MENGAMATI KONDISI kekinian negeri tentang kegelisahan
hidup manusia Indonesia dalam kesehariannya memanglah sebuah kenyataan yang
sulit untuk ditafsirkan. Beragam informasi lewat kejadian baik di media massa
ataupun elektronik telah mengantarkan kita pada pada sudut-sudut yang paling
sepi dan sendiri.
Mengapa kenyataannya mesti begitu?
Padahal impian manusia
Indonesia sebagai rakyat dan yang telah menngukuhkan kedirian Negara sesungguhnyalah
penyerahan diri yang tulus dan ini perlu dipertimbangkan lagi secara bijaksana. Bukankah
tanpa rakyat Negara itu takkan pernah ada..
Demikianlah sedikit abstraksi yang disengaja untuk mengantarkan pikiran
kita pada kehidupan yang terus mengalir hari demi hari, waktu demi waktu bahkan begitu
sulit untuk ditebak kemana arah dan ujungnya. Untuk sementara ini mungkin lebih baik kita
sigi lagi tiga point yang menjadi dasar atas judul di atas, yakni: Bahasa, Sasttra dan Kepemimpinan.
BAHASA INDONESIA
Salah satu sumbangan terbesar dari hasil pendidikan di sekolah
terhadap masyarakat adalah pelajaran Bahasa Indonesia. Melalui mata
pelajaran ini dapat dipujikan bahwa melalui pelajaran Bahasa Indonesia orang dapat belajar tentang ilmu
tata-bahasa. Mengerti tentang bahasa sebagai ilmu. Dan mau tak mau tentu akan mengerti pula logika dasar manusia Indonesia dalam hal merekam dan
menyimpulkan berbagai satuan kehidupan ke dalam pengucapan bahasanya.
Pelajaran
bahasa adalah juga pelajaran tentang pengertian kata, menyusun kalimat yang
membentuk pengertian makna yang dilepaskan dalam lalu-lintas percakapan. Pelajaran
bahasa mengantar bagaimana bahasa sebagai alat berkomunikasi itu juga memiliki tatanan. Akibatnya, ketika seseorang yang ahli dalam berbahasa akan berpikir, merasa dan kemudian berbicara untuk mengekspresikan pengalaman
personalnya. Dalam hal ini jarang yang mampu dalam mengembangkan bahasa itu menjadi
kosakata yang secara akurat mewakili makna-makna yang hendak diutarakannnya.
Apalagi
menyangkut pengalaman-pengalaman spiritual yang pelik, abstrak dan penuh dengan
asosiasi serta simbol-simbol. Sesuatu yang merupakan kegiatan khusus dalam sastra. Di
dalam sastra, ilmu bahasa dan tata bahasa, dikembangkan, diaplikasikan,
dipergunakan untuk menerjemahkan berbagai pengalaman spiritual seseorang kepada orang lain secara akurat.
Dengan
kata lain, pelajaran tata-bahasa tidak dengan sendirinya bermakna mampu melatih
siswanya mempergunakan bahasa dalam membentangkan alam pikiran personalnya
kepada orang lain. Pengetahuan bahasa, belum tentu menjamin yang bersangkutan fasih apalagi lihai mempergunakan bahasa Indonesia dalam mengembangkan
renungan-renungannya tentang makna-makna kehidupan.
Bahasa
Indonesia itu tidak dengan sendirinya bisa menjadi idiom pengucapan personal, yang
secara efektif mampu menolong proses pemikiran dan ekspresi emosional
seseorang, kalau tidak disertai latihan-latihan khusus, sebagaimana yang
dilakukan oleh sastra. Ilmu tata bahasa hanya sampai pada sebuah pengetahuan
untuk dapat menganalisa bahasa, bukan sebagai alat yang mampu mengungkap
pengalaman kehidupan.
SASTRA DAN KEPEMIMPINAN
Apa kaitannya
dengan kepemimpinan? Jelas ada benang-merahnya: pemimpin adalah tokoh penentu
kebijakan, termasuk perihal sastra. Apalagi sastra adalah sebuah dialog,
pencarian spiritual terhadap berbagai makna-makna kehidupan dengan bahasa
sebagai alatnya perlu ditumbuh-kembangkan. Sebagai seorang Pemimpin tentu saja
akan menyikapi kenyataan kesusastraan hari ini secara arif dan bijaksana.
Pemimpin yang demikian itu tentu akan jadi
panutan karena dibutuhkan apalagi selalu berusaha untuk dekat dan akrab dengan
masyarakatnya melalui kesusastraan.
Berdasarkan
pandangan ideal, sastra dapat dijadikan wahana untuk membangun karakter dan
ideologi bangsa. Sebaliknya, ideologi dapat diungkapkan melalui sastra. Maka
dari itu, karakter bangsa harus diperkuat antara lain dengan bahasa dan sastra
Indonesia sebagai pilar penting. Sesungguhnya di sinilah posisi sastra kita.
Putu Wijaya pernah menyebutkan: “Posisi sastra Indonesia kini sudah
sedemikian terpuruk, menjadi barang yang tidak relevan dalam konteks
pendidikan. Sastra Indonesia sudah pailit. Anak-anak sekolah di Indonesia
hampir tidak mendapatkan pelajaran sastra lagi. Dalam sebuah penyidikan
informal, sastrawan Taufiq Ismail
menemukan bahwa pelajar Indonesia membaca 0 (nol) buku di dalam kurun 3 tahun,
sementara pelajar luar dari berbagai negara mencatat 10 sampai 30 buku.”
Begitu
jauhnya perbedaan yang terjadi dalam pendidikan Sastra di Indonesia bila
dibandingkan dengan kenyataan di luar. Keadaan yang amat papa itu masih juga dianggap
sudah lumayan bagi sekelompok orang: karena sastra toh masih ditempelkan pada
pelajaran bahasa sebagai asesoris. Seakan dengan mempelajari bahasa Indonesia,
sudah dengan sendirinya menguasai sastra Indonesia. Inilah pendapat yang salah.
Walhasil pelajaran sastra Indonesia hanyalah embel-embel saja dari pelajaran Bahasa
Indonesia.
Kalaulah
demikian kenyataannya, perlu adanya kerja keras dan terarah bagi setiap
kelompok dan komunitas sastra untuk memberikan kontribusi dan sumbangsihnya.
Program-program yang disiapkan akan menjadi jawaban terhadap problema itu.
Tentu saja, pihak terkait akan turun tangan dengan dasar kegiatan dan capaian
yang telah dilakukan. Bukankah sebuah usaha menuntut kerjasama dan kerjasama
akan mendatangkan percepatan hasil.
Bukankah
sastra yang diciptakan oleh manusia akan dapat menjadi potensial dalam
membangun manusia: apalagi dalam situasi perpecahan yang kini merebak di
mana-mana. Peluang sastra juga tidak sedikit kemungkinannya menyumbangkan
andil. Sastra akan dapat menembus apa yang tidak tertembus oleh senjata. Sastra
dapat menggerakkan apa yang tidak bergerak oleh kekuasaan. Dan sastra dapat
menghubungkan apa yang tidak dapat terhubungkan oleh jembatan persatuan. Dan
pada puncaknya sastra dapat memberdayakan bahasa itu sendiri agar lebih hidup, lebih
bermakna dalam pergaulan manusia. Tentu lewat kerjasama yang baik penentu kebijakan terhadap pada dan di mana sastra itu berada.*
No comments:
Post a Comment
SILAHKAN TINGGALkAN TANGGAPAN DI SINI