Negeri Kabut Asap

Oleh Irman Syah


Kejadian yang melanda negeri ini sebagaimana diberitakan beragam media, dan terlebih lagi di media sosial tentang Kabut Asap itu cukup menyita rasa dan pikiran.  Hutan-hutan Sumatera dan Kalimantan terbakar. Kabut asap begitu tebal. Kenyataan ini semakin memojokkan negeri pada kondisi yang tak nyaman.

Bencana semacam ini, jika disigi berdasarkan kronologinya bermula semenjak tahun 1997, begitu katanya. Dan berarti di tahun-tahun inilah mulai gencar penerokaan hutan secara kasar oleh sekelompok manusia yang bersekutu dengan pemerintahan untuk melakukan pengerukan hasil hutan dengan pencaplokan lahan sesukanya.

Keberuntungan kelompok itu adalah kerugian dari banyak pihak atas hak dan dampak yang ditimbulkannya. Pertama hutan itu sendiri, kemudian ekosistem yang timpang, dan apalagi menimbulkan Co2 yang membabat nafas hidup masyarakat sekitarnya. Pembelokan keji atas tujuan yang sesungguhnya untuk kemakmuran rakyat berubah menjadi wabah penyengsaraan. 

Semenjak tahun 1997, telah bermula dampak dari hutan itu melalui kabut asap dan grafiknya makin lama semakin meningkat tinggi capaiannya setiap tahun.  Kenyataan itu hingga kini sudah sampai pada ancaman yang membahayakan kehidupan. Artinya, meskipun puluhan ton air yang setiap saat dikucurkan melalui udara oleh pemerintah bukanlah sebuah jawaban.

Jika hal ini dihubung-hubungkan, maka tahun 1998 adalah momentum yang bisa saja dianggap sebagai peristiwa yang tak lain merupakan opening penyerahan hutan negeri ini bagi kelompok manusia denagn profesi ‘calo’ pilihan rakyat atas nama kelompoknya telah menyerahkan alam ini bulat-bulat; terserahlah akan mau diapakan oleh korporasi kemaruk itu.

Kabut asap yang melanda negeri ini sungguh tak jauh beda dengan ‘kabut asap’ yang berada dalam kelibut parlemen negeri ini. Bencana yang berasal dari hutan yang terbakar berlaga dengan ragam peristiwa serta pertengkaran dan perselisihan yang terjadi di dalamnya. Ketidak-satuan mereka yang telah dipilih oleh masyarakat untuk mengelola negeri ini sangat layak menjadi indikasinya.

Kebijakan dan keberpihakan undang-undang yang tak bijak itu makin menjadi. Apakah itu mengenai tanah ulayat, keberpihakan hukum, politik, ekonomi, apakah memang untuk kemakmuran rakyat, atau untuk kemakmuran koruptor itu berlaga di sidang-sidang yang memalukan. Pemberitaan media tentang kabut-asap yang melanda pun terpapar begitu saja dengan pemberitaan selisih paham antar para pejabat penguasa yang mempertontonkan kebodohan.

Kerugian 200 triliun oleh bencana kabut asap tak apalah kalau itu bisa diatasi dengan angka belasan Triliun, begitu pula kata berita. Mengangetkan memang. Negeri ini tak cuma semisal angka-angka yang begitu saja bisa ditambah-kurangi atau dikali-bagi semau kalian. Ada manusia dan kehidupan di dalamnya. Kepercayaan masyarakat pada pengelola negara pun diciderai.

Kabut asap, tak cuma berasal dari hutan-hutan itu, tapi tepatnya berada pada simpul dan  lipatan kertas-kertas perjanjian, penetapan undang-undang serta kebijakan yang diambil. Janganlah ini cuma menjadi pembagian roti atas MoU yang diperebutkan sekelompok manusia yang tak pernah ingat akan kehidupan generasi masa mendatang, sementara pengampunan para koruptar semakin jelas membahasakan penghinaan terhadap warga negara.

Kabut. Ya kabut asap! Dia begitu saja menyita perhatian semua manusia tentang kesengsaraan hidup karena sebuah pengkhianatan terhadap masyarakat yang berada diseputarnya. Tingkat dan dampaknya pun telah berada di ambang batas dan jatuh pada ancaman bahaya. Entahlah, apakah kabut ini akan menetaskan terang olah penentu kebijakan atau akan tetap menjadi duka nestapa yang melahirkan gelap semata?

Roemah Melajoe, 8 Oktober 2015
Share:
spacer

No comments:

Post a Comment

SILAHKAN TINGGALkAN TANGGAPAN DI SINI