Oleh Irman
Syah
“James Bond..!” Begitu jawaban kawan melalui perangkat selulernya ke saya ketika pada suatu kali kami sempat berkomunikasi. Pada kesempatan itu pula tanpa sengaja saya memang sempat menanyakan keberadaan dan situasi pekerjaannya hari ini. Maklumlah, telah lama pula kami tidak pernah ketemu dan juga berkabar. Sembilan tahun lebih sepertinya; ya, semenjak dia memilih hidupnya untuk menjadi seorang Pegawai Negeri sepertinya.
Dia adalah kawan lama yang asik dan riang, actor teater, dan juga
pelaku perkusi Gendang Sunda yang handal, dan bunyi gendangnya itu bisa saja ditambahnya
dengan irama dari mulutnya sendiri. Dengan kesehariannya yang kocak dan terkadang
bablas membuat aku dan teman-teman tak habis pikir bagaimana pula dia bisa menjadi
pegawai negeri dan hidup secara formal. Hehe. Begitulah, semua bisa terjadi
tanpa diduga.
Masih terbayang bagiku canda-candanya itu. Kadang kata-kata
kotor pun gampang saja tercipta dan ini malah digemari oleh banyak orang.
Bahkan kata-kata itu bisa saja melimpah dan berubah menjadi ungkapan yang tak
senonoh. Tapi, kawan saya ini memang tidak sampai pada wilayah yang sejauh itu.
Meski tak mampu berpikir lagi dalam memahami jawabannya, saya tetap saja penasaran
karenanya.
Seperti katanya tadi, dia telah berhenti menjadi seorang pegawai
negeri dan ini disebabkan oleh banyak hal. Karena demikian, maka dia akhirnya memutuskan
untuk beralih suasana dengan pekerjaannya baru itu, yakni James Bond. Katanya lagi,
dia kini telah tinggal di sebuah kawan elit
di daerah Penyangga Ibukota. Ya. Segala sesuatu memang bisa saja
terjadi, pikirku. Namun, tetap kukejar makna
jawabannya meski apa yang dia maksudkan tetap terasa aneh di telinga. Kuulangi lagi
kalimatnya untuk kemudian bertanya:
“James Bond..?”, pantikku dengan tudingan penasaran kepadanya.
Alasannya, saya memang tidak mengerti pada maksud dari jawabannya itu meski
sudah kucari banyak sumber informasi ke mana-mana. Huft! Masa ‘James Bon’ telah
berubah bentuk pula menjadi sejenis pekerjaan. Aneh.
“Maksudnya?”, kejarku. Aku langsung balik bertanya kepadanya. Tapi, dia
tidak segera menjawab.
Imajinasi memang unlimited, tapi imajinasi macam apa pula ini
yang merasuki dirinya, pikirku. Sudahlah, lebih baik kujadikan saja ini untuk
sebuah materi tulisan. Bukankah dengan tulisan pesannya akan bisa sampai dan dapat
dinikmati oleh orang lain meski pun dalam bentuk sasaran dan gaya bahasanya yang
lain pula.
Maka, kutulislah ungkapan yang akan anda lanjutkan membacanya
ini dengan jalan bertutur; untuk
mengawalinya, sengaja saya mulai dengan cara mengucapkan kata ‘maaf’. “Kenapa?”.
Ya. Karena ini hanya bermula dari sebuah realitas komunikasi personal biasa,
terus, kemudian distilir dan diputar menjadi sebuah ungkapan jenis kolom. Semoga
tambah kurangnya tulisan ini tetap akan memberi warna baru dalam penyampaian.
Maafkan, jika ‘Pro Kontra’ kali ini, terasa agak sedikit menyimpang
dari Pro Kontra biasanya; sebagaimana telah anda ikuti setiap sekali dalam
seminggu. Kalau tak salah usianya kini
telah masuk pada tahun kedua di Halaman ini. Kenapa memulainya mesti dengan minta
maaf? Tentu saja akan ada yang bertanya. Nah. Jawabannya, tak lain adalah: bahwa
kata ‘maaf’ di negeri ini begitu mahal, oleh sebab itu, jarang sekali kata ini mampu
berfungsi secara sungguh-sugguh dan berarti.
Permintaan ‘maaf’ yang saya ungkapkan ini sengaja dengan cuma-cuma
dan tanpa basa-basi. Ya. Tak sekedar kata itu sendiri sesungguhnya, tapi banyak
bayangan ‘kata lain’ yang bermunculan kemudian di depannya. Bisa saja ini juga
akan menimbulkan kata baru yang menjadi sumber pertanyaan pula. Antara lain,
adalah; “apakah masih bisa dipercaya begitu saja pelaksanaan ‘kata’ semisal ‘Sumpah’,
‘Ikrar’, ‘Janji’ atau kata lainnya hari
ini?”
Mempertanyakan makna kata sesuai etimologinya di era CyberTec ini terasa kurang mendapat
perhatian, padahal dari sana awal munculnya lalu lintas perbuatan. Bahkan
kata-kata yang kini ngetop dalam negeri sebagaimana kata-kata di atas itu tidak
lagi dilakonkan sebagaimana sesungguhnya. Itu sesungguhnya yang menjadikan
kawan saya itu berubah pekerjaan, kerennya alih profesi. Alasannya antara lain,
bukankah kita mesti mengungkapkan bahasa persatuan dengan tujuan kehidupan bersama
di negeri ini, bukan berdasarkan maunya pimpinan saja, ya, sesuai cita-cita kebangsaan.
Oh. Sekali lagi, saya minta maaf pada pembaca. Sesungguhnya
dan jujur saya katakan bahwa saya sesungguhnya lagi tidak mempunyai ide untuk
menghadirkan materi yang akan dijadikan kolom hari ini. Hehe. Akhirnya, saya
cuma mengabarkan cerita kawan yang menelepon dan mengatakan bahwa dia masih
bekerja tapi bukan lagi pekerjaannya yang dulu, yaitu di sebuah instansi
Pemerintah. Sekarang dia bekerja sebagai ‘James Bond’, yah, kedengarannya
sedikit aneh tapi terasa begitu keren.
Ketika dia saya paksa, akhirnya dia pun menyebutkan
pekerjaan yang kini dia lakoni dengan sesungguhnya. Saya tertawa
terpingkal-pingkal. Dia juga tertawa. Hehe. Ternyata, kegiatannya itu kini adalah
semacam petugas di rumah ibadah, yakni ‘Jaga Mesjid dan keBond’. Ah. Dasar!
Roemah Melajoe,
20/11/2015
Hehehe..Jaga Masjid dan Kebon jadi James Bond. Kekinian itu pekerjaannya, Ir..
ReplyDelete