Oleh Irman
Syah
Bahasa-bahasa yang berseliweran di telinga publik tentang
prilaku korup itu terdengar bagai gunjingan tiada henti, kadang menderu dengan
dentuman yang mengagetkan, laksana laju
kendraan bermotor yang terus berlalu-lalang di jalanan. Ya, kemudian
tersendat di lampu merah dengan ragam jenis dan ukuran serta tingkah polah
pengendaranya yang menyita perhatian pejalan kaki dan masyarakat sekitarnya
agar selalu siaga dan waspada, meski kadang sering memunculkan umpatan karena
kaget atas laju-kebut-nya yang tak menentu.
Begitulah analogi sederhana yang dapat diambil untuk
menyatakan sikap tentang kenyataan yang kini hangat dan bergulir terus dengan
update-annya pada setiap detik waktu. Berita-berita mengabarkannya dengan penuh
bumbu dan olahan ungkapan yang silih berganti. Berganti peristiwa, berganti
pula gaya bahasa ungkapnya. Apalagi dengan ragam peristiwa telah membuat semua
orang membelalakkan mata, marah, kaget, benci, atau bersimpati dengan alasan
tertentu. Persis korupsi yang terjadi di lampu merah. Tiba-tiba saja muncul
tabrakan beruntun yang begitu mengerikan. Ya, begitulah..
Kurupsi di lampu merah memang jarang disebutkan dengan kata
‘korupsi’, palingan kecerobohan atau ketergesaan, atau bisa juga dibilang tidak
tertib. Entahlah, padahal itu juga termasuk perilaku korupsi sesungguhnya. Laku
ini memang telah terjadi di segala lini kehidupan manusia. Di mana saja. Semua
itu akan selalu membuat pelakunya bermasalah dengan dirinya serta melibatkan orang lain sebagai dampak
persoalannya. Bedanya, takaran korupsinya saja yang berbeda, ini sesuai dengan
tempat dan prilaku koruptor itu sendiri.
Kalau di lampu merah, korupsi yang terjadi disebabkan
pengendaral sebagai pelakuya. Contoh yang bisa diambil antara lain, yaitu, peristiwa ketika seorang pengendara menyerobot
padahal lampu belum hijau. Nah, ini akan menimbulkan peristiwa sendiri
sesudahnya: kecelakaan dan dampak kematian bagi orang lain. Memang, mengambil
hak yang bukan milik kita, apalagi dengan rakus dan tamak adalah sesuatu yang
mesti dibumi-hanguskan di negeri ini karena mengabibatkan banyak dampak yang
menyita perhatian serta melanggar hak-hak manusia lain. Lebih buruk lagi, hal
ini akan merusak sumber-daya alam yang dijadikan bahan untuk bisa menuai itu.
Padahal, kehancuran alam akan membunuh semua yang hidup di negeri ini.
Baru-baru ini, dan masih hangat diperbincangkan, KPK telah
menangkap Ketua MK (Mahkamah Konstitusi) yang baru Akil Muckhtar di rumah
dinasnya (2/10) malam disebabkan tertangkap tangan menerima suap senilai Rp 3
miliar. Selain dia, berentetan pula dengan pejabat terkait dan pegusaha yang
terlibat di dalamnya pun ditangkap. Duh, informasi ini tentulah membuat publik
menjadi kehilangan arah untuk membangun rasa percaya terhadap negeri ini. Wah,
begitu hinanya perbuatan itu tapi kok masih saja ada orang melakukan perbuatan
semacam ini. Apa sesungguhnya kini yang telah terjadi di negeri ini? Kenapa
begitu banyak peristiwa yang tak masuk akal bisa muncul begitu saja. Artinya,
ada hal yang mesti ditanamkan ke dalam diri dan ruhani manusianya. Ternyata,
ilmu dan pengetahuan serta titel yang disandang
ternyata tidak menjamin manusianya bisa tunduk dan patuh terhadap
nilai-nilai yang hakiki.
Politik yang telah dijadikan sumber dari segala sumber dengan
dasar yang tidak mendasar itu memang telah mengantarkan manusia Indonesia pada
kekeringan hati nurani. Kehilangan rasa semacam ini tidak bisa ditawar-tawar
karena memang tujuannya yang telah jauh menyimpang. Menyebut kemakmuran rakyat
dengan kepentingan dan tujuan pribadi dan kelompok adalah sesuatu yang telah
biasa di dengar masyarakat saban waktu. Kenyataan ini telah membunuh budaya
sebagai tonggak yang sesungguhnya mesti dajadikan patokan.
Kenyataan pun malah jadi
terbalik, budaya pun akhirnya dipolitisir atas kepentingan ekonomi dan
kekuasaan, sehingga kepedihan hidup pun meruyak serta membuat menusia Indonesia
jadi kehilangan diri serta rasa percaya pada yang namanya kebersamaan serta
kecintaan akan negeri sendiri. Apa mesti
dikata, semua terjadi begitu saja. Korupsi merajalela. Tak ada lagi selain kita
yang mesti melawannya. Asah kata dan nyaringkan nada, ucapkan pada semua agar
selalu menjaga bahasa, memelihara dan selalu menghidupkannya sepanjang masa.
Bukankah bahasa telah terlebih dahulu dikorupsi mereka untuk kemudian
melancarkan tindak korupsi sesudahnya?
Rokes, 3 Oktober 2013
No comments:
Post a Comment
SILAHKAN TINGGALkAN TANGGAPAN DI SINI