Sastrawan Makmum




Oleh Irman Syah



Hambar rasanya kebahagiaan jika diri tiada pernah lagi mendapatkan butir-butir bahasa yang elok dan indah, serta penuh dengan  keberartian – kadang mengingatkan, menuntun, dan mengutuhkan cara pandang dan sikap hidup manusia dengan warna-warninya persoalan -- laksana cahaya yang membentangkan kehidupan bagi tegaknya nilai kemanusiaan yang begitu agung -- dalam memandang sesama sesuai kehendak-Nya.


Peluh keringat atas nasib yang mendera siapa saja tetap akan mengeringkan seluruh isi tubuh, termasuk mempengaruhi fungsi syaraf yang ada di dalamnya. Proses dan cara berpikir bisa berubah begitu saja menjadi hamparan gurun-gurun yang melambaikan debu. Rutinitas atau keseringan,  karena itu ke itu saja yang dilakukan dalam setiap pekerjaan, akan membuat jiwa semakin aus. Di sinilah lembah kenyataan atas diri kehidupan itu yang membutuhkan kelembaban. Satu-satunya jalan yang perlu ditilik dan teramat penting untuk dibangkitkan kembali adalah kesusastraan.


Demikianlah. Sastrawan adalah seorang linguis yang cermat. Dia mampu membahasakan yang tak mampu diungkapkan oleh sebuah berita. Mengingat hal yang semacam ini, pandangan kita tentu akan mengelana pada perkembangan kesusastraan yang menggejala di republik ini. Nah. Kalau sudah sampai ke wilayah ini, jika dihubungkan dengan apa yang dialami manusia Indonesia pada kenyataannya, tentu saja menimbulkan sesuatu yang stagnan dan diri akan selalu dikungkung oleh ragam persoalan tanpa pernah menemu jalan keluar.


Beragam karya membludak begitu saja dan terbit menjadi buku – terserahlah, apakah ‘buku’ itu memiliki ‘ruas’ atau pun tidak – yang kesemuanya itu ternyata menimbulkan persoalan baru pula jika dihubungkan dengan nilai yang wajib diembannya sebagai sebuah era. Sejauh mana karya itu dapat memberikan rangsangan kehidupan yang lebih baik serta jalan keluar atas konflik yang dialami pembacanya. Tentu saja ini dapat diperkirakan, karena karya yang tidak bermutu, karya yang cuma berita personal pengarangnya, karya yang menyobek baju di dada itu, hanyalah bacaan yang sia-sia.


Membayangkan kekeringan jiwa sebagaimana disebutkan di atas, hal ini bisa dibuktikan dalam keseharian, bagaimana pergerakan bahasa kehidupan yang diucapkan warga di negeri ini. Terserah, apakah dia seorang Pejabat, Sastrawan, Guru, Ulama, Pendeta, para ahli dan Pakar lainnya; akan bisa dilihat dari butir-butir bahasa dalam ungkapan keseharian yang mereka ucapkan. Tentu saja kapasitas masing-masing akan berbeda ukuran sesuai beban dan fungsi yang diemban masing-masing dalam kehidupan. Inilah kaca kehidupan yang dapat dilirik setiap saat bagi siapa saja. Sejauh mana bahasa mampu menyirami hati manusia?


Hambar rasanya kebahagiaan itu jika diri tiada pernah lagi mendapatkan butir-butir bahasa yang elok dan indah, serta penuh dengan  keberartian – kadang mengingatkan, menuntun, dan mengutuhkan cara pandang dan sikap hidup manusia dengan warna-warninya persoalan -- laksana cahaya yang membentangkan kehidupan bagi tegaknya nilai kemanusiaan yang begitu agung dalam memandang sesama sesuai kehendak-Nya.


Dengan munculnya sastrawan-sastrawan “makmum”, yang telah dibaptis melalui event-event kesusastraan tertentu, serta dilegitimasi oleh kelompok-kelompok tertentu dan demi kepentingan-kepentingan tertentu pula maka situasi ini amatlah meresahkan. Jangankan Sastra diharapkan mampu untuk mengurangi kekeringan jiwa manusia di negeri ini malah kenyataan akan menjadi terbalik dan bisa-bisa menjerumuskan sejarah kesusastraan Indonesia pada hal yang sepele dalam hal keberartian. Bukankah event dan pertemuan akan selalu mengkultuskan tokoh berdasarkan ego personal dan ego kelompoknya.


Gairah kegiatan kesusastraan akhir-akhir ini memang bermunculan di mana-mana. Pesta-pesti dan ephoria tercipta begitu saja. Kesusastraan menjadi berita dan pembicaraan di mana-mana, tapi sastrawannya terjungkal numpang nebeng dan menginap di tempat teman. Kalaulah seperti itu yang terjadi, untuk apa berlomba-lomba memasang potret di akun Sosial Media? Entahlah, mungkin saat ini adalah zamannya “Sastrawan Makmum”, menyiksa diri untuk kebahagiaan sesaat dan bangga pula untuk menyatakan diri telah berkiprah dan meluruskan bahasa bagi kehidupan.


Jakarta, 21 Oktober 2016


Share:
spacer

No comments:

Post a Comment

SILAHKAN TINGGALkAN TANGGAPAN DI SINI