(Catatan Istana Jiwa-Nya Putu Oka
Sukanta)
Oleh Irman Syah
Ketika hendak membaca novel ‘Istana Jiwa’ karya Putu Oka Sukanta,
pikiran saya entah kenapa langsung saja terdampar
ke sebuah daerah sunyi yang seakan tidak berpenghuni. Sebuah kerajaan
besar yang entah berada di mana. Padahal
saya baru melihat judul. Selanjutnya, maka lahirlah tulisan yang tersebab dan
berkarena itu menjadi sketsa jiwa dan perih perjalanan hidup perempuan dalam
rangkuman yang sederhana.
***
Perempuan? Ya, Putu Ok Sukanta memulainya dari sini. Lembaran
ini mengisahkan ‘Per-Mpu-an’. Saya jadi ingat akan sebuah kalimat lama yang
mengungkapkan: apabila rusak perempuan, maka rusaklah sebuah negara. Bila
kenyataan ini dibalik, bagaimana pula jadinya kalau negara yang merusak
perempuan..? Sketsa dari kenyataan itulah yang dijadikan Putu Oka Sukanta dalam
melahirkan puisi kehidupan yang mahatragik itu melalui karya novelnya yang
berjudul Istana Jiwa.
Kelahiran? Ya, kelahiran apa pun itu bukanlah sesuatu yang
gampang dan sepele. Hal ini adalah sebuah keistimewaan. Banyak hal yang
dideritanya. Debar, getar, gelora, sakit, perih, nikmat, puas, hawa, nafsu,
gejolak, dan serta kelanjutannya akan tetap membaur menjadi kata, kenyataan dan
kebenaran. Rentetan peristiwa itu pun tentu dialami oleh pengarang dalam
mengolah rasa dan pikir. Hal semacam inilah yang sesungguhnya merupakan sejarah
karya.
Tak terbayangkan, bagaimana pergulatan itu menggumuli dada, mengaliri
saraf, dan kemudian membuahkan bahasa. Putu Oka Sukanta, pernah saya ikuti
karena puisi dan perjalanan hidupnya dan pada kesempatan ini saya bahagia
sekali bisa dapat bertemu muka. Jujur saja, saya baru kali ini membaca karya novelnya:
yang ada di dalam memori saya adalah ingatan akan beberapa judul kumpulan
puisinya dan itu pun saya dapat dari blog dan beberapa link.
Setelah selesai membaca ‘Istana Jiwa’ saya pun jadi teringat lagi
pada sebuah puisi yang ditulisnya Putu, diambil dari asepsambodja.blogspot.com
Dalam Sel:
aku seperti air
yang reda dari goncangan
mengapungkan busa
mengendapkan ampas
menapis keruh
pagi yang jernih
aku seperti air
yang reda dalam goncangan
mengaca ke dalam
pada keheningan di balur kabut
dan sosok utuh yang muncul
bukan lagi siapa-siapa
aku seperti air
yang reda dalam goncangan
kelam menyisih
terang menyorot
bukan lagi bagi siapa-siapa
yang reda dari goncangan
mengapungkan busa
mengendapkan ampas
menapis keruh
pagi yang jernih
aku seperti air
yang reda dalam goncangan
mengaca ke dalam
pada keheningan di balur kabut
dan sosok utuh yang muncul
bukan lagi siapa-siapa
aku seperti air
yang reda dalam goncangan
kelam menyisih
terang menyorot
bukan lagi bagi siapa-siapa
***
Membahasakan kenyataan dengan jalan komunikasi yang lembut
dan universal merupakan kiat yang tak bisa sembarangan dimiliki oleh seseorang
pengarang: hal ini mestilah dengan kelapangan
dada dan kedalaman makna serta keutuhan ungkapan dalam memaknai nilai-nilai.
Begitulah sastra sebagai sebuah mahkota bahasa: altar kecintaan, pendamai jiwa yang
resah, penghapus keluh yang teramat kesah, dan mengembalikan lagi dendam kepada
kata di singgasana-Nya.
Kandungan yang dimiliki oleh karya-cipta sastra
memang tak lepas dari ragam persoalan kehidupan manusia dengan segala
tetek-bengeknya. Semua terpapar dengan filosofi dan citraannya. Bagaimana semua
itu merupakan bagian yang tidak terpisahkan dan tetap menjadi satu kesatuan
yang tujuannya untuk mengisi rohani pembaca agar lebih terang dalam memandang
hidup, manusia, dan masa depan yang gemilang.
Seorang sastrawan adalah linguis (ahli
bahasa) yang cermat. Sebab, merekalah (segelintir manusia) yang mampu
menguraikan pikiran dan pendapat manusia ke dalam analisis bunyi (fonem dan
morfem), sintaksis, dan pragmatis. Selain itu, sastrawan juga dibebani oleh
tanggung jawab sosial dan sejarah yang sungguh tidak ringan. Sebab, sebagaimana
diyakini selama ini, sastrawan -- melalui karya dan totalitas kediriannya -- adalah
sesosok “arsitektur kemanusiaan”.
Pendapat di atas, saya ketengahkan untuk dijadikan patokan dalam
upaya memahami posisi dan peran historis sesosok “sastrawan” (dengan S
capital). Bagaimana mereka menjalani hidup, menjadi bagian dari hidup—“hidup”
dan “manusia”: manusia dengan segala kemanusiaannya, hidup dengan segala
kehidupannya—sekaligus melalui karyanya mereka menjadi “arsitek” atas hidup dan
manusia itu sendiri.
Untuk hal semacam ini tentu perlu adanya
kepekaan yang harus dimiliki oleh sastrawan. Kekayaan pengalaman referensial
dan factual yang dimiliki pengarang dapat mewarnai karya dengan ketajaman pena
dan kedalaman makna yang dikandungnya. Asumsi ini bukanlah hal yang
mengada-ada, apalagi ditambah dengan adanya dialektika budaya yang mematangkan
kehidupannya. Tentu karya yang dia ciptakan bakal lebih memiliki kekuatan yang
universal.
***
Meski pun yang diangkat oleh Putu Oka Sukanta
adalah peristiwa kelam tentang Tragedi Kemanusiaan 1965-1966, yang ujungnya adalah
penekanan terhadap penderitaan para perempuan, tapi kepiawaiannya dalam
menggunakan bahasa dengan narasi terpilih membuat karya ini menjadi universal.
Banyak butir-butir kenyataan yang dihadirkannya mendukung peristiwa yang tidak
cuma sekedar peristiwa, melainkan mengarah pada perenungan.
Hal ini amat dimungkinkan karena pengarang kelahiran
Singaraja Bali ini selain mengalami dialektika budaya karena hidup di Jakarta dia
pun juga seorang penyair yang handal. Apalagi materi dari peristiwa novel ini
juga sebuah pengalaman empirik yang selalu menghidupinya: 10 tahun dijalaninya
di penjara (1966-1976). Kalau Pramedya Ananta Toer berangkat dengan
ke-Jawaannya dan menulis Triloginya di penjara, maka Putu Oka Sukanta berangkat
dari dialektika budaya yang dialaminya serta menuliskan karyanya di luar
penjara.
Dengan begitu, Istana Jiwa yang dipilih sebagai
judul tentulah akan didapati dari jiwa yang besar. Kebesaran jiwa dalam
menikmati hidup akan membangun suasana hati yang lapang. Hal ini tentu jauh
bedanya dengan jiwa yang kerdil. Di sinilah letak keistimewaan karya ini.
Selain mengungkapkan karya dengan kelapangan dada dan kejernihan pikiran,
pemahaman tentang hidup dan nilai-nilai kemanusiaan pun terasa kuat di
dalamnya. “jangan bertanya apa makna hidup ini, tapi berikanlah makna pada
hidup ini,” demikian ungkap Putu Oka Sukanta dalam sebuah tulisan yang sempat
saya kutip dari sebuah sumber.
Menurutnya lagi, tugas cendekiawan dan ilmuwan
itu sama, melakukan investigasi, eksplorasi hal-hal yang substansial di
belakang fenomena. Sastrawan sebagai seorang intelektual tentulah juga melakukan
hal yang sama semacam itu: bukan memberitakan peristiwa, tapi mengangkat ruh
yang berada di belakang peristiwa itu. Dengan memilih cara pandang semacam itu
novel Istana Jiwa membahasakan
kedalaman serta pandangan dunia pengarangnya.
Demikianlah catatan ini, sastra sebagai mahkota
bahasa adalah citraan dari Istana Jiwa itu
sendiri dan perempuan-perempuan yang digambarkan dalam peristiwa tragic ini adalah
indeks dari beragam keyakinan tapi dalam sebuah kesepahaman. Mereka adalah
penerima dampak yang paling hakiki. Tersebab hal yang demikian itu maka
merekalah yang berhak mengenakan mahkotanya karena dari sanalah lahir spirit humanis
dalam sebuah Lingkar Humanis Unversal.
hihi. jagoan juga nih kawan. salam.
ReplyDelete