Oleh Irman Syah
Tanjung Balai, Foto Dede Rasyid
Seorang kawan dekat me-mention-ku melalui tweet-nya tentang ijazah palsu ke akun-ku belum lama ini. Aku tak sempat membalas dan akhirnya ku-retweet aja sebagai respon pertemenan. Bukan berarti menganggap tak penting apa yang dia ungkapkan, tapi rasanya tak lengkap cuma dengan membahasakan jawaban dalam 40 karaker pada sebuah kalimat.
Apalagi, setelah membaca dan
memaknai maksud dari ungkapannya itu pikiranku langsug melayang. Ya. Jauh ke
Sumatera sana, ke tempat di mana aku menyelesaikan studi, mulai dari sekolah
dasar sampai perguruan tinggi. Terus, aku jadi ingat akan ijazah-ijazah yang
telah kuperoleh dan memaknai ijazah itu dengan pertanyaan, apakah ijazahku itu
‘asli’ atau ‘palsu’? Iya, palsu juga barangkali. Bukankah aku juga belum pernah
menguji keasliannya melalui sebuah jabatan atau pekerjaan.
Pikiran semacam ini mencuatkan
cara pandang baru pula bagiku untuk menyatakan kepalsuan ijazah yang kumiliki karena
ingin mengutarakan persoalan ketika melihat beberapa kasus yang tengah terjadi
di republik ini. Khususnya perihal ijazah palsu yang tengah dimarak-marakkan
itu. Mulai dari kalangan karyawan kelas bawah sampai ke tingkat mentri kasus
ini telah membukakan dirinya kepada publik. Tanggapan publik tentu saja beragam
pada kenyataannya.
Keragaman tanggapan itu membuat
media sosial jadi ramai dan marak dengan status-status yang tak terduga.
Akibatnya, banyak pula pertengkaran yang terjadi di sana-sini. Ada yang
menyalahkan pengguna ijazah palsu itu dengan bahasa yang tersaring tapi lebih
banyak yang menyorotnya dengan bahasa kasar dan terkesan membenci. Entahlah,
apakah tersebab dendam karena tidak mendapatkan pekerjaan. Hal sentimental pun
mengemuka.
Bercermin dari bahasa yang hadir di
media sosial yang tak karuan, menyimak politik di negeri ini yang sulit untuk ditafsirkan,
serta mengamati akar ideologi yang sudah terasa berjarak dengan kenyataan, maka
banyak hal yang timbul dari beberapa kasus yang kini mengemuka. Walau pun
demikian, sikap optimistik mestilah tetap dipelihara agar tujuan dan cita-cita
serta rasa cinta pada tanah air itu selalu terjaga. Dengan begitu dasarnya jadi
tepat dan kuat.
Fenomena di lapangan pun seakan
menyambut kondisi negeri ini dengan ragam dampaknya. Masyarakat kadang
diributkan dengan dekadensi moral, rasa takut akan adanya begal, korupsi yang
memunculkan aktor-aktor baru, sementara pengkulktusan dan eforia pertunjukan
seni tetap menjamur dengan tambah-kurangnya. Ada yang sekedar nampang di media
sosial saja dia sudah puas, senang dan merasa diri sudah menjadi seniman.
Bagi mereka yang lain atau
seniman yang tidak hanya sekedar, tentu tidak bisa menerima kenyataan di
atas. Mereka tidak mau menerima eforia
kesenian yang terkesan marak, tapi senimannya dimiskinkan. Tentu saja mereka menuntut
panita penyelenggara event yang menggelar acara itu karena dianggap telah tidak
bertanggung jawab, meski cuma perihal transportasi saja tidak mereka dapatkan padahal
telah mengisi acara.
Begitu pula halnya dengan
pencitraan beberapa tokoh yang dikultuskan sebagai ‘bapak ini’ atau ‘bapak itu’
serta ‘ibu ini’ atau ‘ibu itu’ yang seakan-akan telah berjasa dalam memakmurkan
usahanya dengan tidak meninggalkan rakyat sebagai masyarakat yang mereka
cintai. Miris memang. Kenyataan ini semakin menjadi-jadi setiap saat, apalagi
dengan musim pemilukada serentak yang akan digelar.
Kembali pada persoalan ijazah
palsu yang memicu tulisan ini ada, aku merasakan banyak hal lain lagi yang
lebih penting untuk diangkat kepermukaan. Tentu saja hakikat kepentingannya
sangat membantu kejernihan bahasa, baik politik maupun kerjasama yang
dijalankan pada institusi-intitusi pemerintahan. Terutama keterjepitan hidup
masyarakat adat, baik persoalan tanah ulayatnya yang terkatung-katung
keabsahannya karena hukum yang digunakan tidak memihak pada kehidupan mereka.
Pencitraan yang palsu, ijazah
palsu, kecintaan pada tanah air yang palsu, kampus palsu, pendidikan yang
menghasilkan keahlian yang palsu karena cendrung mengejar kapital ketimbang
fungsi, serta banyak lagi kepalsuan lainnya yang semestinya dihadapi dengan
kearifan dan kedewasaan berpikir. Tentu hal semacam ini akan mampu
membahasakannya dengan ungkapan yang baik dan tepat. Pada kenyataannya, bahasa
yang digunakan untuk mengabarkan tentang kepalsuan ini telah tak karuan pula diterima
masyarakat tersebab mengacu pada kepentingan kelompok dan golongan tertentu.
Seorang kawan dekat me-mention-ku melalui tweet-nya tentang ijazah palsu ke akun-ku belum lama ini. Aku tak sempat membalas dan akhirnya ku-retweet aja sebagai respon pertemenan. Bukan
berarti menganggap tak penting apa yang dia ungkapkan, tapi rasanya tak lengkap
cuma membahasakannya dengan jawaban dalam ruang sempit di 40 karaker pada
sebuah kalimat. Hanya dengan tulisan inilah akhirnya kututurkan.
Roemah Melajoe, 11 Juni 2015
No comments:
Post a Comment
SILAHKAN TINGGALkAN TANGGAPAN DI SINI