Oleh Irman
Syah
Ada hal yang sering terlupa dalam diri ketika berhadapan dengan ribuan keinginan. Kadang masuk akal dan kadang tidak. Semua merambah tatapan mata, detak hati, dan kadang hanya tersebab sesuatu yang datang tiba-tiba. Ini bisa terjadi kapan saja dan di mana saja. Ya, demikianlah hidup yang bergulir dari perjalanan waktu bagi kenyataan manusia dangan segala tambah-kurangnya.
Ramadhan muncul sebagai pengingat, sebagai jeda, sebagai
anugerah hidup bagi manusia yang telah melulu disibukkan hal materi yang
bersifat keduniaan. Dia hadir bagi kehidupan yang luas, laksana bulan yang
sejuk dan lembut memercikkan nur di malam hari kepada jiwa-jiwa yang kering dan
hampa. Dengannya, hidup jadi berlentera dan tertata. Pola hidup dan pola makan
ditatanya sedemikian rupa dan terlebih lagi bagi rohani manusia.
Kalau selama ini semua keinginan selalu diujudkan, kehendak
mesti dilaksanakan, maka pada bulan ini tidak bisa seperti itu lagi. Ada
beberapa hal yang perlu untuk patuh diikuti. Wajib dilaksanakan. Ada rukun dan
syaratnya. Dengan begitu banyak hal yang tersirat di dalamnya. Selain keyakinan
atas nama keimanan, juga terbersit introspeksi bagi diri masing-masing manusia
yang terpanggil dalam seruannya.
Puasa hanya untuk orang yang beriman. Seruan ini tdak memaksa
orang yang berada di luarnya. Ya, orang yang tak beriman sudah pasti tidak
masuk ke dalam seruan golongan ini. Kenapa? Ya, semua itu tersebut dalam ayat
yang menyatakannya dengan sempurna. Dan hukum
berpuasa adalah wajib, dan sudah ada jauh sebelumnya. Kewajiban berpuasa sudah
ada begi orang-orang sebelum kamu. Begitulah kalam menyampaikannya.
Mengingat puasa sebagai ciri dan kepatuhan orang yang
beriman, maka tak dapat dibayangkan nasib orang-orang yang tidak beriman.
Selain tidak kena seruan, tentu saja perjalanan hidupnya akan berlangsung tanpa
jeda, kering dan tak pernah sempurna. Ini sengaja dituliskan karena jarang sekali
cara pandang semacam ini muncul ke permukaan. Biasanya, melulu pada soal
bagaimana puasa dan kewajiban manusia melaksanakannya serta nilai-nilai
ketakwaan saja.
Dunia akhirat, Surga neraka, serta hitam putih lainnya saja
yang muncul dengan ungkapan lebar-panjang serta uraian yang mengemuka. Padahal,
sisi lainnya juga amat berguna dan dapat dijadikan patokan pula. Di sinilah
kini tulisan ini akan bergema. Gema takbir yang membahana, panggilan taraweh
yang bergema adalah jalan ingatan untuk mengingat kembali kenyataan keseharian
hidup kita.
Puasa bukanlah sekedar menahan haus dan lapar, atau nafsu
yang mesti dijaga tapi dibalik itu semua ada yang mengemuka dan mengedipkan
mata. Ya, sebuah kebiasaan yang perlu ditata bagi kehidupan di zaman yang serba
dengan serbinya. Ramadhan sebelum dan sesudahnya ini dimaksudkan sebagai
pernyataan bahwa puasa itu adalah selamanya, bukan satu bulan saja. Tidak cuma
Ramadhan saja kita berpuasa, tapi selama hidup.
Wah. Berpuasa selama hidup? Pertanyaan ini setidaknya bisa
dijawab dengan pernyataan akan hakikat,
dan inilah yang dimunculkan bulan Ramadhan atas hikmahnya bagi manusia. Tersebab
puasa itu menahan maka maknanya bukanlah melarang. Bukan melarang makan dan
minum atau hasrat dan nafsu, tapi jeda dalam menahan untuk menyalurkannya
hingga sampai pada sesuatu dan waktu yang tepat untuk itu. Jadi, adalah benar
kalau puasa itu selama hidup. Kalau bukan, tentulah kita akan menjalani hidup
tanpa aturan, kering dan tergesa.
Penegasan selanjutnya adalah, dengan banyaknya produk yang
masuk ke negeri ini, baik makanan, minuman, pakaian, otomotif, media komunikasi
serta beragamnya gaya hidup dan bisnis properti
yang bermunculan tentu saja akan berdampak bagi manusia Indonesia yang
konsumeristis. Puasalah yang mengingatkan untuk menahan dan mengatur serta
menata hati untuk mengantisipasinya. Dengan begitu, prioritas akan muncul dan
yang bukan prioritas bisa ditahan untuk tidak dikejar bila hanya karena nafsu
dan impian kosong yang tak berguna. Selamat menjalankan puasa, semoga kita
sampai pada peringkat taqwa.
Kampung Kobak, Tambun
18 Juni 2015
No comments:
Post a Comment
SILAHKAN TINGGALkAN TANGGAPAN DI SINI