Oleh: Irman
Syah
‘SEPATU DAHLAN’
Novel ini adalah sebuah gambaran perjalanan. Sebuah gerak
hidup, perjuangan serta bagaimana terbangunnya diri dan watak dalam jiwa seseorang.
Hal inilah yang melahirkan kekuatan leadership serta ketangguhan sikap seorang pemimpin:
pengalaman hidup yang semacam ini akan isi-mengisi dengan kenyataan.
Buku ini justru mengemas tokoh sebagai “pembawa pesan” nilai tentang
bagaimana cara mensyukuri keadaan serta menjadikan cita-cita sebagai batu
loncatan untuk menggapai keinginan tanpa perlu merasa digurui. Begitulah kisah
ini berlangsung.
Dahlan adalah seorang anak yang tumbuh dalam garis kemiskinan
di Kebon Dalem, yang dibentuk oleh lingkungannya yang keras. Begitulah, dia
ingin memiliki sepatu dan diuji kesabarannya sehingga dalam waktu yang lama baru
dapat meraih cita-citanya. Bagi kita hal semacam ini mungkin kedengaranya adalah
hal biasa dan terasa amat sederhana.
Novel yang ditulis setebal 369 halaman, berukuran 210x140 mm
dan berat 400 gram. Penerbit : Noura Books (Mizan Group) ini ditulis oleh
Khrisna Pabichara:
Kisah ini dimulai dari kehidupan Dahlan kecil di sebuah
kampung miskin sekitar perkebunan tebu milik negara yang disebut Kebon Dalam,
Magetan. Kegiatan sehari-harinya adalah bersekolah dan berjarak enam kilometer dari
rumah kemudian dilanjutkan lagi dengan tugas kesehariannya menggembalakan
kambing.
Keluarga Dahlan Iskan sangat miskin dan bahkan untuk sarapan
saja kadang hanya dengan secangkir teh. Terkadang pula Dahlan ataupun adiknya,
bahkan bapaknya juga lebih sering mengikatkan sarung di perut mereka sekedar hanya
untuk menahan lapar.
Kehidupan Dahlan makin terpuruk setelah ditinggal oleh ibunya
yang meninggal karena sebuah penyakit yang tidak diketahui. Makin pupuslah
harapannya untuk mendapatkan sepasang sepatu yang dia impikan dan selalu
diutarakan kepada ibunya
Lebih banyak kebutuhan yang mendesak lainnya dibandingkan dengan
sepasang sepatu. Dan akhirnya inilah
yang membuat Dahlan harus merelakan tabungannya dibongkar untuk itu. Namun
semua itu tak berpengaruh pada prestasinya di sekolah: ia tetap semangat dan
berbuat.
Bukan Dahlan namanya jika dia putus asa dalam menghadapi
ragam persoalan. Dia mulai menyusun strategi untuk menjuarai lomba Bola Voli piala
bupati yang selama ini di pegang SMP yang pernah menjadi sekolah idamanya.
Bukan hanya sepatu, sepeda pun akhirnya dia dapatkan. Akhirnya novel ini
ditutup dengan sebuah kisah percintaan..
DI BALIK SEPATU PAK MENTRI
Dari
Fakta ke Fiksi:
PENULIS
akan berusaha untuk mengembangkan sayap kepenulisannya agar mampu menjadi kabar
atau cerita yang menarik. Ada data, faktual dan data referensial yang mesti dijadikan
bahan baku untuk dijadikan landas tumpu penceritaan. Kenyataan inilah yang perlu
dikembangkan: bangunan imajinasi itu tentu akan menjadi sebuah terowongan yang
melebar..
Hal
kecil bisa pula menjadi tumpangan persoalan2 besar: membangun cerita menjadi
kisah tak terduga.. Kepiawaianlah yang amat menentukan apakah bahan cerita dari
kisah hidup itu memunculkan sesuatu yang baru, sesuatu yang dapat membangun
nilai hidup yang berarti bagi pembacanya.
Kalaulah
demikian, kenyataan yang dibangun akan menjadi cair dan lembut, indah dan
menawan: apalagi juga dihalau oleh bahasa yang tertata rapi dan terpilih.
Tatanan bahasa tentulah amat menentukan jalannya komunikasi yang ingin
disampaikan. Pembaca akan menikmati perjalanan hidup seseorang yang dijadikan
patokan kisah itu kian menarik dan terasa bagaikan sebuah dongengan yang amat
memikat..
Demikianlah
jika sebuah sumber dijadikan inspirasi sebagai tulisan untuk sebuah karya yang
dibentangkan ke publik. Biasanya, penulis akan memilih fakta yang menarik untuk
dijadikan bahan dan fakta yang tak begitu menarik akan dikesampingkan. Hal
semacam ini sah saja kalau yang ingin dicapai dalam novel bisa muncul ke
permukaan dan mampu pula berbicara pada pembaca dengan tutur budinya.
pemanfaatan
semacam ini sesungguhnya perlu dikemukakan agar apa yang ingin ditonjolkan
dalam cerita itu kian mencuat ke permukaan dan bisa mengungkung faktanya dalam
bentuk penceritaan. Antara kisah dan kenyataan balut-membalut dan berkelindan.
Kisah jadi kian menarik dengan bumbu-bumbu imajinasi yang dapat mengukuhkannya.
Mengungkung fakta itu tak lain dimaksudkan adalah agar benang merah yang
membentang tetap menjalinnya sebagai ikatan bangunan cerita secara keseluruhan.
Dengan
begitu, penulis telah melebarkan fakta menjadi fiksi: kaidah-kaidah kebenaran
yang dimunculkannya pun tetap terjaga. Di sisi lain, tentulah yang namanya
fiksi tetaplah sebuah cerita dan fakta adalah kenyataan yang sesungguhnya
dialami tokoh yang dijdikan bahan cerita. Oleh sebab itu, karya sastra akan
membentang menjadi tataran antara fakta dan imajinasi..
Untuk
melanjutkan pokok pikiran ini, barangkali lebih tepat coba ditemukan pada
'antara fakta dan imajinasi' sebuah buku karya Umar Junus. Di dalamnya akan
berkelindan persoalan-persoalan semacam itu dan akan mampu menerangkan
analisanya secara tepat dan akurat. Sebagai contoh bisa diambil, apakah dalam
kisah Malin Kundang: dia yang durhaka atau Ibunya. Begitu pula tentang kisah
Hang Tuah dan kawan2: apakah Hang Tuah yang diunggulkan atau Hang Jebat yang
amat berpengaruh..
Untuk
tidak jauh melenceng dari pembicaraan, yang perlu diketahui adalah, bahwa fakta
akan mengerucut dan fiksi akan mengembang mengantarkan bunga-bunga persoalan
menjadi cerita yang dapat leluasa untuk dibaca dan komunikasinya pun akan menjadi
indah. Dia akan berubah menjadi bunga-bunga kata yang dapat menaklukkan rasa
pembaca pada kisah yang dialunkan kepadanya. Pembaca akan diarahkan pada
dramaturgi yang telah disiapkan jadi perangkap dalam membangun cerita oleh
penulisnya..
Mengikuti
semua kisah yang telah jalin-menjalin itu ada rasa yang bergulir, simpati yang
tertanam dan penghargaan yang dimunculkannya. Dari sanalah karya menjadi sebuah
pembicaraan atas nilai-nilai yang dikandungnya. Selain itu mulailah dampak
estetika itu pada horison harapan pembaca yang kemudian menjadikan dirinya
sebagai salah satu tokoh di dalamnya..
Dari
Fiksi ke Fakta:
Beda
halnya dari fiksi ke fakta. Dia merupakan bandingan terbalik dari apa yang
diterangkan di atas. Kalau dikaji lebih dalam: sesungguhnya kita mesti masuk ke
ceruk yang paling dalam di kehidupan tokoh yang citrakan itu. Berhadapan dengan
karya yang diilhami fakta, akhirnya kita akan beragkat pada sosiologi karya. Dari
sini akan dapat dilihat latar sosial karya, tokoh, dan budaya cerita itu
sendiri.
Dengan
begitu, lingkup sosial, zaman dan serta kondisi sosial saat itu amatlah bisa
dihubungkan dengan karya yang dihasilkan biar gambaran yang sesungguhnya dapat
diperoleh dengan cermat. Tentu saja melalui pendekatan, metode dan pisau
analisa yang tajam pula. Kalaulah hal semacam ini dapat dilakukan dengan baik maka
novel ini akan bisa menjadi cerminan zamannya dan tak hanya tokohnya saja.
Berdasarkan
analisa singkat dan pemahaman yang tidak begitu dalam maka hasilnya pun juga
akan menyempit dan dangkal. Begitulah karya dihasilkan atau apressiasi
dikemukakan. Novel Sepatu Dahlan ini terbit tepat disaat prestasi dan
popularitas tokoh yang diangkat juga sedang meroket. Tak ayal lagi novel ini bestseller
dan menjadi bahan perbincangan banyak orang.
Nah,
di balik ‘Sepatu Pak Mentri’ ini sesungguhnya banyak hal yang dapat
dibincangkan. Kata ‘sepatu’ yang sesungguhnya merupakan alas kaki bisa juga dihubungkan
dengan bagaimana perjuangan yang dialami tokoh kita ini dalam memperoleh dasar,
pijakan, atau patokan yang mesti
dimilikinya untuk menjalani hidup yang lebih baik dan bermakna dan juga dengan
profesi yang dipilihnya dengan penuh kesadaran. Upaya yang dinukilkan dalam
cerita ini adalah symbolik bagaimana manusia Indonesia yang tengah bergerak
maju mesti punya sikap yang jelas dan tegas serta kedisiplinan yang matang baik
jiwa, diri dan mental sekaligus.
Analogi
semacam ini bisa dikembangkan lagi berdasarkan novel yang ditulis Khrisna
Pabichara ini: bagaimana sulitnya usaha dan perjuangan Dahlan dalam menyiapkan
sikap, mental dan segala macamnya demi mkebutuhan hidupnya untuk terus maju dan
berjuang, dari masa kecil hingga berbuah kenyataan seperti sekarang ini. Tak
dapat dibayangkan kalau sepatu Dahlan itu akhirnya mampu menginjak tanah
kehidupan di berbagai kota hampir seluruh Indonesia.
Sepatunya
tentu pula akan berciuman dengan tanah, aspal, kabel, pabrik, atau instalasi
projek di percetakan-percetakan yang sempat ditanganinya. Sepatunya juga ketemu
dengan kemampuan dan daya listrik, oplah, kantor, serta ikut terbang
menyemberangi laut demi menunaikan tugas yang demikian padat. Tentu pula
telapak sepatunyalah yang lebih tahu
perihal kegersangan, kepadatan, kotoran, dan bau perjalanan yang dilakukannya.
Begitu pula aroma lantai baik istana dan parlemen: ya, sepatulah yang menerima
‘sepet-sepet’ bau kehidupan itu sendiri.
Hanya saja dikarenakan novel ini merupakan salah satu dari Trilogi yang akan diterbitkan maka yang bisa dihadirkan ke permukaan cuma perjalanan hidup tokoh dari masa kecil hingga remaja saja.
Hanya saja dikarenakan novel ini merupakan salah satu dari Trilogi yang akan diterbitkan maka yang bisa dihadirkan ke permukaan cuma perjalanan hidup tokoh dari masa kecil hingga remaja saja.
Meski pun begitu, novel ini dapat menginspirasi pembacanya untuk tidak menyerah pada keadaan. Apalagi petuah dari kedua Orangtua Dahlan selalu menekankan, bahwa hidup miskin bukanlah berarti harus meminta-minta untuk dikasihani melainkan mest dihadapi dengan kerja keras dan selalu berusaha: tapi ini kan juga merupakan pisau bermata dua bagi pembacanya..
Bekasi, 17 Juli 2012
No comments:
Post a Comment
SILAHKAN TINGGALkAN TANGGAPAN DI SINI