Oleh: Ria Febrina, SS, M.Hum
Rohmantik merupakan kumpulan puisi karya Irman Syah, penyair kelahiran Magek, Tilatang Kamang, 2 Oktober 1965. Membaca judul Rohmantik pada Kitab Puisi Irman Syah memberikan kesan awal yang apik. Sebagai perempuan, saya membayangkan akan menemukan puisi romantis yang mendeskripsikan hubungan percintaan yang elok atau mencitrakan kecantikan dan keindahan seorang perempuan.
Diksi rohmantik diambil
dari kata romantis. Irman Syah melakukan eksperimen dan melawan bahasa yang
berlaku umum. Sebagaimana ungkapan Sapardi Djoko Damono, “Seorang penyair harus
menguasai bahasanya sebelum ia berhasil menciptakan puisi yang otentik”.
Diksi
rohmantik muncul melalui puisi “Rohmantik” yang ditulis Irman Syah tahun 2006.
Tidak hanya rohmantik, Irman Syah juga menciptakan diksi rohmantika melalui
puisi yang berjudul “Ekstase Rohmantika” pada tahun 2010.
Melalui rohmantik dan rohmantika, Irman Syah
ingin memberikan makna tambahan pada bentuk romantik dan romantika. Ia sengaja
mencarikan konotasi pada kata tersebut agar kata-kata mewakili makna yang lebih
luas dan lebih banyak. Rahmanto (1988: 34) menyatakan bahwa perlu dicarikan
konotasi atau makna tambahan agar puisi bergaya bahasa figuratif.
Bahasa
figuratif merujuk pada permainan struktur (Abrams, 2010: 96). Irman Syah memainkan
bentuk romantik dengan menambahkan huruf /h/ pada kata romantik. Penambahan
huruf /h/ pada huruf ketiga kata romantik bukan tanpa sebab, tetapi bertujuan
untuk memperkuat makna yang ingin disampaikan melalui gabungan kata roh dan
kata romantik.
Menurut Badan Pengembangan dan Pembinaan
Bahasa Republik Indonesia (2016), roh adalah 1. n sesuatu (unsur) yang ada
dalam jasad yang diciptakan Tuhan sebagai penyebab adanya hidup (kehidupan);
nyawa: jika sudah berpisah dari badan, berakhirlah kehidupan seseorang; 2. n
makhluk hidup yang tidak berjasad, tetapi berpikiran dan berperasaan (malaikat,
jin, setan, dan sebagainya), dan 3. n ki semangat; spirit: kedamaian bagi
seluruh warga sesuai dengan – Islam.
Sementara itu, romantik adalah a. romantis;
romantis adalah a bersifat seperti dalam cerita roman (percintaan); bersifat
mesra; mengasyikkan; sedangkan romantika adalah a liku-liku atau seluk-beluk
yang mengandung sedih dan gembira: itulah – hidup.
Dengan demikian, pemilihan judul rohmantik
pada kitab puisi ini ditujukan untuk menceritakan lika-liku kehidupan yang
mengandung kesedihan dan kebahagiaan sebagaimana cerita dalam roman.
Perempuan dari Masa ke Masa
Dalam kitab puisi Rohmantik, ada 50 puisi yang
ditulis oleh Irman Syah dari 1988 hingga 2012. Meskipun beberapa puisi ada yang
tidak berangka tahun sehingga sulit diidentifikasi apakah ada puisi lainnya
yang ditulis pada rentang waktu tersebut (1988—2012), serta sebelum atau
setelah rentang waktu tersebut.
Dengan melihat rentang waktu yang tercatat pada
kitab puisi ini, puisi-puisi yang ditulis oleh Irman Syah merupakan puisi yang
ditulis selama 24 tahun (1988—2012); 31 tahun jika dikaitkan dengan cetakan
pertama buku Rohmantik ini (1988—2019); atau 32 tahun jika dikaitkan dengan
tahun sekarang (1988—2020).
Dari 50 puisi yang ditulis pada rentang waktu
tersebut, ada hal khusus yang perlu dibahas, yakni tentang sosok perempuan.
Rentang waktu yang panjang tentunya tidak hanya menceritakan potret perempuan
yang baik-baik saja, tetapi juga menceritakan betapa miris dan betapa pedihnya
menyaksikan sosok perempuan dari masa ke masa.
Ada potret yang digambarkan melalui halaman
sampul Rohmantik yang menjadi kitab puisi Irman Syah. Pakaian dalam wanita
dilukiskan di mata seorang laki-laki sebagai sebuah kacamata. Gambar tersebut
tentu berkonotasi negatif karena dijadikan maneken dalam kitab puisi ini.
Ada apa dengan perempuan? Setelah membaca
puisi Irman Syah, saya mencatat potret perempuan dari masa ke masa. Pada
halaman pertama, sosok seorang perempuan dihadirkan oleh Irman Syah melalui
“Soneta Buat Ibunda: Ramyulis MA”. Seorang ibu digambarkan begitu tegar, penuh
bakti, tidak pernah mengeluh tentang kehidupan, serta bersedia membuang harapan
pribadi hanya untuk membangun sebuah keluarga.
Adalah dikau bunda
yang tak pernah merasa duka lara
yang tak pernah merasa duka lara
Sepi malam menggayut-gayut
mengajak anganmu pergi
menepis cinta siang hari
mengajak anganmu pergi
menepis cinta siang hari
Setiap langkahmu tak pernah
surut
walau kau hanya berjanji
pada sebuah bakti
(Syah, 2019: 1)
walau kau hanya berjanji
pada sebuah bakti
(Syah, 2019: 1)
Puisi tersebut ditulis di Magek pada tahun
1988. Dengan catatan waktu dan lokasi, dapat dijelaskan bahwa perempuan pada
masa itu, khususnya perempuan Minangkabau mengutamakan peran sebagai seorang
perempuan dalam lingkungan sosial keluarga. Puisi “Soneta Buat Ibunda” menjadi
awal yang baik untuk menggambarkan sosok perempuan.
Selain itu, juga digambarkan bagaimana seorang
perempuan menjadi seorang kekasih pada “Amsal Kehidupan”, “Dalam Arus
Sungaimu”, dan “Sungai Kirim Surat Padaku”. Selalu ada rindu untuk seorang
perempuan dari seorang laki-laki.
Bunga anggrek di hutan jiwa
seakan lepas tangkai
Begitu rindunya ia kaujabat
kemudian mengisi ruang tamu dengan cahyanya
Tanganmu yang lembut telah jangkau-menjangkau
hati dari mukim akar yang menyuburkannya.
“Amsal Kerinduan” (Syah, 2019: 17)
Begitu rindunya ia kaujabat
kemudian mengisi ruang tamu dengan cahyanya
Tanganmu yang lembut telah jangkau-menjangkau
hati dari mukim akar yang menyuburkannya.
“Amsal Kerinduan” (Syah, 2019: 17)
Namun, dalam catatan Irman Syah, hal lain
telah terjadi pada anak-anak perempuan di tanah Minangkabau. Menurut Ibrahim
Dt. Sanggoeno Diradjo dalam Tambo Alam Minangkabau, perempuan atau padusi yang
diinginkan sesuai dengan adat Minangkabau mempunyai sifat-sifat dan perilaku
terpuji, baik budi pekerti, tingkah laku, kecakapan, kemampuan, dan ilmu
pengetahuan.
Sifat-sifat
dan perilaku perempuan tersebut dinyatakan dalam titah adat yang berbunyi:
“mano nan disabuik parampuan,
mamakai taratik sarato sopan,
nan mamakai baso jo basi,
tahu diereng saroto gendeng,
mamakai raso jo pareso,
manaruah malu sarato sopan,
manjauahi sumbang sarato salah,
muluik manih baso katuju,
kato baiak kucindan murah.”
Sementara itu, berangka tahun 1994 pada puisi
“Musim-musim Burung” dan 1999 pada puisi “Di Halte Minang Plaza”, Irman Syah
mencatat kondisi anak-anak perempuan Minangkabau pada suatu masa.
Pada musim-musim burung hari ini
Kitalah kabar rantau yang ganas, surat tak berbalas
Di kampung hotel bar menjulang
Ibu-ibu gelisah, mengutang beras kemana?
Gadis-gadis pulang pagi!.
“Musim-musim Burung” (Syah, 2019: 13)
Kitalah kabar rantau yang ganas, surat tak berbalas
Di kampung hotel bar menjulang
Ibu-ibu gelisah, mengutang beras kemana?
Gadis-gadis pulang pagi!.
“Musim-musim Burung” (Syah, 2019: 13)
Dan Tangge, gadis yang masih
muda belia
berdiri di bandara dengan henpon di tangannya
menunggu ringgit dari Malaysia
Dia akan suka diajak ke mana saja, meski sebuah jepitan
rama-rama sebagai imbalan di ikal rambutnya
“Di Halte Minang Plaza” (Syah, 2019: 33)
berdiri di bandara dengan henpon di tangannya
menunggu ringgit dari Malaysia
Dia akan suka diajak ke mana saja, meski sebuah jepitan
rama-rama sebagai imbalan di ikal rambutnya
“Di Halte Minang Plaza” (Syah, 2019: 33)
Tanggae merupakan cerminan salah seorang
perempuan yang dicatatkan dalam moral yang tidak baik. Meskipun tidak
dijelaskan alasan Tanggae memilih hidup demikian, tetapi henpon, ringgit, dan
diajak ke mana saja, menunjukkan bahwa ketimpangan moral sudah terjadi di
Minangkabau.
Di Halte Minang Plaza
Kubayangkan gadis-gadis Minang,
putih-biru, putih-abu-abu
dan anak-anak yang terlahir dari rahimnya
ulah singa dan harimau tentu membangun sungai-sungai
kumuh, berenang kebodohan
(Syah, 2019: 33)
putih-biru, putih-abu-abu
dan anak-anak yang terlahir dari rahimnya
ulah singa dan harimau tentu membangun sungai-sungai
kumuh, berenang kebodohan
(Syah, 2019: 33)
Meskipun puisi merupakan imajinasi, namun ada
kristalisasi kehidupan di dalamnya. Irman Syah tentu melihat atau mendengar
kasus tersebut sehingga memicu dirinya untuk menulis puisi demikian. Kondisi
dalam Rohmantik ini kemudian tampak hari ini pada pengungkapan kasus prostitusi
online yang baru-baru terjadi dan juga kasus seorang siswi membuang anak—di
tanah Minangkabau.
Dengan demikian, sejak 1994 (atau bahkan
sebelum itu) di Minangkabau sudah ada padusi simarewan, “mano nan padusi
simarewan, bapaham sarupo gatah cayia, iko elok itu katuju, bak cando pimpiang
di lereang, baparangai sarupo pucuak aru, ka mano angin inyo ka kian, alun
dijujai inyo lah galak, alun diimbau inyo lah datang”.
Padusi simarewan menyiratkan perempuan yang
memiliki sifat negatif, mudah digoda dan dirayu, mudah didekati laki-laki,
terlampau lincah dan genit, banyak tertawa daripada bicara, kurang sopan, dan
tidak punya malu.
Di antara penyebab ialah /Di kampung hotel bar
menjulang/Ibu-ibu gelisah, mengutang beras kemana?/Gadis-gadis pulang pagi!./.
Larik kedua dan larik ketiga pada bait puisi tersebut merupakan dua kondisi
yang begitu kontras. Ketika ibu-ibu berjuang memenuhi kebutuhan hidup keluarga,
mengambil peran mencari nafkah, anak-anak perempuan justru memiliki gaya hidup
yang menyimpang dari adat dan kodratnya sebagai perempuan.
Kondisi ini sesungguhnya juga tidak hanya
terjadi di Minangkabau, di beberapa daerah di Indonesia juga sudah ada,
terutama di Jakarta. Berangka tahun 1989, Irman Syah mencatatkan melalui
“Bongkaran Tanah Abang: Balada Penjual Kembang”.
Tanah Abang berputar, roda
nasib bergetar
dan perempuan-perempuan takut cahaya mengundang
tamu untuk berkecupan, bergulingan di reokan triplek
Merekalah yang setia merindu malam dan meragukan
siang, menyerahkan diri seutuhnya pada gelap,
bersidekap erat menyibak remang,
memarakkan hidup yang kian jauh
Dan kaki-lima berebahan menggelar lelah
di aroma tubuhnya:
di sinilah mereka menggetarkan kota, menikmati keluh
yang teramat kesah, setangkai bunga yang dipetik
ribuan lelaki.
(Syah, 2019: 31)
dan perempuan-perempuan takut cahaya mengundang
tamu untuk berkecupan, bergulingan di reokan triplek
Merekalah yang setia merindu malam dan meragukan
siang, menyerahkan diri seutuhnya pada gelap,
bersidekap erat menyibak remang,
memarakkan hidup yang kian jauh
Dan kaki-lima berebahan menggelar lelah
di aroma tubuhnya:
di sinilah mereka menggetarkan kota, menikmati keluh
yang teramat kesah, setangkai bunga yang dipetik
ribuan lelaki.
(Syah, 2019: 31)
Kita tidak bisa menutup mata dan menganggap
ini merupakan hal biasa, termasuk dalam karya sastra. Puisi tak sekadar
permainan kata-kata, tetapi juga sebagai bentuk kepedulian penyair mengenai
kehidupan di sekitarnya. Irman Syah tentu dengan kebijaksanaan mengemas
realitas melalui kata-kata dalam puisinya.
Puisi merupakan cerminan kehidupan. Puisi
memang tidak memuat fakta, tetapi ada fakta yang diramu dengan imajinasi.
Dengan demikian, perlu ditanyakan, ada apa dengan pendidikan di rumah tangga?
Bagaimana pendidikan di sekolah dan di perguruan tinggi? Bagaimana lingkungan
di sekitar kita?
Hal ini perlu menjadi pertimbangan dalam dunia
pendidikan. Setiap orang harus menjadi pionir untuk tegas bersikap. Anak-anak
perempuan, baik siswa maupun mahasiswa harus diajarkan untuk berkata tidak dan
menolak segala yang akan merusak diri dan moral mereka. Pendidikan harus
didesain untuk pembentukan karakter, tidak hanya sekadar nilai.
Begitu juga dengan laki-laki, setiap orang
harus berpikir untuk menganggap setiap perempuan di sekitar mereka merupakan
pihak yang harus dilindungi. Sebagaimana Irman Syah menuliskan pada “Di Halte
Minang Plaza”.
Kubayangkan gadis-gadis
Kubayangkan generasi, kubayangkan ibu,
kubayangkan aku yang lahir
dari rahimnya, kubayangkan panti-panti jompo.
(Syah, 2019: 34)
Kubayangkan generasi, kubayangkan ibu,
kubayangkan aku yang lahir
dari rahimnya, kubayangkan panti-panti jompo.
(Syah, 2019: 34)
Kata-kata dalam puisi Irman Syah memang penuh
konotasi. Membaca puisi dengan tipe ini tidak bisa sebaris dua baris. Sapardi
Djoko Damono menyatakan, “Sajak itu tak bisa dibayangkan sebelum seluruh
baris-barisnya selesai tersusun, dengan kata lain: isi sebuah sajak barulah
kita dapati setelah bentuk selesai.” Dengan demikian, menikmati sajak Irman
Syah memang harus dengan membaca secara utuh kata demi kata, larik demi larik,
bait demi bait yang tercantum pada tiap-tiap puisi yang dituliskan.
Penyair Cerdik Pandai
Dalam Rohmantik, persoalan perempuan tidak
satu-satunya yang dibahas, seperti /gadis menghilang di angin lalu/ pada
“Dendang Musim Jauh”; /di kampung hotel bar menjulang/gadis-gadis pulang pagi/
pada “Musim-Musim Burung”, serta /berseliweran perempuan-harap
mengacungkan/tangan dengan senyum, dada sedikit terbuka, menggoda/ pada
“Kamar”. Ada juga gagasan bagus yang diusung karena penyair itu sendiri ialah
cerdik pandai. Dalam Rohmantik, Irman Syah juga mencatatkan nilai-nilai
kearifan, seperti “Doa”.
Tuhan, musim ini memunculkan
beribu kekhilafan
Aku telah mengunyah banyak sampah yang bertebaran
di celah sisi kemiskinan kepala: jangan Kau-beri
kemudahan bila itu hanya menumbuh-suburkan
keperihan saudara-saudara yang sempurna miskinnya
(Syah, 2019: 43)
Aku telah mengunyah banyak sampah yang bertebaran
di celah sisi kemiskinan kepala: jangan Kau-beri
kemudahan bila itu hanya menumbuh-suburkan
keperihan saudara-saudara yang sempurna miskinnya
(Syah, 2019: 43)
Banyak orang yang berdoa diberi kemudahan.
Namun, doa aku lirik pada puisi tersebut justru berbeda sehingga patut
dipertimbangkan, yakni /jangan Kau-beri/kemudahan bila itu hanya
menumbuh-suburkan/keperihan saudara-saudara yang sempurna miskinnya/.
Mungkin saja segala persoalan muncul pada hari
ini cenderung karena masing-masing orang sibuk dengan diri sendiri-barangkali
juga berdoa untuk diri sendiri. Jika tidak bisa membantu orang lain, tentu
mendoakan orang lain dan mendoakan diri sendiri dalam kebaikan merupakan
pilihan yang bijaksana untuk mengurangi setumpuk masalah.
Begitu juga dengan pendidikan yang diberikan
kepada anak. Selama ini anak-anak diminta bercita-cita tinggi, seperti menjadi
dokter, insinyur, dan presiden. Namun, kita menyadari bahwa semua itu hanya
mimpi. Irman Syah justru menawarkan gagasan yang baik, yakni ajakan untuk
menghadapi kehidupan dengan kesulitan semenjak dini. Cara demikian dianggap
dapat membangun mental dan karakter mereka sebagaimana dalam “Evaluasi Mimpi”.
Evaluasi Mimpi
Hari ini tidak ada lagi
basa-basi, negeri takkan
pernah menumbuhkan mimpi. Mari kita ajarkan
anak-kemenakan kita memakan batu pasir dan besi
Biar mereka berkhayal sampai langit ke tujuh
dan berubah menjadi Ksatria Baja Hitam
atau Gatot Kaca
pernah menumbuhkan mimpi. Mari kita ajarkan
anak-kemenakan kita memakan batu pasir dan besi
Biar mereka berkhayal sampai langit ke tujuh
dan berubah menjadi Ksatria Baja Hitam
atau Gatot Kaca
Mereka tentu gembira, bisa
menjadi apa saja
dan terbang dengan otot kawat tulang baja
Kita hanya bisa terpaku bisu menatap negeri
yang kian hari kian remuk bagai kerupuk
Musik-musik demontrasi, teriakan-teriakan
di kedai kopi dan semua seakan menjadi nabi
(Syah, 2019: 67)
dan terbang dengan otot kawat tulang baja
Kita hanya bisa terpaku bisu menatap negeri
yang kian hari kian remuk bagai kerupuk
Musik-musik demontrasi, teriakan-teriakan
di kedai kopi dan semua seakan menjadi nabi
(Syah, 2019: 67)
Tampak adanya keprihatinan terhadap kondisi
bangsa melalui lirik /kita hanya bisa terpaku bisu menatap negeri/yang kian
hari kian remuk bagai kerupuk/. Selain itu, juga ada nilai-nilai adat yang kian
lapuk oleh zaman, seperti /Gonjong tinggal di alun nyanyi/ pada puisi “Dendang
Musim Jauh”; persoalan ekonomi yang dihadapi masyarakat, seperti /ibu-ibu
gelisah, mengutang beras kemana?/ pada puisi “Musim-Musim Burung” dan /ketika
istri ngomel tentang belanja/ pada “Bahasa Negeri Kaki-Lima; ada juga persoalan
sosial yang terjadi terus-menerus setiap hari, seperti /orang-orang berumah
dalam henpon, bersandiwara/di mesin hitung, membunuh nurani/ pada puisi
“Bagaimanalah Menceritakan”.
Segala carut-marut kehidupan dan kegelisahan
tentang negeri ini dicatatkan Irman Syah melalui Rohmantik. Namun, Irman Syah
menegaskan bahwa segala carut-marut akan tetap menjadi carut-marut jika setiap
orang tidak sama-sama membangun dan memiliki harapan yang sama untuk sebuah
perubahan.
Kalau di antara kita tetap
berbeda menerjemahkan harap
negeri ini akan tetap terbengkalai dan di setiap sudut
kota akan berseliweran perempuan-harap mengacungkan
tangan dengan senyum, dada sedikit terbuka, menggoda
“Kamar” (Syah, 2019: 26)
negeri ini akan tetap terbengkalai dan di setiap sudut
kota akan berseliweran perempuan-harap mengacungkan
tangan dengan senyum, dada sedikit terbuka, menggoda
“Kamar” (Syah, 2019: 26)
Krisis moral, krisis adat, krisis sosial, dan
krisis ekonomi yang terjadi dalam perjalanan dan kehidupan Irman Syah dan
tercatat pada Kitab Puisi Rohmantik menunjukkan betapa ngerinya negeri ini!
Dimensi waktu yang sudah didampingi dengan teknologi tidak selalu memberikan
harapan baik untuk siapa pun. Namun, kita masih ada waktu untuk melakukan satu
hal, yakni membangun kepercayaan kepada sesama. Percayalah bahwa perubahan baik
bisa terjadi.
Dari Puisi menjadi Konsep
Panggung
Irman Syah memilih menyuarakan persoalan
kehidupan melalui puisi. Ia tidak hanya menulis, tetapi juga membaca puisi di
atas panggung. Bahkan, dalam konsep panggung puisi, Irman Syah sudah punya
label atau nama tersendiri.
Irman Syah pernah menggelar konser puisi
dengan nama Rohmantik (2005), membuat blog dengan nama Rohmantik Blog, membuat
Facebook dengan nama Waroeng Poeisi Rohmantik, dan sekarang menamakan
pertunjukan dengan Rohmantik Performance. Diksi rohmantik kemudian melekat pada
seorang Irman Syah. Namun, dalam penamaan pertunjukan, disayangkan Irman Syah
tidak mengusung bahasa Indonesia. Seharusnya, ia menamakan pertunjukan dengan
Pertunjukan Rohmantik dan dirinya dengan Penyair Rohmantik.
Meskipun demikian, kontinuitas dalam
menggunakan diksi rohmantik hingga diterbitkan kitab puisi Rohmantik ini
menjadi kekuatan bagi Irman Syah sebagai seorang penulis puisi dan penyair
panggung. Irman Syah telah mencatatkan bahwa kehidupan dan perjalanan dari
kampung (Magek, Tilatang Kamang) hingga rantau (Padang, Kayutanam, Sitiung,
Batam, Medan, Jakarta, Bogor, Semarang, dan Ternate) penuh dengan ide dan
gagasan hingga bisa menjadi puisi dan konsep panggung beraroma rohmantik.
Persoalan-persoalan
kemanusiaan dibangun Irman Syah dalam puisi kemudian menyatu dalam buku.
Melalui Rohmantik, ditunjukkan bahwa puisi tidak hanya sekadar persoalan cinta
dan kerinduan, tetapi juga memuat nilai-nilai kemanusiaan. Ada yang tidak
patut, namun ada cara untuk memperbaiki ketidakpatutan tersebut.
(*Penulis adalah Dosen Fakultas Ilmu Budaya Unand)
No comments:
Post a Comment
SILAHKAN TINGGALkAN TANGGAPAN DI SINI