Oleh Irman Syah
Baru saja Agustus beranjak meninggalkan bangsa
Indonesia dengan peristiwa yang bersejarah sebagai salah satu kandungan yang
berharga di dalamnya. Ya, Agustus pergi dengan segala kenangan yang dia
titipkan bagi rakyat di negeri ini. Beragam makna menjadi pertanda yang selalu
dimunculkan: bendera, pentas band, sandiwara, properti bambu runcing, serta
permainan dan upacara yang ikut melengkapinya.
Semua bergelanggang matahari, pun bersuluh mata
jutaan massa: Perayaan Hari Kemerdekaan Indonesia itu telah membangun cerita
baru dan spirit baru lagi bagi masadepan. Masa depan? Iya, masa depan Negara
Indonesia sekaligus masyarakatnya tentu. Pemahaman ini pun sungguh memerlukan
jabaran panjang, rumit dan rasanya sulit untuk memastikan kesamaan pandang bagi
masing-masing manusianya. Komonikai telah meraja.
Kenyataan telah membuat kita seakan dipaksa
menjalankan sendiri kehendak dan cara pandang dengan aturan masing-masing. Ada
yang menikmatinya dengan penuh semangat, ada yang separuh hati, pun ada pula
yang tidak memiliki pendapat sama sekali. Untuk yang terakhir ini mungkin saja
disebabkan oleh rasa pesimis yang telah menahun dalam kandungan diri masyarakat
karena begitu sulitnya mendapatkan kenyamanan serta kepastian hidup yang bisa
dipegang di negeri ini.
Untuk membahasakan hal yang demikian itu tidaklah
mungkin tuntas cuma dengan bahasan sederhana. Banyak hal yang perlu
dipertimbangkan dalam merumuskannya. Barangkali yang lebih tepat untuk bisa
disebutkan ialah bagaimana usaha dan persiapan untuk menyikapinya dengan
matang. Dengan begitu, niscaya akan bisa ditemukan rasa baru yang bakal muncul
demi perbaikan hidup yang mesti dimiiki serta dijalani sepenuh hati. Dengan
memulainya dari diri sendiri atau pun kelompok itu tak penting yang penting
berusaha keras membangun tatanan baru yang kreatif, maka hal ini akan jadi
bermanfaat.
Pengucapan ‘merdeka’ dan pemaknaannya tidak pernah
maju-maju adalah bukti pembododohan yang sengaja diciptakan dengan rapi, ini
terlepas dari penjajahan tematik yang salah wacana, dan selalu itu yang
diangkat ke permukaan. Sementara penjajahan itu sendiri tak lebih dari
pemahaman kolonial yang dibiaskan atas nama sejarah. Masih tetap saja soal
Belanda, Ingris atau Jepang dan lain sebagainya. Tidak pernah ada pandangan
penjajahan yang mengarah ke dalam. Akhirnya semua mengarah ke luar, masih saja
persoalan kekejaman atau keserakahan lama yang didaur ulang.
Cara pandang yang demikian teramat sulit untuk
membangun dan menciptakan tatanan yang lebih berarti. Rasa sakit hati, dendam
yang turun temurun itu bisa saja melupakan kekejaman yang dilakukan bangsa
sendiri atas bangsanya. Ya, ah, sudahlah. Bahasa yang muncul selanjutnya sudah
bisa ditebak dn pasti tidak akan menarik pula untuk didengarkan. Bisa-bisa
berubah jadi hasutan yang tak tentu pula jalan keluarnya. Untuk lepas dari itu
semua maka perlulah dicari formula yang jitu sebagai format kekuatan dengan
patokan dasar, untuk bermampuan menikmati hidup yang bercita-rasa negeri
sendiri.
Merdeka itu bebas dan terlepas dari cengkraman
penjajah tapi yang utama ialah membangun kesiapan diri/kelompok untuk selalu
memiliki tekad, merdeka utk selalu berbuat lebih baik dan indah bagi kehidupan
yang mahaluas: ya, sebuah kemampuan yang cermat dan tangkas ketika memaknai
hidup secara ideal dengan penuh kelapangan komunikasi untuk mengisi kemerdekaan
itu sendiri. Merdeka!
Siap! Okray.. Siaga seketika. Maju, buru.. Tak ada
yang bisa mengubah diri sendiri, kecuali diri itu sendiri. Baca! Bangun
Pustaka, bangun Koperasi, bangun Sekolah Kehidupan, bangun Keluarga Besar untuk
menghadapi itu semua!
Rokes, 7 September 2013
No comments:
Post a Comment
SILAHKAN TINGGALkAN TANGGAPAN DI SINI