Nilai Kebangsaan

: Sebuah Anomali
Oleh Irman Syah

Ada semacam keanehan dalam perjalanan dan pergerakan nilai kebangsaan Indonesia sesudah kemerdekaan. Makin lama makin melebar dan tak terkemasi. Hal ini diawali dari perseberangan pikiran serta ideologi dari pucuk-pucuk kekuasaan. Padahal, mestinya dikristalkan saja untuk kemudian mata tajamnya itu diarahkan ke penyesuaian. Bukankah toleransi itu mesti diukur dengan terlebih dahulu dibawa ke dalam, sesudah itu baru diarahkan ke luar. Dengan begitu tentu kita tidak akan pernah kehilangan.

Begitulah. Perjalanan nilai kebangsaan, sesungguhnya pada capaian awal telah membuktikan bahwa toleransi, persatuan, dan nilai-nilai keadilan, melalui  prosesnya yang lama, panjang dan matang akhirnya mampu mencetuskan spirit dan rupa kebudayaan: hal ini tertuang jelas dalam Preambule UUD 1945 “.. telah.. mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur..”

Kelanjutan dan temuan makna dari kutipan preambul di atas itulah sesungguhnya yang mesti ditajamkan untuk dikembangkan dalam jabaran serta dinamika kebudayaan. Kalau tidak, kalimat itu akhirnya cuma akan menjadi menara gading belaka. Sebagai contoh, ketika tradisi bergerak ke modernitas tanpa disadari nilai-nilai yang mengakar raib begitu saja. Kenyataan ini telah mengalir begitu saja dengan arus yang deras dan akhirnya kembali memunculkan ungkapan ‘kesadaran’ atau ‘setengah sadar’ tentang  bagaimana cara kembali ke akar, ke asal mula dan juga dengan warna serta ragam istilahnya. 

Cara pandanglah sesungguhnya yang telah berkhianat karena kesepakatan tidak lagi berpihak pada keluhuran asal. Sebelum kemerdekaan, cara pandang itu masih jelas ukurannya dan setelah itu tidak begitu ditemukan lagi benang merahnya. Keberpihakan pada kekuasaan di luar diri telah membawa bangsa ini ke wilayah lain: sebuah wilayah asing yang sunyi serta tak lagi mengakar pada kebudayaan-kebudayan daerah yang telah bersatu menjadi bhinneka Tunggal Ika. Ya, dengan kata lain bernafas  keluar badan.

Sampai saat ini sulit sekali ditemukan tulisan-tulisan yang mampu meneruskan spirit dan rupa kebudayaan, padahal dulunya telah dinyatakan dalam prilaku hidup para pejuang bangsa dan menjadikannya kekuatan untuk memerdekakan negeri ini dari kungkungan penjajahan. Merdeka ternyata telah memperdaya manusia Indonesia untuk tercerabut dari akar yang menumbuhkannya. Kemanakah perginya nilai-nilai kebangsaan, di manakah dia kini? Kalaulah jawaban nilai kebangsaan itu ada di dalam kandungan kebudayaan, serupa apakah ia dalam kebudayaan Indonesia hari ini?

Kebudayaan pasti tidak statis karena hakekatnya adalah perubahan itu sendiri. Wah, perubahan macam apakah yang kini telah dialami manusia Indonesia: kalau sudah begini, terasa berat untuk meneruskan kalimatnya. Bicara tentang kebudayaan Indonesia tidaklah segampang membalikkan telapak tangan untuk merumuskannya. Hal ini cuma bisa dijawab oleh Preambul UUD 45 yang telah dikutip di atas untuk diluruskan kembali jabarannya atas nama kebudayaan Inonesia berdasarkan aplikasi yang mengakar: tentu pula sesuai berdasarkan ukuran dan nilai luhur serta niat tulus pendahulu bangsa.
RoKe’S, 31, Mei 2012

Share:
spacer

2 comments:

SILAHKAN TINGGALkAN TANGGAPAN DI SINI