TENTANG PROSA TAN MALAKA



(Tan Malaka Prosa itu Sendiri)

 

AWALAN

Kebahagiaan seseorang salah satunya adalah menceritakan dirinya kepada orang lain. Cerita atau kisah semacam ini tentu saja menuntutnya untuk bersikap jujur, memberi arti, cermat dan apa adanya dalam mengisahkan. Apa yang dia tulis dan ungkapkan dalam ceritanya yang Panjang lebar itu mestilah pula dapat ia pertanggung-jawabkan di dalam bentuk kenyataan yang sesungguhnya.

Banyak sekali cerita hidup yang dialami manusia termaktub di dalam kehidupan dan dialami  oleh setiap orang. Cerita-cerita hidup semacam itu tentu saja sangat bermanfaat bagi orang lain. Bisa saja orang yang membaca dan mendengarkan cerita atau kisah hidup itu akan dapat memetik hikmah di dalamnya. Dengan begitu kehidupannya pun akan menjadi lebih kaya dan bermakna.

Andai kata apa yang diceritakan oleh seseorang itu adalah sebuah kisah yang telah dengan sengaja ditambah-kuranginya semau hati, untuk membuat orang lain baik pembaca atau pendengar tertarik dan terpikat, tentulah ini sebuah kebohongan. Dan apabila kebohongan semacam ini terbongkar maka masalah lain pun akan bermunculan. Bisa saja nantinya berubah menjadi pisau makan tuan.

Apa yang telah dipaparkan itu bukan lagi bermanfaat tapi malahan menimbulkan kemudaratan bagi dirinya sendiri. Pendengar atau pembaca tantu akan terpancing untuk menudingnya. Tidak hanya sampai di situ, malah bisa bisa pula nantinya berakibat pada hal-hal yang tidak diinginkan. Artinya, untuk menceritakan sebuah kisah tentang diri sendiri perlu kejujuran dan pertimbangan.

 

TENTANG PROSA

Berangkat dari paragraf di atas kita coba untuk melihat dan minilik kembali bagaimana prosa memberikan pemaknaan dan sumbangsih tersendiri baik bagi penulis, tokoh, ataupun pembacanya, dan bahkan sekaligus punya dampak pasti bagi sesuatu yang lebih besar. Karenanya, dengan demikian kita bisa pula menempatkan sesuatu secara tepat tentang apa yang kita bicarakan.

Sebut saja kisah, atau sebuah prosa yang berangkat dari paparan yang merangkum sebuah kisah. Cerita perjalanan dan pelayaran seseorang dari suatu daerah ke daerah lain umpamanya. Beragam  pengalaman yang didapat dari tempat yang disinggahi tentu saja akan memberikan pengetahuan dan tersendiri. Banyak kenyataan tak terduga yang memunculkan semangat baru bagi kehidupan.

Begitu pula halnya dengan prosa yang terkemas dalam bentuk riwayat atau biografi. Isian berupa pengalaman hidup pengarang sendiri (otobiografi) atau bisa pula pemaparan atas pengalaman hidup orang lain sedari kecil hingga dewasa dan bahkan sampai meninggal dunia (biografi), semua itu akan dapat dijadikan ruang pemaknaan yang dapat dimanfaatkan sebagai tempat berkaca.

Sebagai contoh, ketika seorang anak muda membaca biografi atau otobiografi seseorang, yang di dalamnya mengandung riwayat hidup, maka kaca banding itu muncul begitu saja. Capaian dan usia akan dapat berbicara dengan mudah dan tergambar dengan jelas.  Dan dia pun akan dapat mengambil sikap dengan jalan membandingkan kenyataan usia tokoh melalui riwayatnya.

 

SEDIKIT TENTANG TAN

Tan Malaka adalah tokoh misterius dalam pegerakan dan perjuangan negeri ini. Kekuatan pemikiran dan perjalanan hidupnya sangat fenomenal dan ini pun tertuang dalam tulisan-tulisannya yang akurat melalui buku-buku yang ia wariskan. Ketokohannya pun menjadi pro-kontra pula di negeri ini. Sutan Ibrahim Namanya, bergelar Datuk Tan Malaka.

Dari gelar inilah penamaan ketokohannya disebut orang, yaitu: Tan Malaka. Filosofi hidupnya tak lain adalah filosofi Minangkabau, yaitu: Alam terkembang jadi guru. Misi revolusi adalah cita-cita yang ia miliki. Di Negara lain, seperti Jerman kita bisa memadankannya ketokohannya dengan Nietzsche. Dia muncul dengan filosofi ke-eksistensialis-annya.

Melalui filosofi keminangannya Tan Malaka bergerilya dan menularkan pergerakan perjuangan  menuju republik untuk sebuah keutuhan negara Indonesia. Naar de Republiek (1925) dan Massa Actie (1926) adalah acuan pergerakan yang ia telorkan dalam bentuk buku pada zaman perjuangan kemerdekaan. Buku ini merupakan pegangan para pejuang. Tak terkecuali Soekarno.

Sebagai motor penggerak sejarah, Tan Malaka memiliki kekuatan dengan dasar pikiran yang rasional, lebih dari perjuangan kelas. Semua terpapar jelas dalam bukunya yang spektakular, Madilog. Dalam pandangan pemikirannya, rakyat Indonesia Asli percaya pada kekuatan yang melekat pada material dan spiritual. Mereka menilai secara realistis, baik kekuatan alam maupun kekuatan dari diri mereka sendiri.

Menurut filosofi hidup Tan Malaka, seharusnya negara Republik Indonesia mestilah berdasarkan sosialisme yang tiada sedikit pun berdasarkan imperealisme dan kapitalisme. Asia Tenggara bersatu dengan Australia untuk sebuah bangunan Aslia. Ia menyebutnya dengan sumbu Bonjol-Malaka dan garis ini sangat layak dan memenuhi syarat untuk strategi dan diplomasi. Sumbu ini pun akan menguasai dua benua dan dua samudera besar. Semua tentu akan menjadi luar biasa karena memang punya kedekatan serta kekayaan alam yang dimilikinya.

Dalam mengaplikasikan konsep dan gagasan yang dia miliki, apalagi dengan jalan gerilya tentu saja bukanlah hal yang mudah. Dikejar-kejar, menjadi buron, dan juga ditangkap. Beragam penjara telah didiaminya. Dan Tan Malaka setia menjalaninya. Begitu banyak pro dan kontra yang menguburkan informasi tentangnya bagi generasi negeri ini.

 

DARI PE NJARA KE PENJARA

Tersebab dorongan teman-teman diluar atau pun yang berada di dalam penjara yang mengusulkan agar Tan menuliskan sejarah hidupnya dengan tujuan agar nantinya dapat dijadikan pelajaran bagi para pahlawan kemerdekaan sekarang dan di hari depan, akhirnya Tan Malaka pun menuliskannya. Itu pun ditulisnya setelah berjarak dan waktu itu ia ditempatkan di sel yang sunyi senyap, tak bercampur. Tepatnya di penjara Magelang. Maka lahirlah Dari Penjara ke Penjara.

Buku ini merupakan memoar perjalanan, ditulis pada tahun 1947 dan baru bisa terbit pada 1948 dalam bentuk stensilan. Berkisah ketika masih bersekolah di Kweekschool (Sekolah Guru) Bukit Tinggi. Kemudian berlanjut ke Belanda, bekerja di Deli, tinggal di Semarang dan bersinggungan dengan Sarekat Islam. Terus ditangkap di Bandung dan diasingkan ke Belanda. Kemudian bertualang ke Jerman, Rusia, China, Filipina, Hongkong, Birma, Singapura dan kembali lagi ke Indonesia pada zaman penjajahan Jepang,

Melalui buku Dari Penjara ke Penjara ini banyak yang tersibak. Prosa ini terasa kuat menuntun dan memperjelas kedirian, asal dan perjalanan hidup Tan Malaka. Riwayat atau otobiografi Dari Penjara ke Penjara ini terasa mencerahkan dan mampu menghubungkan sejumlah mata rantai perjalanan. Buku ini pun dapat dijadikan sebagai indeks dalam menelusuri seluk-beluk kehidupan dan perjuangan Tan Malaka.

“Buku ini saya beri nama Dari Penjara ke Penjara. Memang saya rasa ada hubungannya antara penjara dengan kemerdekaan sejati. Barang siapa yang menghendaki kemerdekaan buat umum, maka ia harus sedia dan ikhlas untuk menderita kehilangan kemerdekaan diri-(nya) sendiri.” Demikian ungkapnya. Dan Tan Malaka pun menuturkan pergulatannya bagaimana ketika ia di penjara Hindia-Belanda dan Filipina. Meski berada di balik jeruji, Tan Malaka tetap berusaha mendobrak semangat perjuangan rakyat Indonesia.

Buku ini tidak hanya menceritakan tentang diri Tan Malaka, tapi juga meluas pada sejarah dunia serta pergolakan yang terjadi saat itu. Dan di dalamnya, Tan Malaka adalah salah satu dari orang yang ikut menggerakkannya. Membacanya kita seakan disajikan tentang bagaimana kondisi Tanah Minang, kota Leiden Belanda, Komintern di Rusia, hingga penyerangan Jepang ke Semenanjung Malaya. Paparan dan gaya bahasa yang digunakan merupakan tuturan ringan, dan dengan bahasa yang mudah dipahami. Hal ini tentu saja merupakan suatu kemampuan susastra yang tak sekedar.

 

KEKAYAAN BAHASA

Gaya ungkap dan kekayaan bahasa yang dimiliki Tan Malaka dalam menggambarkan peristiwa terasa memukau. Kelembutan, ketepatan, dan keindahan berbahasa dalam penggambaran suasananya membuat karya ini menjadi memikat. Dapat kita lihat narasi yang dihadirkan Tan dalam menggambarkan suasana ketika pulang dari Belanda menuju Indonesia, seperti di bawah ini:

Hawa mulai sejuk, hujan rintik-rintik, angin bertiup sepoi-sepoi basah, November 1919. Kapal Samudra mengangkat jangkarnya dengan gemuruh, memutarkan mesin sayap di buritan, mengombak gelorakan air, lebih hebat daripada rodanya ikan paus mengacaukan lautan sekelilingnya, waktu mulai berenang. Perlahan-lahan kota Amsterdam ditinggalkan sampai hanya kelihatan kelompokan rumah yang kabur, sayup-sayup dipandang mata..

Gejolak dan peristiwa serta muatan dalam kandungan prosa melalui narasi ini seakan tersejukkan, padahal duka derita dan gejolak perjuangan serta unggunan api pemberontakan berkecamuk begitu tajam.

Kita simak pula narasi berikutnya lewat bahasanya  :

Negara Belanda sudah di belakang, dan kapal kita sekarang berada di Noordzee menuju ke Indonesia melalui Samudra Atlantika. Selat Gibraltar, Lautan Tengah, lautan Merah, dan akhirnya Samudra Hindia. Lebih kurang 6 tahun lampau melalui tempat ini juga tetapi dengan arah sebaliknya, ialah dari Timur ke Barat. Alangkah banyaknya perubahan yang kualami dalam diriku sendiri..

Menghadirkan sebuah narasi untuk dua peristiwa (pergi dan pulang) semacam di atas tentulah sebuah kecerdasan berbahasa yang bukan tanpa sengaja.

Meski penulisan kisah ini ditulis di dalam jeruji penjara, Tan Malaka yang memiliki daya ingat  tinggi akhirnya mampu dengan gamblang melukiskan jalinan peristiwa dan Riwayat hidupnya tanpa ketinggalan akar budayanya. Hal ini dapat tercermin dalam narasi ini:

Akhirnya Sabang Indonesia. Di tepi pantai, dari atas bukit mengagumi matahari terbenam! Aneka warna yang bertukar setiap menit! Saksikanlah sendiri! Sampailah sekarangke ujung pelajaran! Lautan Hindialah yang penghabisan dilayari dari pantai Afrika-Arabia sampai ke pantai Sumatera. Inilah samudra yang yang diarungi oleh moyang bangsa Indonesia sekarang, di jaman gelap-gulita.

Itulah bangsa perantau. Semangat pertahananlah yang mendorong mereka mencari tempat kediaman baru, apabila alam tidak memungkinkan bagi mereka untuk hidup. Pada masyarakat Minangkabau dan Batak. ‘Berpedoman bulan dan bintang, dilayarkan perahu ramping, di jamin oleh alat cerdik bersemangat bertoboh, bergotong-royong atau tolong menolong dimasa bahagia “hati gajah sama dilapah, hati tungau sama dicacah” dan bahaya “telentang sama minum air, terlungkup sama makan tanah”.. samuderapun cuma danau saja dimata mereka

 

AKHIRAN

Demikian uraian sederhana dan pembahasan singkat tentang bagaimana Tan Malaka menghasilkan sebuah karya dan merumuskan pandangan dunianya. Sosoknya yang idealis, tahan pada kondisi sulit dan jenius terlihat pada kemampuan analisanya yang tajam tentang kondisi sosial-politik-ekonomi dari keluasan  ilmu yang ia kuasai. Semua tertuang lewat tulisan-tulisannya yang terang.  

Dengan menelusuri prosa Dari Penjara ke Penjara serta menikmati pengembaraan, kejaran dan pelariannya terasa betul perjuangannya sebagai arsitektur kemanusiaan. Semua ini lahir dan mengalir nyata melalui mahkota-mahkota bahasa yang ia tuliskan.  Begitu pun sastrawan-sastrawan lain dan dengan segala apa yang dialami oleh Tan Malaka telah menjadikannya pros aitu sendiri.

Magek-Payakumbuh, 3 Desember 2020

Share:
spacer

2 comments:

  1. Terima kasih,saya menjadi mempunyai ilmu dan pandangan baru,sehat selalu dan terus berkarya ya mas
    (Wisnu Murti,http://tulisandenpasar.blogspot.com)

    ReplyDelete
  2. Terima kasih atas share artikelnya mas. Akhirnya aku bisa mengerti lebih jelas tentang karya sastra dan penulisnya sekarang.

    ReplyDelete

SILAHKAN TINGGALkAN TANGGAPAN DI SINI