Oleh Dr.
Fadlillah *)
Abstrak
Topik bahasan adalah salah
satu faset (sisi) kumpulan puisi Rohmantik, dengan fokus sastra dunia terbalik,
pada dunia bahasa toilet negeri Malin Kundang. Adapun pokok permasalahan
tentang puitika dunia terbalik. Dalam bahasan ini digunakan teori sastra
dunia terbalik. Kemudian ditemukan, tentang hakekat estetika toilet.
Kata kunci: estetika
toilet, negeri batu, dunia terbalik.
Pendahuluan
Sajak Grafiti Toilet (1994, Singgalang)
jauh lebih dahulu hadir daripada cerpen Corat-coret
di Toilet karya Eka Kurniawan (1999,
di Media Indonesia) dan diterjemahkan
ke bahasa Inggris Graffiti in the Toilet oleh
Benedict Anderson (f-nya dua, dan Irman Syah f-nya satu, grafiti dalam adaptasi bahasa Indonesia), yang pada akhirnya
dibukukan jadi kumpulan cerpen dengan judul Corat-coret
di Toilet. Adapun isi atau tema kedua karya ini nyaris selaras, namun gaya,
visi, paradigma keduanya berbeda. Hal ini suatu peluang untuk pengkajian
intertekstual, namun saya tidak melakukannya, silahkan peneliti berikutnya
untuk melakukannya.
Dari Bahasa Toilet ke Negeri Batu,
“Rohmantik” yang Hilang
Dalam hal ini saya hanya membahas
tentang hadirnya suatu paradigma dunia terbalik secara diam-diam, mungkin
tersembunyi. Sebagaimana pada penampakan
resensi penerbit Mizan terhadap cerpen Corat-coret
di Toilet karya Eka Kurniawan, dengan ungkapan, “Tahukah kamu bahwa toilet
yang kotor, kumuh, bau yang kamu bayangkan itu dapat menjadi inspirasi bagi
seorang penulis besar seperti Eka Kurniawan”. Hal ini juga pernah diungkapkan
A.A. Navis bahwa toilet tempat inspirasi karya. Tesisnya bahwa hal-hal yang
baik, luhur, besar, mulia, lahir diinspirasi dari yang kotor. Sama dengan suatu
iklan yang ditayangkan secara terus menerus dan tentu akan lekat selekat2nya dalam benak setiap orang,
bahwa “bermain kotor itu baik atau
berbuat kotorlah karena ia akan
mendatangkan kebaikan”. Sementara tesis ini jelas terbalik dengan dunia
nilai-nilai agama, adat dan tradisi budaya.
Selanjutnya pada cerpen Eka dihadirkan
tesis “suara rakyat di coretan toilet umum”, bolanya melanting kepada bola salju (bukan bola salju api menurut BSM), kebenaran itu datang dari dunia kotor,
profan, bukan dari dunia suci (agama), bukankah banyak orang memperalat agama,
dan pemuka agama juga banyak bermain kotor, inilah yang harus dipegang. Maka
disumpulkan; “Aku tak percaya bapak-bapak anggota dewan, aku lebih percaya pada
dinding toilet.” Dengan demikian dunia sudah terbalik, orang lebih percaya pada
tempat kotor. Lahirlah demokrasi toilet, pertama kali terduduk di DPR maka yang
dilakukan perbaikan dengan anggaran besar adalah toilet (Tempo, Rabu, 7 November 2012). Sehingga banyak juga yang
mengemukakan persoalan demokrasi kaum penjahat, demokrasi preman, demokrasi
kaum toilet.
Berbeda dengan Eka, Irman Syah tidak
menghadirkan tesis itu, dan tidak ada menyatakan toilet tempat inspirasi dan kebenaran
lahir dari tempat kotor, atau suara
rakyat lahir dari tempat kotor. Mengapa begitu, karena hal itu dinyatakan
oleh puisi bahasa Negeri Kaki Lima, Negeri Batu.
Puisi Negeri Kaki Lima menjelaskan
atau menafsirkan puisi Grafiti Toilet (dalam hal ini saya
memakai metode puisi yang satu ditafsirkan atau dijelaskan oleh puisi yang
lain). Pada Grafiti Toilet diungkapkan,
Irman Syah membaca realitas bahwa dunia pendidikan anak bangsa sudah dihadirkan
dengan sistem, struktur, cara dan tempat yang kotor (suatu kritik tajam dan
satir terhadap dunia pendidikan; memusuhi agama dalam tanda kutip). Maka
menurut Irman Syah nanti para pemimpin dan bangsa akan lahir dan hadir dengan
cara kotor, Irman Syah menyebut dengan istilah bahasa (hal ini merujuk kepada bahasa menunjukkan bangsa) pasar
pedagang kaki lima, bahasa ini penuh dengan bahasa kasar, kotor, sekarang orang
menyebutnya dengan budaya bahasa toilet.
Sehingga seorang pejabat dari daerah
nomor satu, dalam bergelangang mata orang banyak, pada siaran lansung televisi,
dengan padat dan kamek bersabda dengan bahasa toilet untuk menyatakan kesucian dia
dan buruknya lawan dan musuhnya, atau ada yang mengakhiri jabatannya dengan
bahasa toilet (su-ul Khatimah).
Kemudian diikuti banyak orang atau pengikutnya sampai kepada tokoh-tokoh proxy war dan asimetris,
semua orang terkagum-kagum dan bersorak gembira dan membelanya sebela-belanya
(bela bahasa Minang). Mencaci maki etnis bangsa sendiri. Kemudian di masyarakat
mulai hadir bentuk cara makan dengan
wadah toilet di kafe mewah, dan sesudah itu berhamburan nama-nama kafe sampai
ke puncak gunung dan pantai dengan nama bahasa toilet. Konon salah satu interprenuer muda bahasa toilet terkemuka
itu dilahirkan oleh Universitas tertua di Sumatra.
Hal itu menjadi tanda tanya besar bagi
banyak orang hanya di“dibekas” daerah Minangkabau permaian bahasa toilet di
tidak laku, karena mungkin masih ada sisa-sisa tradisi bermain dengan kata-kata tetapi harus sadar dan tidak mau dipermainkan
oleh kata-kata (silek kato).
Masih ada sisa-sisa kesadaran terhadap kato
pusako, bagaimana “bergelut” dengan matan.
mantik dan makna sampai pada iman. Masih mangkus juga sisa-sisa itu
dari penghancuran linguistik struktural modern, kononlah bila itu bukan sisa.
Grafiti Toilet selanjutnya ditafsirkan oleh puisi Negeri Batu. Dengan pengertian ketika
suatu negeri sudah berbahasa dan berbudaya toilet maka Irman Syah menyebut itu negeri Malin Kundang, semua sudah jadi batu. Ini dunia yang terbalik, kondisi
terbalik, secara nilai-nilai, bahasa dan budaya, dalam bahasa agamanya negeri yang sudah dibalik Tuhan, maka jadilah negeri
batu. Selanjutnya dapat ditasirkan oleh puisi Air Mata Negeri dan Di Negeri
Penuh Luka.
Lantas, dimana keindahan atau estetika
puisi Irman Syah, itulah pada konsep roh.
Konsep keindahan pada Irman Syah pada jiwa, roh, pada iman, bukan pada estetika tubuh. Konsep estetika raso jo
pareso, raso dibawo naik pareso di bawo
turun. Puitika sastra berakar pada puitika Minangkabauistik dan itu hadir
pada performance-nya. Bagi Irman
Syah estetika sastra atau puitika
puisinya bukan estetika tubuh, bukan estetika strukturalisme yang begitu
digemari oleh kelompok Ahmad Sahal, Ulil dan Salihara. Estetika tubuh atau
puitika strukturalisme adalah estetika modern atau ada juga yang menyebut
estetika moderat, yang pada intinya merupakan estetika materialisme, dengan
dasar filosofi materialisme.
Jika Tan Malaka dengan tesis Madilog-nya (Meterialis. Dialektika dan
Logika) maka mungkin dapat dikatakan bahwa Irman Syah menghadirkan diri
dengan tesis Rohmantik (iman dan akal). Untuk menyatakan puitika sastra-nya, Irman Syah tidak
seperti Sutardji-an dengan istilah kredo (syahadat), Irman Syah menyebutnya konsep dan panggung puisinya ‘rohmantik performance’ pada puisinya Rohmantik. Hal ini juga yang membedakannya
dengan Chairil-lian dengan puitika materialisme, yang menolak keras konsep
“berketulusan”, yang bagi Charil-an dengan murid penganut teguhnya Goenawan
Mohamad menyatakan dengan tegas sebagai sesuatu yang bernama duka maha tuan bertahta.
Simpulan Sementara
Irman Syah menjawab seluruh persoalan
itu dengan satu patah kata, yakni rohmantik.
Dengan pengertian, kembali-lah kepada nurani, jiwa, roh, iman di dada dan yang
ke-dua kembalilah kepada mantik, logika, akal budi, akal sehat
(hal ini berhubungan dengan kaji di surau; tentang matan, mantik dan makna.
Hal ini mungkin ada dasarnya pada ungkapan Minang-nya raso dibawo naik, pareso dibawo turun, bersatunya raso jo pareso (jiwa dan akal, iman dan
pikiran). Dengan demikian rohmantik
merupakan sebuah capaian konsep dari pergulatan yang panjang dari puitika
sastra yang digeluti oleh Irman Syah, dan ini bukanlah sebuah rumusan yang
hadir begitu saja. Wasalam.
Wisma
Berbintang, 24-02-2020
NB: Draf makalah
belum diedit.
Rujukan
Bachri, Sutardji
Calzoum. 1981. O Amuk Kapak. Jakarta:
Sinar Harapan.
Eneste. Pamusuk.
1983. Proses Kreatif, Mengapa dan
bagaimana Saya Mengarang. Jakarta: PT. Gramedia.
Kurniawan, Eka. 2014.
Corat-coret di Toilet. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Linz, Juan José. 2001. Menjauhi
demokrasi kaum penjahat: belajar dari kekeliruan negara-negara lain.
Bandung: Mizan.
Malaka, Tan. 2000. Madilog (Materialisme Dialektika Logika).
Jakarta: Teplok Press.
Mohamad, Goenawan.
2011. debu, duka. dsb. Sebuah
Pertimbangan Antftheodise. Jakarta:
Tempo dan PT. Grafitipers.
Syah, Irman, 2019. Rohmantik, Kitab Puisi Irman Syah.
Yogyakarta: Penerbit Jual Buku Sastra.
https://regional.kompas.com/read/2014/02/20/1250106/PKS.Protes.Makian.Fauzi.Bahar.ke.Gubernur.Sumbar.
*) Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya,
Universitas Andalas,
fadlillah@gmail.com
No comments:
Post a Comment
SILAHKAN TINGGALkAN TANGGAPAN DI SINI