(Foto: Karya Eimond Esya)
Oleh Irman Syah
Ketika kata sudah tidak dipercaya, kehancuran datang membabi
buta. Begitulah, amsal yang patut dan tepat untuk diperhatikan bagi segenap
kehidupan. Sebagaimana Chairil Anwar mentasbihkannya dalam karya-karyanya dan
mengungkapkan sikap hidup kepenulisannya dalam esai-esai yang tidak seberapa
jumlahnya: Kata adalah kebenaran.
Kata, adalah kebenaran. Ya, dimana pun kelahirannya, kata
akan menjadi patokannya karena pada
kandungannya ada kenyataan yang sesungguhnya. Dari kesungguhan kenyataan,
lahirlah bahasa yang berdiri tegap untuk mengutuhkan petuah, hukum dan
perumpamaan. Adalah hal paling sempurna kiranya ketika hidup menjadi kata.
Menjadi kebenaran yang tiada tara.
Dunia kata, tentulah dunia nyata yang tak bisa ditawar-tawar.
Di mana dia lahir, di situlah kekuatan hukumnya berfungsi. Dari berbagai
belahan dunia, kata lahir dan kelahirannya adalah hukum dari kenyataan setempat
dan mesti dituruti oleh belahan dunia di mana dia dilahirkan itu. Ya, karena
ruang lingkup, kebiasaan, kenyataan dan kejadianlah yang mendukungnya untuk
lahir dan lengkap serta utuh menjadi kata.
Jika pikiran ini diteruskan, kita akan jumpa dengan kata yang
benar-benar kata secara universal. Hal ini dapat kita cermati dari pemahaman
yang sempurna terhadap kitab-kitab suci
karena dari padanya tertuang kenyataan, gambaran, sebab-akibat, kejadian,
keutuhan, serta bermacam ragam aturan, hukum, serta jual-beli yang telah
dinukilkan secara pasti. Kata, memang tidak sembarang. Hidup dan mati ada dalam
kandungannya.
Kalau pun tidak terlalu jauh, kita juga bisa melihat kata
dari hasil guratan manusia yang juga adalah kebenaran. Banyak data yang dapat
diambil contoh dari sana. Seperti halnya penemuan yang dijadikan kata,
dijadikan bahasa, dijadikan buku, dijadikan pegangan bagi siapa saja yang
berminat pada hasil temuan itu. Tentu pula tak jauh dari tujuannya, ya,
kemaslahatan umat manusia. Dari kata hasil temuan, tentang apa saja, akan
mendatangkan pengetahuan yang cukup berarti untuk manusia agar tidak atau
setidaknya terhindar dari persoalan kehancuran kecil dan besar dalam
kehidupannya.
Nah, bagaimana kata, bagaimana manusia, bagaimana kenyataan,
bagaimana ambisi, bagaimana cara pandang dan bagaimana sesungguhnya atau
sepatutnya sikap ditanamkan bagi kenyataan yang menggejala dalam kehidupan
keseharian manusia, tentulah penempatan yang benar serta kata yang tepatlah
yang mesti dijadikan patokan. Kenyataan di bukit tentu takkan begitu tepat
untuk dipakai dalam kenyataan kata ketika berada di pantai yang selalu dideru
ombak ke tepiannya. Begitu pun istilah, kata dan ungkapan yang laris di
Eropa-Amerika tentu takkan cocok pula untuk dipakai dan digunakan di negeri
tropis semacam Indonesia.
Ketika pikiran ini dihubungkan dengan korupsi, yang nota-bene
adalah sebuah kata, yang sesungguhnya disebut dengan kebenaran, tentulah
kebenaran yang tepat untuk itu adalah kebenaran di mana kata itu dilahirkan,
bukanlah kata yang semacam itu. Ketika dia masuk ke ranah hukum, maka hukum
yang digunakan adalah sebatas atau selebih dari pamaknaan atas kelahiran kata
itu pula. Bukan berniat meremehkan hasil keputusan, tapi cuma sekedar
memaparkan hal sesungguhnya dalam pemaknaan.
Lepas dari itu, begitu juga istilah-istilah yang diserap dari
bahasa yang datang dari luar, yang otomatis, gaya serta pelaksanaannya yang
diuniversalkan itu, maka akan ditemukanlah penyimpangan-penyimpangan yang
muncul dari padanya. Ditambah lagi dari cara pandang yang salah (licik) yang
dilakukan oleh pelaku yang sesungguhnya dipercaya serta diharapkan untuk dapat
meluruskan kata atas nama kebenaran tapi malah memihak pada kepentingan pribadi
atau kelompoknya saja. Ya, inilah ironisnya, sesuatu yang amat menghancurkan.
Ketika kata sudah tidak dipercaya, kehancuran datang
membabi-buta. Dari ranah ini, baik hukum atau kebudayaan, bangsa ini teramat
gagap untuk kembali menemukannya dan kembali memunculkan kata yang
sesungguhnya, kata yang dilahirkan oleh bangsa ini jadi tertinggal dan
dihilangkan begitu saja tersebab begitu senang dan bangga dengan kata dan
istilah pinjaman. Diri seakan-akan telah menjadi pemilik kata serapan itu
sendiri. Korupsi itu bukan cuma uang tapi prilkaku kandungannya. Tapi sayang,
sekolah-sekolah, kampus-kampus membuka kesempatan itu melalui kapital yang
menggelora.
RoKe’S, 6 Maret 2014
No comments:
Post a Comment
SILAHKAN TINGGALkAN TANGGAPAN DI SINI