantarkan pemahaman
menuju hakikat. Menjadi berarti bagi kehidupan. Seperti hujan yang menyuburkan
jiwa-jiwa kerontang. Menjadi suluh penerang bagi diri yang kehilangan arah
pulang menuju Tuhan.
***
Menyelami satu demi satu puisi dalam buku
ini, dapat dikatakan sang penyair begitu mahir mengolah suatu persoalan yang
jadi objek perenungannya dengan perasaan mendalam. Melalui bahasa, diksi yang
kuat dan tepat, serta irama yang khas, apa yang dirasakan penyair tersampaikan
dengan amat baik. Setiap ragam rasa yang diterjemahkannya ke dalam kata sampai
kepada pembaca. Semacam ada roh yang bersemayam dalam tiap kata, yang
membuatnya hidup dan merasuk ke dalam jiwa. Sehingga pembaca turut merasakan
dan seperti mengalami sendiri peristiwa yang menjadi pokok persoalan dalam
sajak-sajaknya.
Melalui sajak ‘RUMAH BERTANGGA LUMUT’
misalnya, bagaimana ia menyusun kata demi kata, bait demi bait, diksi yang
dipilih, selanjutnya bagaimana irama yang dihasilkan dari tiap susunan dan
pilihan kata mengalun dengan halus dan indah, membuat sajak ini menjadi begitu
kuat, merasuk ke jiwa, pedih sayatnya. Hingga tanpa disadari pembaca pun jadi
turut merasakan amuk gelora cinta, kesangsian, juga kenyataan pahit
ketika sesuatu yang, padahal, amat dekat, tapi tak bisa dimiliki. Terlihat
jelas, tapi tak bisa diraba. Pintu yang nganga terbuka, tapi tak bisa dimasuki.
...
Naiklah pintamu, padahal tangga ini licin
sedang tanganmu hampir menjangkau hati
Horison, 1994
(RUMAH BERTANGGA LUMUT, halaman 21-22)
***
Ada 50 judul puisi yang termaktub dalam kitab
puisi ini. Ada pula di antaranya puisi yang baru selesai ditulis dalam rentang
tahun yang panjang. Selama itu pula, kata-kata diperam dalam perenungan yang
dalam. Sehingga ketika tiba masanya dituntaskan, puisi yang dihasilkan
benar-benar sudah ranum. Memiliki kekuatan makna dan menjadi utuh. Seakan ini
memberitahu kita, agar tidak perlu tergesa dalam menyelesaikan sesuatu. Biar
lambat, asal tuntas.
Sebagai seorang pejalan, banyak tempat yang
menjadi rumah bagi lahirnya puisi-puisi Irmansyah—katakanlah Ranah Minang
sebagai tanah kelahiran, Medan, Jakarta, Bogor, Solo, Jogja, Ternate, dan masih
banyak lagi tempat yang ditulis lebih spesifik. Puisi bisa lahir di mana saja.
Ketika duduk-duduk di rel kereta api, misalnya. Ketika menyeberangi Selat
Sunda. Atau ketika terbang melintasi angkasa—dengan burung besi tentunya. Ini
menunjukkan, bahwa Irmansyah bukan sekadar pejalan biasa. Perjalanan bukan
sekadar menebas jarak. Namun juga sebentuk upaya menempa jiwa. Seperti perjalanan
ke dalam diri, menempuh setapak paling sunyi. Ia berjalan dengan mata jiwa yang
menyala. Sehingga ia mampu menangkap suatu peristiwa yang selama ini mungkin
kita abaikan dan kita anggap sepele.
Kemampuannya menyelami setiap peristiwa
hingga ke dasar persoalan, menjadikan sajak-sajaknya memiliki kedalaman makna.
Dengan berjalan pelan, ia mampu menangkap suara-suara yang jauh tersuruk ke
dalam, terhimpit riuh kota. Merasakan denyut gelisah dan keresahan yang selama
ini luput dari pandangan. Keresahan yang berangkat dari dalam diri. Misalnya
saja ketika penyair melihat adanya ketimpangan, ketidakberesan yang tengah
melanda kehidupan di kampung halaman. Ketidakberesan itu juga menjalar hingga
ke lengang perantauan.
Seperti pada puisi ‘MUSIM-MUSIM BURUNG, ada
keresahan yang disiratkan penyair atas apa yang terjadi dalam tatanan kehidupan
sosial di kampung halaman. Pergeseran nilai-nilai, adat tradisi yang kehilangan
makna ulah perubahan zaman yang begitu gegas. Sebut saja tradisi merantau.
Tradisi ini bagi lelaki Minang pada awalnya bertujuan untuk mencari pengalaman,
belajar tentang hidup, menemukan jati diri, memperbaiki ekonomi, dan pada
akhirnya pulang ke tanah asal untuk membangun nagari. Membangkit batang
terendam.
Namun hari ini, tradisi merantau bukan lagi
(sekadar) bertujuan untuk mancapai hal-hal di atas. Melainkan hanya untuk
sebuah gengsi atau menghindari malu. Sehingga pepatah pun berubah, dendang
menjelma ratap mengiringi sayup irama saluang.
“oi malang laii...
Keratau madang di hulu,
buahnya dimakan burung
kini daun ditinggal ranting,
angin desir di Batang Agam...
Merantau hilangkan malu
amat susah hidup di kampung
berharap emas berkeping
tanah warisan dilelangkan!”
(MUSIM-MUSIM BURUNG, halaman 12)
Sudahlah kampung tergadai, di rantau melarat
pula. Kalaupun mendapat hidup di rantau, di kampung sudah tak ada lagi tempat
pulang. Jikalau memilih tak kemana-mana, umpat-puji pula yang datang. Sungguh
dilematis. Mau tidak mau, menjual tanah warisan menjadi satu-satunya jalan agar
dapat menempuh rantau. Persoalan yang kemudian muncul adalah, ketika sejengkal
demi sejengkal tanah warisan mulai beralih kepemilikan. Jatuh ke tangan pemilik
modal yang datang dari luar. mereka mendirikan bar, hotel-hotel menjulang,
resto-resto mewah, rumah-rumah penginapan, menyulap kampung menjadi tempat
wisata yang gemerlap, dengan segenap keriuhan yang tak padam hingga malam.
Nilai-nilai adat pun mulai bergeser. Ninik
mamak kehilangan eksistensinya. Bundo kanduang meratapi untung badan. Betapa
sulit mempertahankan nyala tungku. Tiap hari belanga hanya dipenuhi didihan
airmata. Sementara gadis-gadis telah mulai menanggalkan nilai-nilai yang
semestinya dimiliki padusi Minang, satu demi satu.
Pada puisi ‘CATATAN MERAH’ dapat pula kita
temukan semacam kelanjutan dari persoalan sebelumnya. Di mana pada akhirnya,
kita hanya akan merayakan kehilangan demi kehilangan. Mengamini keadaan, dan
belajar menghadapi kesepian. Meski tak menutup kemungkinan, kita pun lambat
laun akan terbawa arus perubahan itu sendiri.
...
Satu demi satu bakal tak ada, Sayangku
sawah, tanah, rumah, cincin kawin, dan
bahkan pandam perkuburan keluarga
begitu saja hilang tak bersisa
(CATATAN MERAH, halaman 73)
Kegelisahan serupa juga tercatat dalam
beberapa puisi lainnya, seperti pada puisi ‘MANINJAU’. Kampung kelahiran ulama
besar negeri ini, Buya Hamka. Seakan petuah tinggal hanya petuah. Abadi dalam kenangan orang-orang yang
merindukannya. Maninjau kini bermandikan gemerlap cahaya lampu kafe, homestay-homestay berdiri
megah di sepanjang tepian danau, musik-musik menggelegar lewat speaker di
tempat-tempat karaoke. Petuah Buya seakan tinggal hanya desir angin yang
membawa kabut gigil di permukaan danau. Sementara, orang-orang merapatkan diri
dalam kehangatan cinta yang fana. Larut dalam kesenangan duniawi.
Beranjak ke rantau, keresahan yang tak jauh
berbeda juga ditemui dalam sajak ‘BONGKARAN TANAH ABANG (Balada Penjual
Kembang)’ yang bercerita kehidupan masyarakat bawah, nasib orang-orang
terpinggirkan, yang diwakili seorang perempuan penjaja ‘kembang’. Kembang yang
dipetik ribuan lelaki.
Pada beberapa puisi lainnya, seperti
‘EVALUASI MIMPI’, ‘URBAN DI GARIS TANGAN’, DI NEGERI PENUH LUKA’, penyair
menuliskan persoalan-persoalan yang lebih kompleks lagi. Persoalan bangsa yang
sepertinya tak akan pernah selesai. Dan kita sebagai rakyat yang hidup di
dalamnya mesti membiasakan diri.
***
Berangkat dari konsep Rohmantik: bila
puisi sampai pada pucuk-Nya, niscaya kan berbuah petuah, ungkapan, kias dan
banding, alur dan patut, serta petatah-petitih. Inilah sesungguhnya
yang menjadi kekuatan puisi seorang Irmansyah. Bagaimana ia membangun bahasa
dalam tiap puisinya, sehingga ketika dibaca terasa begitu khas dan dalam makna.
Terkadang berirama bagai petatah-petitih, dendangan pengiring saluang dan
bansi. Selain itu, bahasa Minangkabau juga turut mempengaruhi gaya tutur dan
bahasa dalam puisi-puisinya. Adakala ketika membaca puisinya, kita seperti
tengah mendengarkan petuah dari orang-orang tua kita dulu. Begitu menenangkan,
juga mencerahkan. Semakin berulang dibaca, semakin banyak pula pintu perenungan
terbuka.
Begitulah. Membicarakan puisi-puisi dalam
buku ini rasanya tak akan ada habis-habisnya. Barangkali apa yang tidak selesai
pada tulisan ini, dapat kita tuntaskan dalam diskusi. Dengan
berpegang kepada konsep Rohmantik, kita seperti memiliki dayung untuk mengayuh
perahu melayari kata, hingga sampai ke muara makna. Dalam perjalanannya, perahu
kita bisa saja menepi pada dermaga yang berbeda. Namun hal itu sah-sah saja.
Dalam perjalanan mencapai hakikat, kerapkali kita mesti memasuki lorong
perenungan yang panjang. Lorong yang pada awalnya terasa gelap dan pengap.
Sunyi-sepi. Hingga menemukan setitik cahaya yang membawa makna hakiki. Pada
akhirnya, yang kita temukan adalah apa yang kita cari.
Lareh Sago Halaban, 14
Februari 2020
Yeni Purnama Sari
No comments:
Post a Comment
SILAHKAN TINGGALkAN TANGGAPAN DI SINI