Note || Ketika Puisi Masuk Kampung

Tulisan ini hanyalah catatan perjalanan kreativitas. 
Sebuah evaluasi kedirian yang takkan pernah menemukan kesempurnaan.
Hanya Penguasa Alam Semesta yang tahu dan bersekehendak hati  
menentukan segala sesuatuya:

Oleh: Irman Syah




Jika segala sesuatu yang dilakukan tidak memiliki tantangan tentu rasanya juga akan terkesan hambar. Laksana sayur tanpa garam.

Ya. Tak ada citarasa yang lekat dan tertinggal di kerongkongan.

Tantangan, ternyata juga perlu diciptakan agar keberadaan agenda kegiatan yang dilakukan membuat capaiannya akan bisa lebih berasa.

Tulisan ini akan mengisahkan perjalanan kreatifitas sebuah komunitas. Kebetulan pula saya juga terlibat sebagai konsultan kreatif dalam program-progamnya.

Komunitas Sastra Kalimalang namanya. Menciptakan ruang publik menjadi ruang kultur konsep besarnya. Lokasinya terletak di pinggir Kalimalang, tepatnya di samping Kampus Universitas Islam '45 Bekasi, provinsi Jawa Barat.

Komunitas yang aktif berkegiatan pada rentang tahun 2011 - 2016 ini termasuk kelompok yang fokus untuk menjadikan sastra sebagai bahasa kebudayaan dan media edukasi kreatif bagi masyarakat.

Dominasi program dan sasaran dari kegiatannya antara lain adalah mendidik para pengamen dan bocah-bocah lampu merah untuk lebih bisa mandiri.




Ketika program-program di atas telah berjalan dan mendapat sambutan dari berbagai pihak maka terbetiklah keinginan untuk melaksanakan event sastra yang lebih inovatif.

Selain agar dipandang tidak terkesan biasa-biasa saja, maka disiapkanlah agenda dan konsepnya, yakni seni yang melibatkan masyarakat. Untuk hal itu dipilihlah kegiatan yang lebih memiliki tantangan, yakni: 'Puisi Masuk Kampung'.

Puisi Masuk Kampung:

Andaikan puisi masuk kampus, atau puisi masuk sekolah tentulah tidak begitu sulit untuk dilaksanakan. Selain materinya sudah ada dalam kurikulum, kelompoknya pun terorganisir dan gampang ditemui. Lain halnya dengan tantangan puisi masuk kampung.

Nah. Kami pun berusaha untuk mengira dan mereka-reka. Kemungkinan apa yang bakal tercipta bila program ini dijalankan?

Pertanyaan selanjutnya adalah, apa pula kira-kira tanggapan masyarakat jika rombongan anak jalanan yang urakan itu masuk kampung dan berkegiatan di daerah yang ketat akan tradisi dan adat-istiadatnya?

Untuk pertanyaan tersebut jawabannya adalah: kita memang butuh tantangan karena tantanganlah yang mampu membuat kita bisa lebih kreatif.

Maka, dengan berbekal modal komunikasi secara lisan dengan seorang pemuda (mahasiswa) yang berasal dari daerah tersebut akhirnya program ini pun segera dijalankan.




Prosesi:

Perjalanan rombongan komunitas Sastra Kalimalang dari kota Bekasi akhirnya sampai di sebuah desa yang kehidupan masyarakatnya lebih banyak bertani. Desa Suka Tani namanya. Ada kesesuaian nama desa tersebut dengan kenyataan yang sesungguhnya. Daerah ini masih termasuk wilayah Bekasi, tapi berada di kabupatennya.

Tentengan tas-gitar, kotak-biola, jimbe, dan sound yang alakadarnya diturunkan dari bus 3/4 yang disewa. Rombongan yang turun segera menuju mushalla. Semua peralatan sengaja diletakkan dengan jalan mendirikannya di samping mushalla.

Rombongan Puisi Masuk Kampung langsung beraktivitas. Pertama sekali mereka sengaja memilih aktivitas untuk membersihkan toilet dan tempat mengambil air wuduk. Kemudian baru halaman mushalla. Terlihat mereka dengan kesibukan yang tidak dibuat-buat membersihkan wc, dan menyapu pekarangan.

Pemandangan ini tentu saja terlihat aneh bagi masyarakat. Siapa mereka?

Gondrong dan bertattoo, gerangan apakah maksud kedatangannya?

Terlihat masyarakat kampung itu seakan mengitip-intip saja dari jauh. Ada yang berdiri sambil menggendong bayi, ada yang jongkok di depan rumah dan ada pula yang seperti acuh tak acuh saja.

Mushalla yang Terasa Kosong:

Pas waktu shalat Zuhur masuk, rombongan Puisi Masuk Kampung ikut shalat berjamaah di mushalla. Terasa sedikit aneh, selain Imam tidak ada lagi orang kampung yang ikut shalat di mushalla. Tapi hal ini tidak begitu pula menjadi pikiran anggota komunitas.

Yang terpenting, sesudah shalat zuhur sound system mesti sudah menyala. Panggung apresiasi 'Puisi Masuk Kampung' mesti dilangsungkan sesuai dengan apa yang dimaksudkan.

Mendengar suara sound system, masyarakat yang tadinya ikut memperhatikan rombongan komunitas membersihkan toilet dan tempat berwuduk dari jauh itu, kini mulai mengarah ke pusat suara. Tapi, mereka tetap berdiri di kejauhan. Makin lama masyarakat itu semakin banyak.

Sumber suara, dengan beragam aktivitas mulai mempersiapkan diri. Menata panggung sederhana, memasang backdrop, cheksound dan kemudian mendentingkan gitar:

"Yang jauh mendekat, yang dekat merapat.. Ibu-ibu jangan jongkok, sebentar lagi ular akan dikeluarkan."

Seperti terbius. Masyarakat mulai mendekat satu-satu. Ada yang menggendong anaknya, turut mendekat pula. Kemudian satu orang lagi. Lagi dan lagi. Akhirnya rombongan 'Puisi Masuk Kampung' menyatu dengan masyarakat. Seni musik dan sastra mulai mengikatnya.




Menjelang Ashar, pertunjukan selesai. Rombongan 'Puisi Masuk Kampung' kembali shalat ashar berjamaah. Tapi kini terasa lain: Mushalla penuh sesak. Banyak sekali orang yang ikut shalat berjamaah di mushalla.

Masyarakat dan rombongan 'Puisi Masuk Kampung' telah berbaris dan membaur. Edukasi kreatif ini menjadi kenangan yang sulit dilupakan.
Rohmantik, 28/3/2018
(Diupdate dari @mpugondrong Steemit)


Share:
spacer

No comments:

Post a Comment

SILAHKAN TINGGALkAN TANGGAPAN DI SINI