Oleh Irman
Syah
Ketika segala sesuatu sulit untuk diucapkan secara nyata, karena bisa menyinggung personal dan kelompok manusia, maka sastralah yang mampu membahasakannya dengan gamblang dan tertata. Persoalan bahasa dan hakikat makna inilah yang menjadikannya sungai yang mengalir dalam jiwa. Dalam kelembutan ucapan, dalam pemaknaan tafsiran, semua terungkap jadi pertanda, jadi pelita, jadi penerang kenyataan kehidupan.
Tumbuhnya Komunitas Sastra sesungguhnya akan mampu membantu
terangnya jalan informasi budaya, kehidupan kelompok dan peradaban kemanusiaan.
Dengan begitu akan didapati tanda-tanda yang bergerak demi pemahaman arti akan kenyataan
hidup dan kehidupan di sebuah negeri. Kecendrungan semacam ini mesti dipupuk dan
dibina agar kelak tidak menyesal karena telah begitu saja kehilangan bahasa.
Sebuah negeri, sama halnya dengan sebuah kota, akan menjadi
kian semarak jika adanya kekuatan bahasa yang terpelihara bagi warganya.
Hubungan komunikasi akan berlangsung harmonis, baik antar warga, atau warga
kota dengan pejabat pemerintahannya. Andai hal semacam ini terjalin rapi maka
akan dapat dijamin dan dipastikan bahwa hubungan kemanusiaan di kota itu telah pula
menjadi sempurna.
Kesempurnaan? Wah. Sebuah impian yang tak berkesudahan bagi
keinginan kehidupan. Manusia, alam,
binatang dan tumbuhan akan saling menjaga ekosistemnya: kehidupan berjalan
dengan tatanan yang ideal. Saling memberi dan mengukuhkan kehidupan. Apabila kenyataan
ini di balik, kesengsaraan dan kematianlah yang menjelma di pelupuk mata.
Terlalu jauh kedamaian, terlalu lama penyiksaan manusia bagi diri sendiri. Siapa
pun itu, takkan pernah mau memilihnya.
Apalagi? Kenapa mesti berlama-lama. Ketika sejarah sulit
untuk dipercaya, bahasa sastra akan mampu menunjukkan arah pada peta. Hanya
kesahajaan yang mesti ditanam bagi siapa saja. Jangan merasa diri yang paling
benar, kembalilah berkaca. Bukankah kesederhanaan adalah ciptaan dan
keluar-biasaan adalah hakikat pencipta itu sendiri. Memelihara kerendahan hati,
kelapangan dada, kejernihan pikiran takkan ada jeleknya. Tinggal kembali merujuk
debur dada, mengucapkan syukur pada yang kuasa.
Mencintai kesusastraan, mencintai bahasa: bangsa akan bertumbuhan
dengan mekarnya. Di sinilah wadah, di sinilah persemaian syair perdamaian bagi
negeri. Siapa pun pemimpinnya, asal berpijak pada kebudayaan, memelihara sastra
dan bahasa, hidup akan tetap berjalan sesuai rencana. Andai sebaliknya, tunggu
saja keruntuhan yang akan menimpa: adat dan tradisi akan porak poranda, kesemrawutan
menjelmakan perlawanan yang membabi-buta. Terang dan gelap hanya seketika.
Di negeri puisi ini, di kota cerita ini, di wilayah patriot
ini, akan selalu menggema kata-kata yang luar biasa: bisa saja kembali Di Tepi Kali Bekasi, atau di lirik Puisi
Kerawang Bekasi, semua akan
berhamburan, semangat patriotik demi kehidupan manusia kian menjelma. Ya, di
sinilah sastra menggetarkan kota. Padanya, hanya satu ungkapan yang tersisa:
mencintai sastra pastilah akan mampu mengukuhkan kota dalam bait-bait perdamaian
bagi kehidupan nyata.***
RoKe’S, 13 Desember
2012
No comments:
Post a Comment
SILAHKAN TINGGALkAN TANGGAPAN DI SINI