Oleh Irman Syah
Sejauh apa pun ilmu pengetahuan, takkan seberapa artinya bagi alam yang membentangkan kasih-sayang. Dialah yang setia membentengi manusia atas segala keluh dan keinginan. Tak bisa dibayangkan bila benteng itu runtuh, hancur, dan punah ulah tangan-tangan ambisi kelompok manusia yang mengeruk bumi tanpa memikirkan akibat hanya karena kepentingan diri serta kelompoknya saja.
Entah apa yang akan menimpa diri manusia lain serta seisi
bumi ini bila kenyataan di atas terus terjadi dan menjadi-jadi. Begitulah
derita alam, begitulah pula siksa diri yang hampa karena tak memiliki rasa
dalam sentuhan kasih-sayang. Padahal,
sejarah alam semesta itu sendiri bisa dikaji melalu diri sendiri. Malah Tuhan
pun bisa ditemukan jika kedekatan diri pada diri terbina setulusnya.
Diri dan alam, sesungguhnya ilmu yang takkan habis-habisnya
dicermati untuk keselamatan hidup dan kehidupan. Sebagaimana syair yang
mengelana di sungai makna, atau sungai-sungai purba di perut bumi. Begitu pula
kota-kota di bawah laut yang dulu tenggelam atas sebuah bencana besar.
Kandungan ilmu itulah sesungguhya yang akan meluruskan bahasa, sikap dan
perbuatan yang mampu menjinakkan kebuasan manhusia atas ambisi dan ego personalnya.
Alam yang luas tentulah takkan mampu dilengkapkan dengan
sebuah tulisan yang sempit ini. Meski pun begitu, titik-koma setidaknya bisa
menjadi tanda. Alam dan sejarah kehidupan manusia dan bahkan kehadiran manusia
pertama di bumi ini pun mampu dipecahkan di mana titiknya bila adanya ketulusan
dalam menahan diri serta keyakinan akan sejarah hidup manusia berdasarkan ‘kalam’
yang berkata-kata. Dengan begitu alam semesta menjadi buku kehidupan yang
selalu terbuka untuk dibaca dan dicerna.
Sebut saja Sundaland dan beragam peristiwa sebelumnya akan
menuntun pemaknaan hidup atas peristiwa alam di bumi yang dapat dibaca dengan
getar jiwa. Sebut saja Plato, Santos, dan lain sebagainya: mulai dari anggapan
mitos sampai ke penemuan dan penelitian pun telah pula mengabarkan tentang alam
dan peristiwanya, atau kemungkinan-kemungkinan pendapatnya. Tinggal bagaimana manusia
Indonesia kembali pada etimologi kebudayaannya.
Berkaca pada masalalu, letusan dan bencana besar yang
terjadi, semoga mampu membangkitkan rasa dan spirit dari nilai kebangsaan untuk
kemudian ditumbuh-kembangkan selama hayat dikandung badan. Alam itu memanglah
tubuh yang merindu dan kerinduan itu disebabkan jarak, maka bangunlah kedekatan
diri dengan diri agar alam selalu menuntun manusia untuk tetap menjadi manusia
yang sempurna atas sebaik-baiknya ciptaan.
RoKe’S, 4 April 2013
No comments:
Post a Comment
SILAHKAN TINGGALkAN TANGGAPAN DI SINI