Ibu



Oleh Irman Syah

Tak banyak yang bisa diungkapkan sebagai kata yang menjadi, karena semuanya akan selalu bermuara ke sana: kepada ibu yang selalu setia menerima anaknya apa adanya, menjalin keluh-kesah menjadi benang kehidupan yang tak bisa disepelekan. Dialah tempat berpulangnya segala resah, tempat semayamnya jiwa yang gelisah bagi segenap impian dan harapan insan yang bernama manusia.

April, bulan yang baru lewat ini memang mengingatkan kita pada Ibu bagi pertiwi. Kartini namanya. Meski pun begitu, cukup banyak nama-nama lainnya yang juga bermuatan sama berdasarkan prilaku atas sikap hidupnya yang membuahkan cinta bagi bumi pertiwi. Antara lain Rohana Kudus, Sitti Manggopoh, Cut Meutia dan lain sebagainya. Merekalah perempuan pertiwi yang telah membaktikan diri sebagai teladan yang perlu diingat dan diteruskan kembali cita-citanya.

Dalam kerangka sedikit besar, Ibu tak hanya sekedar Ibu yang melahirkan anak-anaknya dalam sebuah keluarga di rumah tangga tapi juga bermakna negeri tercinta atau tempat di mana darah tertumpah, tempat di mana ari-ari terkubur dan tersimpan dengan segala tata cara adat dan tradisinya. Begitulah, sekedar permisalan yang juga dapat dilihat secara makro tentang pemaknaan dan tujuan dan cita-cita yang penuh akan rasa cinta serta tanggung jawab yang mesti ditunaikan.

Negeri ini adalah ibu yang selalu setia memayungi dan menyangi manusia sepenuh kasih: merelakan dirinya terkuras nafsu yang meraja oleh anak-anak bangsa yang hanya memikirkan dirinya sendiri tanpa mengingat keseimbangan alam yang semestinya ada. Akhirnya dengan sakit yang dia derita Ibu pertiwi menangis sepanjang zaman, tapi tangisannya tak ada yang mendengar apalagi memperdulikan. Begitulah nasib, begitulah perjalanan hidup Ibu Bumi yang telah melahirkan kesuburan dengan kekayaan alamnya. Kalaulah bangsa Indonesia ini sedikit menyadari kondisi serta menahan nafsunya untuk tidak serakah tentulah penyakit yang diderita negeri ini akan berangsur baik dan pulih.

Hanya pada Penguasa Alam Semestalah do’a mesti dilayangkan, sayap-sayap niat ini berkepakanlah ke ‘Arasy-Nya demi kedamaian bagi kenyataan kehidupan manusia ke depan. Bukankah ‘Ibu’ atau ‘Umi’, atau ‘Umul Kitab’ telah memberikan gambaran dan garisan bagaimana tatanan hidup mesti dijalankan. Ikutilah sebagaimana mestinya agar anugerah ini tak berubah menjadi laknat bagi kehidupan yang dijalani. Tak banyak kata yang bisa diucapkan untuk meneruskan kalimat ini karena muaranya akan selalu berupa kasih-sayang yang mesti ditumpukan kepadanya. Ya! IBU. ***
Wapress Bulungan, 2 Mei 2013





Share:
spacer

No comments:

Post a Comment

SILAHKAN TINGGALkAN TANGGAPAN DI SINI