Oleh Irman Syah
Seorang kawan menyampaikan kabar gembiranya kepadaku tentang salah seorang dari
kawannya, yang katanya sekarang begitu aktif dalam bidang tulis-menulis. Banyak
sudah yang ditulisnya; puisi, cerpen, esai dan bahkan novel. Dia malah terlihat
aktif sekali, begitu katanya lagi untuk meyakinkanku agar tidak melepaskan
pandangan mata kepadanya. Aku bahagia akan buah ceritanya. Bukankah teman yang
diceritakannya itu adalah juga akan termasuk menjadi temanku pula, tentu saja setelah
ia menceritakan dianya padaku.
Setelah ngopi dan berbatang-batang rokok, berpisahlah kami
sesuai waktunya. Dia pulang ke rumahnya dan aku akhirnya memilih nongkrong di
tongkronganku, tak jauh dari situ, tepatnya di pinggir kali. Ada saung dan perpustakaan
di pinggirnya. Sebuah tempat yang memang sudah 4 tahun terakhir ini aktif kami
jadikan wadah dalam apresiasi berkesenian dan kebudayaan. Tempat ini tak pernah
sepi, ada saja yang menempati. Apalagi mahasiswa, mereka selalu ada, karena memang
dekat kampus juga posisinya.
Ketika apresiasi panggung seni, latihan dan diskusi perkotaan
di antara kami telah usai, biasanya bantaran kali ini akan banyak juga dikunjungi
orang. Mereka mungkin senang dengan gelora dan arus air Kalimalang ini
sepertinya. Atau mungkin juga sekedar untuk melihat-lihat deru mobil yang
menderum di kejauhan, karena memang tepat di seberangnya; menghampar sebuah
jalan raya yang selalu ramai dipadati kendraan. Nama jalan itu Jalan Chairil
Anwar.
Apalagi kalau masa mudik lebaran, jalanan ini sudah pasti tak
putus dihinggapi mobil dan motor yang membuat antrian macet berkilo-kilometer. Arus
kendraan itu nantinya akan bergeduru lagi menuju arah yang menghubungkannya ke pantura.
Kenikmatan puasa Ramadhan dan buka bareng pinggir kali selalu menjadi kegiatan
pavorite. Tentu nantinya akan diisi dengan bedah karya kawan-kawan, baik puisi
dan lagu, dan unjungnya berkaca tentang siapa seniman yang lagi dibicarakan
orang hari ini. Semua tercipta begitu saja, tak ada yang percuma.
Di sinilah tongkrongan itu. Tempat dimana ekspressiku dan
kawan-kawan menjelma menjadi sebuah wacana. Tapi, kalau kawanku yang tadi
datang dan bercerita tentang kawannya itu memang baru satu kali ini dia datang.
Bagiku kehadirannya sudah lahir menjadi kebahagiaan. Cara berkarya kami saja
yang agak berbeda. Kedatangannya menciptakan indikasi baru pula tentang apa
yang telah kami lakukan di bantran ini.
Aku memang lebih banyak di lapangan, sering nongkrong malah dan
kemudian, kalau nggak capek sesampai di rumah pas pulangnya, baru akan menuliskan
gagasan yang tadi melintas di pinggir kali itu ke dalam bentuk catatan yang akan
diwujudkan ulang nanti ke dalam bentuk sketsa-sketsa tulisan yang mesti dijadikan. Beda dengan kawanku itu, jangankan penyair
macam Chairil -- yang bikin puisi dengan ikut serta dalam gelora pertempuran – atau
lainnya, ya, jauhlah dia. Palingan, kalau mau jujur; ‘Seniman Rumahan’-lah dia baru, kalau kita
memang mau berusaha secara tepat untuk menyebutkannya. Singkat cerita,
demikianlah dia.
Sebagai pengarang sesungguhnya harus memiliki kemestian untuk
mengungkapkan beragai rahasia kehidupan,
dan itu bertebaran di lapangan. Inilah yang kadang berhasil menjadi bahan-bahan
perenungan dalam melahirkan tulisan. Demikian dulu banyak dilakukan oleh banyak
seniman. Di bantaran kali, di tempat ini hidup terasa begitu menyenangkan,
kadang kita dapat melihat anak-anak jalanan usia kecil, sebutannya pengamen
lampu merah; yang dengan girangnya melompat dari jembatan Cut Meutia ke kali
untuk melepas-luapkan ekspressinya. Begitulah, mereka akan sering seperti itu
selepas beberapa kali ngamen dan mendapatkan recehan. Setelah pakaian kering,
mereka akan melanjutkan aktivitas untuk mengamen itu lagi.
Setelah beberapa waktu dari kedatangan dan kepergian temanku
itu berselang, aku jadi ingat akan dunia tulis-menulis yang begitu marak di
negeri ini. Sementara aku dan kawan-kawan komunitas masih saja berkutat dengan kawan-kawan
lainnya di bantaran kali ini; terkadang menerima telepon tentang anak-anak yang
dibawa ke Kedoya karena ditangkap Satpol PP untuk diurusi, atau bergerak ke
Lapas-lapas untuk berkisah tentang Art Terapy. Setidaknya tetap setia dan
selalu berusaha untuk membuktikan kata pada wujudnya.
Begitulah. Media Sosial yang beragam dan begitu ramai pula digemari
menceritakan ini, buku-buku yang berhamburan terbit dari sudut-sudut negeri,
pentas-pentas yang setiap detik muncul sebagai update-an di wall facebook
mereka, yang semuanya itu sangat membangun gairah. Hanya saja, kadang karya
yang ditulis itu, yang katanya karya puisi umpamanya, tapi sesungguhnya semacam
berita tentang cerita diri saja layaknya; sesaat dibaca dan sesaat itu pula akan
hilang begitu saja tanpa garis ingatan.
Kehadiran karya yang tergesa, kemunculan gagasan yang tidak
matang telah mengganggu laju nilai dan mutu karya dari sebuah tulisan. Bisa
saja dibayangkan, kalaulah hal semacam ini terus dan berkelanjutan, mungkin
untuk keluar rumah dan bersosialisasi saja para seniman rumahan macam itu akan
sulit untuk ditemukan. Apalagi di terminal, stasiun, pinggir kota, dan
perkampungan kumuh. Seniman itu sesungguhnya gelar aktivitas kehidupan, bukanlah
nama. Kadang ini yang terlupakan, padahal tujuan hidup itu amat sederhana; hanya
berusaha mewujudkan nama sendiri agar menjadi nama itu yang sesungguhnya, sesempurna
mungkin.
RoKe’S, 1 Oktober 2015
No comments:
Post a Comment
SILAHKAN TINGGALkAN TANGGAPAN DI SINI