DENTING NADA DI UJUNG KATA
Oleh Irman Syah )*
Suku Kulit Muka Berminyak.
Laki-laki berkulit
gelap, berambut panjang, bewokan, dan tubuhnya yang sedikit besar dan kekar itu pernah duduk berlama-lama di
terminal. Ini dilakukannya setiap hari dan berbulan-bulan lamanya. Dia datang
dengan menyandang biola dan kemudian
duduk berjam-jam hingga tengah malam, tentunya dengan sebotol bir yang setia
menjadi teman di sampingnya. Gesekan biolanya membuat beberapa orang kawan di
jalanan bertanya-tanya. Siapakah dia?
Satu-persatu mulai
dirangkulnya, dari yang mendekat, acuh tak acuh, serta yang sedikit menjauh
karena ragu, namun pada akhirnya semua menjadi satu. Karya dan kreativitaslah
yang melekatkan pertemanan menjadi persaudaraan yang intim untuk berbagi keluh-kesah
dalam usaha mencapai tujuan. Tersebutlah Kelompok Pemusik Jalanan Bekasi (KPJ),
yang kemudian hadir dengan sebuah garapan serta mengangkat nama kelompok ini ke
permukaan.
Orkestra ‘Suku Kulit
Muka Berminyak’ namanya. Ya, itulah label garapan musik yang dipersiapkan.
Garapan ini berbentuk orchestra dan melibatkan anggota KPJ Bekasi secara umum,
ditambah pula keanggotaannya dengan sekelompok Tuna Netra binaan dari Dinas
Sosial yang menyatu di dalamnya. Mereka latihan sebagaimana layaknya persiapan
sebuah konser orchestra. Hanya saja, penamaan sebutan untuk ‘Konduktor’ diubah
menjadi ‘Kondektur’.
Ini hanya penyesuaian,
demikian ungkapnya suatu kali. Begitu pula halnya dengan penulisan notasi dan
tempo dalam partitur. Kalau orang-orang musik ‘serius’ menggunakan ‘not balok’
dalam penulisannya di stand partitur, tapi kelompok ini memakai istilah ‘not
papan’. Fungsinya sama tapi penulisannya saja yang berbeda. Hal ini merupakan penyesuaian
juga, yang gunanya untuk memudahkan para pemusik mengingat nada dan patokan ketika
hendak memainkannya.
Konser orkestra ‘Suku
Kulit Muka Berminyak’ yang unik ini melibatkan lebih kurang 50-an orang pemain
dan dengan menggunakan alat musik yang memang akrab di jalanan Bekasi. Usahanya
menggabungkan beragam karakter untuk menjadi satu itu tentu saja jadi bahan perbincangan
banyak khalayak. Penampilan Orkestra ‘Suku Kulit Muka Berminyak’ mendapat
sambutan hangat dari para musisi handal di Bulungan, begitu pula konser mereka
di Taman Ismail Marzuki dan tempat lainnya. Perpaduan musik dengan kekhassan
karakter pengamen ini ternyata mencitrakan semangat dan usaha keras yang dimiliki
oleh laki-laki berkulit gelap ini.
Kalaulah pertunjukan
orkestra ini dilakukan oleh kelompok musik ‘sungguhan’, tentu saja acungan
jempol semacam ini adalah suatu hal yang biasa. Yang membuatnya menjadi
spektakuler tentu saja disebabkan karena pelakunya adalah kelompok pengamen.
Apalagi dengan gaya dan karakternya yang
khas dalam memanfaatkan sumberdaya jalanan yang ada. Atau, dengan kata lain apa
adanya. Aplikasi nyata dari ilmu kesenian yang dengan memberdayakan masyarakat
awam tentang nilai kesenian semacam ini akhirnya boleh dibilang menjadi ciri
khas tersendiri yang selalu dia gali terus menerus, kemudian dilanjutkannya bersama Komunitas Sastra
Kalimalang hingga sampai ke titik perhentian yang sesungguhnya.
Mengalir Darah Seniman.
Andrie Syahnila Putra
Siregar namanya, (lahir di Binjai Sumatera Utara pada 4 Januari 1971 – meninggal
di Bekasi 31 Oktober 2016, pada usia 45 tahun), anak kedua dari enam bersaudara
(Dedie, Devie, Denie, Herie dan Irma) pasangan suami-istri Amirsyah Siregar
(Fredie Arsi) dan Rosnilla Djalal ini julukan populernya adalah Ane Matahari.
Dikenal sebagai seniman, tokoh musikalisasi puisi, guru, pembina anak jalanan,
aktivis social, dan pendiri Komunitas Sastra Kalimalang Bekasi.
Melalui kacamata
tradisi dan asal-usul, Ane Matahari adalah orang yang beruntung jika ditilik
dari sisi kebudayaan dan garis keturunan . Dia bisa menjadi orang Medan dan sekaligus
juga berhak menjadi orang Padang. Ayahnya seorang batak yang menganut paham patrilineal dengan marga Siregar,
sementara ibunya adalah orang Minangkabau yang mengikuti garis keturunan matrilineal yang bersuku Piliang. Ane
berhak memiliki keduanya, baik suku atau marga tersebut secara adat. Di Medan
dia akan diterima oleh keluarga Siregar dan di Padang dia akan disambut oleh
kaum Piliang.
Ane Matahari kecil hidup
dan tumbuh dalam lingkup keluarga yang memiliki darah seni yang kental. Ibunya
Rosnilla Djalal adalah seorang penari Melayu dan pernah digelari sebagai Ratu
Serampang XII, sementara ayahnya Fredie Arsi merupakan seniman petualang: hidup
berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya untuk menghidupi seni
melalui sanggar. Dialah pencetus dan menjadi bapak Musikalisasi Puisi Indonesia
– sebuah genre baru dalam pengungkapan puisi ke khalayak dengan memunculkan
unsur musical yang turut andil dalam mengutuhkan kekuatan nilai puitik.
Sejak di bangku
sekolah dasar, tepatnya kelas 5 SD Ane Matahari sudah terbiasa tampil di
panggung. Dia pun pernah tampil di TVRI program siaran yang diberi nama Anak
Ajaib. Ane kecil Tampil sebagai anak kecil yang pandai memainkan beragam jenis
alat musik. Masa remajanya dihidupi oleh lingkungan kota yang keras dan brutal.
Tepatnya di Jakarta Utara. Tapi pengaruh lingkungan yang semacam itu tetap tidak
menghalangi kegiatan kreatifnya dalam
berkesenian. Dia mendapat anugerah sebagai Pemuda Pelopor Provinsi DKI
Jakarta pada tahun 1994 dari kementerian.
Disiplin berkesenian
sang Ayah, yang dipanggil Papa oleh anak-anaknya dan begitu juga sahabat serta
teman-teman dekatnya itu memang mempunyai pengaruh sangat besar terhadap sikap
berkeseniannya Ane Matahari. Boleh dibilang, dia menyalin habis laku-seni yang
dimiliki oleh papa, termasuk dengan caranya mendidik anak-anaknya. Khadijah Ali
Zahra nama istrinya, (ibunya Sanger Talaut, Sulawesi Utara, bermarga Lombonaung,
dan bapaknya Belanda Surabaya bermarga Cornelius), adalah seorang mualaf yang
dinikahinya tahun 1993 di Jakarta. Dia adalah sosok perempuan yang pengertian
dan setia, juga Ibu yang tulus serta penuh kasih-sayang dalam menjaga dan
memperhatikan perkembangan anak-anak mereka; Gema, Genta, Gaung dan Nada.
Bagi Ane Matahari, Papa
memang idola. Wadah berupa grup musikalisasi puisi yang disiapkan papa dengan
nama Deavies Group Matahari yang awalnya beranggotakan tiga orang, yang waktu
itu baru terdiri dari Dedie, Ane dan Devie adalah sebuah gerbang keberangkatan.
Di dalam wadah seni musik inilah mereka adik-beradik menjalani pahit-manisnya kehidupan
dan aturan serta disiplin dalam menjaga tatanan prilaku antar saudara yang juga
sekaligus mesti fokus dalam melaksanakan kreativitas kesenian melalui karya
musikalisasi puisi.
Bertahun-tahun,
bersama Devie’s Sanggar Matahari, Ane telah berkeliling nusantara dan bahkan
sampai ke luar negeri untuk mementaskan karya musikalisasi puisi. Pemerintah,
melalui Pusat Bahasa, telah memiliki rasa percaya bahwa apa yang dilakukan oleh
Sanggar Mahatari adalah sesuatu yang tepat dan sejalan dengan pemasyarakatan
bahasa Indonesia melalui sastra.
Sanggar Matahari
akhirnya berhasil membangun jaringan yang kuat melalui usaha-usahanya yang begitu
keras. Dari aktivitas dan program itulah lahir Sanggar-sanggar atau
Bengkel-bengkel Sastra di daerah. Komunitas Musikalisasi Puisi Indonesia pun akhirnya
terbentuk dan kemudian dikukuhkan oleh Dendy Sugono, Kepala Pusat Bahasa dan ditetapkan
menjadi wadah besar pemasyarakatan bahasa yang diketuai langsung oleh Fredie
Arsi sejak 2008.
Setelah Fredie Arsi
meninggal tahun 2011, Ane Mataharilah yang menggantikan sang ayah atau papa ini
untuk memenuhi undangan ke berbagai daerah di Indonesia tentang Musikalisasi
Puisi. Ane memang piawai dalam memberikan workshop. Dia turun ke daerah-daerah di
Indonesia menggantikan Papa. Terkadang ia pun menjadi juri yang ditunjuk oleh
Pusat Bahasa, yang kini berganti nama menjadi Badan bahasa, melakukan tugas
apresiasi sastra kepada generasi muda melalui denting nada di ujung kata.
MLK Akustik.
Hidup telah
mengajarkan jalannya sendiri-sendiri bagi manusia. Demikian pula Ane Matahari.
Dia tidak pernah bisa dilepaskan dari kehidupan anak jalanan dan kehidupan
masyarakat kaum miskin kota. Ketika ada yang sakit, dialah yang sibuk untuk
mengurus. Ketika ada yang bertengkar, dialah yang mendamaikan. Ketika ada yang
murung dialah yang menceriakan, dan bahkan sampai mempertemukan jodoh bagi
beberapa orang teman dan muridnya.
Singkatnya, Ane
Matahari adalah kawan, guru, sekaligus bapak bagi anak jalanan. Puluhan tahun
berkecimpung di dunia yang terkesan keras itu justru membuatnya lembut dalam
mengedukasi anak-anak jalanan. Kesehariannya tidak pernah mengatakan tidak.
Selalu saja mengatakan bisa. Rambutnya yang panjang, sedikit kribo dan bewokan,
berkulit gelap dan berkalung akik besar dengan batu bacan serta selalu tertawa
lebar-lebar itu, siapa pun boleh mengira dia seorang preman jalanan. Hal
semacam itu ternyata adalah sebaliknya.
Dia masuk ke jalanan
bukan karena dia preman. Memang badannya besar dan gagah, tapi melihat jarum
suntik saja dia bisa takut. Ane menceburkan diri ke jalanan dengan bermodalkan musik
dan sastra. Dia mengaplikasikan disiplin ilmunya secara kreatif. Kemampuan ilmu
tentang seni dipelajarinya secara tajam dan matang di Institut Kesenian Jakarta.
Dengan bermodalkan itulah dia berbuat sama
untuk sesama dan ikut mewarnai kehidupan. Lama berkiprah di Jakarta, Bekasi
akhirnya menjadi pilihan baginya sebagai
tempat tinggal.
Tahun 2008, Ane Matahari
mulai sering panggung dengan beberapa orang anak kecil yang dibawanya. Ternyata
para pengamen cilik lampu merah yang dia asuh bermusikalisasi puisi. Latihannya di pinggir Kalimalang, dekat lampu
merah yang mempertemukan Jalan Cut Meutia dengan Chairil Anwar, persis di
samping kampus Unisma (Universitas Islam 45) Bekasi Timur. Di bantaran Kalimalang
itulah anak-anak kecil pengamen lampu merah berloncatan dari jembatan dan
nyebur ke kali selepas mengamen. Kering badan, mereka pun mengamen lagi. Mereka
akan melakukan itu berulang kali dari mulai pagi sampai sore hari.
Sensitivitas seorang
Ane Mataharimemang tinggi. Dia tidak bisa membiarkan segala sesuatu itu berlalu
tanpa isian makna dan nilai tawar kreativitas. Dia turun langsung menenggarai,
kemudian membina mereka serta memberikan edukasi kreatif pada anak-anak jalanan
pengamen lampu merah tersebut. Melalui sastra (puisi) kemudian mereka dilatih
dan dididik tentang kepekaan nada, sekaligus menanamkan budi pekerti dan sopan
santun lewat apresiasi. Lahirlah grup buat para pengamen cilik lampu merah itu.
MLK Akustik nama grupnya, sebuah singkatan dari Mandi Limakali di Kalimalang.
Grup ini pun sampai pula merilis album musikalisasi puisi. Salah satu dari
komposisi musikalnya adalah karya musikalisasi puisi yang diambil dari puisi
AbdulHadi WM, ‘Tuhan Kita Begitu Dekat’
.
Selain sensitivitas
diatas, memang ada alasan lain yang membuat Ane Matahari melakukan itu. Taklain
adalah sebuah pemberontakannya terhadap program rumah singgah. Pemberontakan
yang diwujudkan secara nyata dan sekaligus kreatif. Menurutnya, program rumah
singgah melalui project pemerintah untuk anak-anak jalanan itu adalah sesuatu
yang kurang tepat. Selain tidak akan bertahan lama karena tidak sesuai dengan
siklus dan pola hidup keseharian anak jalanan, dampaknya juga akan mengajarkan
mereka jadi orang yang pemalas. Apalagi program yang disiapkan untuk anak-anak
tersebut dibuat oleh orang-orang yang tidak paham dengan jalanan, serta boleh
dikatakan tidak mengeri sama sekali akan pola kehidupan sehari-hari tentang
diri mereka.
Sastra Kalimalang.
Ane Matahari juga
bukan tipikal seniman yang mudah berpuas diri. Dia tetap enerjik dan selalu
kreatif. Perjalanan kreatifnya yang panjang bersama Devie’s Sanggar Matahari, atau
kegiatan di Komunitas Musikalisasi Puisi Indonesia, serta kegiatan personalnya
yang seabrek-abrek tidak sedikit pun membuatnya kelihatan lelah. Apa saja
permintaan dan kerjasama dari pihak lain akan selalu dia sanggupi. Ane tidak
akan pernah menolak, apalagi kalau berhubungan dengan pendidikan, budaya,
kesenian, dan kemanusiaan.
Mengingat hal yang
semacam itu, sudah sepantasnya dia menyusun agenda kegiatan secara rapi.
Mobilitas personalnya yang tinggi itu, ditambah lagi dengan menggantikan agenda
alm Papa ke daerah-daerah tentu saja cukup menyita tenaga. Semuanya itu tentu
saja menuntut suasana dan tempat yang tepat dan nyaman agar tetap bisa berkarya.
Kalau dapat bisa sekalian berkontemplasi dan mengkaji ulang aktivitas yang
dilaksanakan selama ini. Telah begitu banyak dan jauh jalan ditempuh, tentulah
ini membutuhkan banyak persiapan dan pematangan.
Mulai dari Orkestra ‘Suku
Kulit Muka Berminyak’ tahun 2000-2001, ‘MLK Akustik’ tahun 2007, menghadiri agenda-agenda
komunitas; baik jalanan, sekolah, kampus,
sanggar, atau dinas dan intansi, tentu pula membuahkan tumpukan gagasan yang
mesti dikerjakan lagi melalui program dan karya yang mesti disiapkan. Kalau
sebelumnya, bekerja atau berkarya bisa saja di mana-mana tapi ke depannya
tentulah membutuhkan program dan managemen yang jelas dan terjadual.
Pada
tahun 2011, Ane Matahari kembali merangkul mahasiswa dan anak-anak muda untuk mendirikan Komunitas Sastra Kalimalang.
Bantaran Kalimalang ini dipilih, selain tempatnya tepat di samping kampus Universitas Islam 45 (universitas
tertua di Bekasi), dan di sini banyak kalangan yang berbaur. Sekalian pula dapat
melanjutkan program yang telah dilaksanakan sebelumnya, yaitu MLK Akustik.
Melalui program komunitas Ane Matahari pun berhasil menginisiasi pembangunan Perpustakaan Pinggir
Kali Sastra Kalimalang.
Di
sini kita melihat Indonesia Melalui Kata, ucap Ane Matahari. Dia berhasil
mengembangkan model komunitas inklusif (bukan ekslsif), yang memungkinkan
banyak orang dan komunitas lain bisa bersahabat dan bermitra baik dalam program
apa saja. Inilah yang disebut dengan silaturrahmi batin. Istilah inilah yang
sering dipakaikannya dalam setiap pembicaraan, ngobrol bebas atau diskusi
secara formal. Dari saung kecil Perpustakaan Pinggir Kali inilah, lahir
diskusi-diskusi menarik tentang kebudayaan, dimulai dari ruang lingkup yang
sederhana dan berterima.
Dengan
memanfaatkan jejaring social, Komunitas Sastra kalimalang pun mempublikasikan
puisi-puisi yang sudah mereka kumpulkan dari banyak kalangan: anak jalanan,
tukang ojek, dosen, satpam, mahasiswa, napi, tukang tambal-ban dan sebagainya.
Melihat aktivitas tersebut, sejumlah pihak bersimpatik. Koran Radar Bekasi
misalnya, memberikan halaman khusus seminggu sekali untuk menampilkan
karya-karya yang telah dihimpun Komunitas Sastra kalimalang. Dari Bekasi,
Sastra Kalimalang membangun jejaring komunitas se-Indonesia.
Dengan
begitu, kelapangan pikiran dari apa yang mengganjal sebelumnya mulai terasa
renggang. Ane Matahari sedikit lega karena sebagian pikiran yang mesti dia lakukan
telah bisa dilaksanakan oleh anak-anak muda. Dia pun terus berbuat dan tetap
melaksanakan aktivitas pesonalnya; mencipta karya musikalisasi puisi, melatih
paduan suara, mengajar ke beberapa sekolah, memenuhi undangan atau mengerjakan
jingle dan mars perusahaan atau organisasi. Semua dilakukannya dengan senyum;
Mars PDAM, Jingle KPU, dan lagu partai pun ia lakukan. Nggak ada yang nggak oke
sama kita, begitu selorohnya.
Melalui
program komunitas, Ane Matahari pun menciptakan Sekolah Pinggir Kali dan
bekerja sama dengan dosen Psikologi kampus Unisma yang siswanya tak lain adalah
anak-anak jalanan yang biasanya mengamen
di lampu merah tanpa pemungutan biaya. Ane Matahari juga siap sedia melaksanakan
program Art Terapy melalui puisi. Komunitas Sastra Kalimalang pentas
musikalisasi puisi di penjara, dan kemudian mengajak para napi menulis puisi.
Kegiatan ini bekerjasama dengan Kalapas yang bersangkutan. Tulisan para napi itu pun dinilai, kemudian
diumumkan para juaranya, dan Kalapas menyerahkan hadiah kepada napi yang
tulisannya terpilih. Karya-karya mereka selanjutnya diterbitkan di Radar
Bekasi, di Halaman Sastra Kalimalang.
Jika
ilmu pengetahuan tidak mampu mengatasi kontradiksi kehidupan manusia, maka
puisi hadir menjadi penawar dan menentramkan jiwa yang bimbang agar kembali
damai menata nurani. Pameran Karya senirupa
dan kriya para napi juga pernah dilaksanakan di Komunitas Sastra Kalimalang. Hasil
penjualan dari event itu diberikan kepada mereka. Tak hanya sebatas itu saja;
napi yang telah bebas pun, sebelum mereka menemukan pekerjaan untuk keseharian
hidup mereka, juga ditampung di komunitas dan membaur dengan masyarakat pinggir
kali.
Sastra
Kalimalang memang dijadikan Ane Matahari untuk mencetuskan ide-ide liarnya.
Beberapa acara bisa muncul tak teduga, seperti; sastra masuk kampung,
bersih-bersih kali, bersih-bersih mesjid, anjangsana ke kampung nelayan di
Muara Gembong dan beberapa bulan sekali, Sastra Kalimalang menghelat pentas
seni yang disebut ‘Panggung Terapung’ di bantaran Kalimalang. Penontonnya bisa
duduk santai di pinggir kali sambil melihat lalu-lintas kendraan di jalan
Chairil Anwar sebagai latar artistiknya.
Semua
program yang dilaksanakan Ane Matahari dengan Sastra Kalimalang umumnya diliput
media massa, radio dan bahkan media elektronik. Hal ini tentu saja tidak terlepas
dari respon dan bangunan baik semua relasi yang dijaganya. Demikian pula halnya
dengan kegiatan social kemasyarakatan; anak jalanan yang ditangkap Pol PP,
penggusuran, si miskin yang tak dapat ruangan di rumahsakit, insiden di jalan
yang berhubungan dengan kepolisian, semua persoalan semacam itu bisa teratasi. Sebabnya,
tentu saja tak lain adalah terciptanya jalinan silaturrahmi batin yang baik
dengan semua pihak; apakah itu mahasiswa, aktivis, jurnalis, seniman, atau
beberapa kalangan dari instansi terkait yang bahu-membahu meluruskan jalan
kehidupan.
Sastra
Kalimalang memang berusaha untuk mewujudkannya. Komunitas ini memang sengaja
diciptakan sebagai wadah silaturrahmi bagi seluruh lapisan masyarakat melalui
teks-teks yang terlahir dari kehidupan. Ketika kata menjadi peristiwa, kata tak
hanya sekedar kata, ada makna yang menubuh di dalamnya. Ane Matahari membuktikan
itu. Kemudian, dia dan kawan-kawan Sastra Kalimalang mewujudkannya menjadi
karya, dan kemudian merillis album musikalisasi puisi yang berjudul ‘Jangan
Biarkan Ibu Pertiwi Menangis’.
Karyanyalah
yang dijadikan judul di sampul album itu. Di dalamnya terhimpun beragam puisi yang sengaja diaransemen-nya secara
apik. Puisi-puisi tersebut antara lain adalah: karya dari guru, pengamen, budayawan
dan beberapa orang penyair. Launchingnya sengaja pun dilakukan di Warung
Apressiasi Bulungan. Melalui karya musikalisasi puisi inilah Sastra Kalimalang membahasakan
Indonesia kepada masyarakat, penonton, komunitas, instansi pemerintah, dan
bahkan ke KPK. Kandungan maknanya semacam renungan puitik, tentang bagaimana usaha
kita memelihara kecintaan kepada negeri melalui mahkota bahasa, nilai-nilai
kebangsaan, spirit perjuangan, rasa nasionalisme yang tinggi, serta Pancasila
dan anti korupsi.
Karya-karya
itu merupakan kebahagiaan tersendiri bagi Ane Matahari. Selain berhasil dan
sukses mewujudkan impian, album itu dipentaskan pula oleh Sastra Kalimalang ketika
melakukan anjangsana budaya ke beberapa kota, Jawa dan Bali. Apalagi, PaO (Iyan
Slank), anak didiknya yang ‘ngartis’ itu juga ikut. Pengamen penderita ‘down
syndrome’ itu pun turut serta baca
puisi. Terakhir, satu bulan sebelum meninggal, Ane Matahari dan Sastra Kalimalang
melakukan sebuah program yang diluar dugaan, yaitu bersih-bersih kuburan.
Puitik memang.
Bekasi, 3 Februari
2017
________________________________
*) Konsultan Kreatif Sastra Kalimalang
Ralat mas ... utk tunanetra bkn dr dinas sosial bekasi ...tp Kementerian sosail RI
ReplyDeleteTerimakasih masukannya. Salam #rohmantik
Delete