(Sebuah Catatan
Apresiatif)
Oleh Irman Syah
AWALAN
Penulis akan selalu berusaha untuk
mengembangkan sayap kepenulisannya agar mampu menjadi kabar atau cerita yang
menarik. Ada data faktual dan data referensial yang mesti dijadikan bahan baku
untuk dijadikan landas tumpu penceritaan. Kenyataan inilah yang perlu
dikembangkan: bangunan imajinasi itu tentu akan menjadi sebuah terowongan yang
melebar..
Hal
kecil bisa menjadi tumpangan persoalan-persoalan besar: membangun cerita
menjadi kisah tak terduga.. Kepiawaianlah yang amat menentukan apakah bahan
cerita dari kisah hidup itu memunculkan sesuatu yang baru, sesuatu yang dapat
membangun nilai hidup yang berarti bagi pembacanya.
Kalaulah
demikian, kenyataan yang dibangun akan menjadi cair dan lembut, indah dan
menawan: apalagi juga dihalau oleh bahasa yang tertata rapi dan terpilih.
Tatanan bahasa tentulah amat menentukan jalannya komunikasi yang ingin
disampaikan. Pembaca akan menikmati perjalanan hidup seseorang yang dijadikan
patokan, kisah itu tentu akan menarik dan terasa bagaikan sebuah dongengan yang
amat memikat..
Demikianlah
jika sebuah sumber dijadikan inspirasi tulisan untuk sebuah karya yang
dibentangkan ke publik. Biasanya, penulis akan memilih fakta yang menarik dan
istimewa untuk dijadikan bahan dan fakta yang tak begitu menarik akan
dikesampingkannya. Hal semacam ini sah saja kalau yang ingin dicapai dalam
cerita bisa muncul ke permukaan dan mampu berbicara pada pembaca dengan tutur
budinya.
Pemanfaatan
semacam ini sungguh perlu dikemukakan agar apa yang ingin ditonjolkan dalam
cerita itu kian mencuat ke permukaan dan bisa mengungkung faktanya dalam bentuk
penceritaan. Antara kisah dan kenyataan balut-membalut dan berkelindan. Kisah
jadi kian menarik dengan bumbu-bumbu imajinasi yang dapat mengukuhkannya.
Mengungkung fakta itu tak lain dimaksudkan adalah agar benang merah yang
membentang tetap menjalinnya sebagai ikatan bangunan cerita secara keseluruhan.
Dengan
begitu, penulis telah melebarkan fakta menjadi fiksi: kaidah-kaidah kebenaran
yang dimunculkannya pun tetap terjaga. Di sisi lain, tentulah yang namanya
fiksi tetaplah sebuah cerita dan fakta adalah kenyataan yang sungguh-sungguh
dialami tokoh untuk dijadikan bahan cerita. Oleh sebab itu, karya sastra akan
membentangkan kisah menjadi tataran antara fakta dan imajinasi..
Untuk
tidak jauh melenceng dari pembicaraan, yang perlu diketahui adalah, bahwa fakta
akan mengerucut dan fiksi akan mengembang mengantarkan bunga-bunga persoalan
menjadi cerita yang leluasa untuk dapat dibaca dan komunikasinya pun akan terasa
menjadi indah. Dia akan berubah menjadi bunga-bunga kata yang dapat menaklukkan
rasa pembaca pada kisah yang dialunkan kepadanya. Pembaca akan diarahkan pada alur
(dramaturgi) yang telah disiapkan jadi perangkap dalam membangun keutuhan cerita
oleh penulisnya..
Mengikuti
semua kisah yang telah jalin-menjalin itu ada rasa yang bergulir, simpati yang
tertanam dan penghargaan yang dimunculkannya. Dari sanalah karya menjadi sebuah
pembicaraan atas nilai-nilai yang dikandungnya.
TAHTA
UNTUK IBU
Ketika
membaca karya cerpen di dalam buku ini, saya memposisikan diri sebagai pembaca
aktif. Dengan kata lain seorang pembaca yang berusaha untuk mendapatkan sesuatu
dari kandungan cerita yang dituliskan pengarang serta dengan segala cara dan
upaya untuk mengapresiasinya. Barangkali dengan cara seperti ini akan membuat
pandangan yang dilakukan akan menjadi lebih objektif dan berarti bagi
penulisnya.
Meski
pun begitu, sesungguhnya saya lebih berusaha untuk menemukan catatan penting yang
biasanya tertinggal setelah selesai membaca. Sebagai contoh, sebuah adegan yang
sering teringat pada sebuah film, atau scene yang selalu membuat garis ingatan
akan sebuah peristiwa: hal semacam ini sesungguhnya telah mampu membuat
keberadaan tersendiri dari cerita itu. Bisa juga berupa momen dramatic atau
puitiknya. Walau pun begitu, dalam kumpulan cerpen Tahta untuk Ibu ini (TuT),
hal yang serupa tidak begitu banyak didapatkan.
Dari
ke-12 cerpen yang terkumpul dalam buku ini, sesungguhnya semua punya potensi
utuk menjadi cerita yang kuat dan bagus. Banyak penemuan ide berdasarkan cara
pandang yang menarik. Sebut saja tentang cerita yang diangkat untuk dikisahkan
melalui tema-tema unik, seperti; ‘jari’,
‘puisi’, ‘bukan ibu kandung’, dan ‘rahasia’ keluarga. Semua akan amat
bermanfaat andai bisa dinikmati pembaca secara baik dan komunikatif. Hanya
saja, penulisnya masih terkendala dengan kemampuan bahasa ungkap serta
kepiawaian dalam meramu kalimat dengan
plotnya yang rapi. Hail ini terlihat dari tuturan bahasanya yang agak terbata.
CATATAN APRESIATIF
1
Jari
Yang Hilang
Oleh : Adriana Tjandra
Dewi
(Ibu dengan perjalanan hidupnya sebagai seorang penulis yang
banyak menemukan kejadian dan peristiwa)
Pengembangan
ceritanya berangkat dari pertemuan seorang tokoh perempuan penulis dengan anak
muda sebaya anaknya. Sang penulis akhirnya meresponnya dengan sebuah pertemuan
di sebuah kave dan menceritakannya.
Hanya saja
ini berupa monolog Perempuan itu tentang peristiwa, kejadian, krativitas serta
rumah tangganya dengan segala pengalaman yang dialaminya lewat perjalanan udaranya
yang naas ketika anaknya mau menikah.
Terasa
cerita ini menghadirkan klip-klip peristiwa. Tokoh pemuda lenyap begitu saja
dan tak tersentuh sama sekali, dan barulah diakhir cerita muncul lagi dengan
pertanyaannya tentang ‘jari’ perempuan
itu.
2
Ketika
Kereta Menjemputku
Oleh : Agnes Hening
Ratri
(Ibu yang tidak menerima si tokoh Aku -- perempuan --
sebagai menantunya)
Sebuah cerita yang
mengalir, tentang bagaimana seorang perempuan yang telah memilih laki-laki
sebagai calon pendamping hidupnya.
Perjalanan kereta Jogja-Jakarta: Perempuan itu menunggu
laki-laki (kekasihnya) yang telah berjanji akan menjemput. Tak datang. Akhirnya
dia pulang sendiri ke kost-an. Ketika bangun di pagi hari ternyata juga tak ada
pesan seluler ponselnya. Akhirnya mereka janjian dan kemudian bikin ketemuan.
Si Laki2 memutuskan hubungan tersebab sang Ibunya tak bisa
melihat si Perempuan, calon mantunya, (sebagai seorang Aktivis) berbicara kasar
di Televisi. Dia menerima apa adanya kenyataan. kemudian kembali ke Jogja.
Persoalan: sang ibu si laki2 tak bisa menerima perempuan
aktivis, sementara si laki-laki tak jujur menceritakan aktivitas pacarnya pada
sang ibu.
Kontradiksi: mengapa seorang perempuan aktivis, bisa menerima begitu saja perlakuan laki-laki semacam itu? Kenapa tidak ada tanda-tanda bahwa dia sebagai seorang aktivis yang tentunya punya sikap frontal dalam menyelesaikan persoalan, apalagi tentang dirinyanya sendiri. Tentu ini sebuah hal yang tercerabut dari keutuhan karakter tokoh yang diceritakan.
Kontradiksi: mengapa seorang perempuan aktivis, bisa menerima begitu saja perlakuan laki-laki semacam itu? Kenapa tidak ada tanda-tanda bahwa dia sebagai seorang aktivis yang tentunya punya sikap frontal dalam menyelesaikan persoalan, apalagi tentang dirinyanya sendiri. Tentu ini sebuah hal yang tercerabut dari keutuhan karakter tokoh yang diceritakan.
3
Dan
Aku …
Menanduk
Angin Buatnya
Oleh : Emmy Sahertian
(Ibu yang dalam hidupnya mengalami sakit karena terserang
HIV, yang diceritakan oleh perempuan (Aku) yang bukan anak kandungnya:
sementara dia (Perempuan) yang sebagai anak kandung sang Ibu tak begitu
merespon sakit Ibunya)
Menceritakan sebuah peristiwa, kondisi seorang perempuan
(Ibu) yang sedang dalam keadaan sakit (mengidap HIV Aids). Perempuan yang
diceritakan ini bukan Ibu kandung. Ikatannya adalah si Aku pernah diasuh oleh
perempuan itu dari umur 3 tahun sampai usia SMA.
Beberapa perasaan bergulir di dadanya. Sementara anak kandung si Perempua itu sendiri tak begitu peduli terhadap Ibunya.
Cerita bergulir dari kebiasaan sehari-hari si Ibu yang membunuh hari-harinyaa dengan aktivitas menyulam. Sesungguhnya berupa pengaduan saja kepada pencipta segala tentang keadaan Perempuan (katakanlah, ibu angkat) itu. Ini tersebab sang Suaminya yang tidak bertanggung jawab. Persis kenyataan yang dialami Ibu kandungnya dengan bapaknya yang juga tidak bertanggung-jawab..
Keperihan yang membuat diri sendiri tak kuat menahan persoalan dan tangis adalah jawabannya. Setidaknya pegarang berusaha memunculkan empati seorang anak terhadap Ibunya meski bukan anak kandung. Ini adalah sesuatu yang patut dipujikan. Hanya saja, anak kandungnya sendiri tidak dimunculkan dalam konteks penceritaan yang lebih menekankan makna biar kemunculan dalam kebaikan budi ini semakin member peluang arti bagi pembaca.
4
Cinta Ibu
Oleh: Fanny J. Poyk
(Ibu dengan perjalanan hidupnya yang begitu perih atas
perlakuan Suaminya yang kasar (fisik) yang diceritakan oleh sang anak (aku):
ternyata sanga Ibu seperti itu karena cinta dan pengabdiannya yang begitu dalam
pada sang Suami)
Cerita tentang
kenyataan keperihan sebuah perjalanan hidup seorang ibu dengan Laki-laki yang
kasar dan suka menampar. Tapi sang Ibu selalu menasehati dirinya (Aku) dengan
lemah lembut seakan tak ada sedikitpun tersimpan persoalan pelik yang dihadapinya
dengan suaminya. Kondisi ini membuat tubuh perempuan itu rapuh.
Ketika sang ibu hendak
dibawanya untuk tinggal di rumahnya agar
lebih memudahkan untuk mengurus sang Ibu, tapi sang Ibu tetap bertahan meski dalam
keadaan sakit. Ia tetap memilih tinggal dengan suaminya sampai akhir hayatnya.
Ayah menyesal. Apa gunanya?
Kenyataannya
sesungguhnya ternyata adalah, sang Ibulah yang mencintai ayah: sementara bagi
Sang Ayah sesungguhnya ada perempuan lain yang enolak cintanya dan dia seakan merasa
bahwa ibulah yang memisahkannya dengan kekasihnya.
Sesungguhnya, materi
cerita ini amatlah kuat untuk dibangunkan plot yang tepat untuknya. Hanya saja
mungkin dikarenakan ketergesaan atau lain hal cerita ini menjadikannya sesuatu
yang biasa. Padahal penekanan tragic, atau pun kerelaan mencintai lewat penderitaan
tentulah sebuah hal yang menarik untuk menjadi luar biasa bila diungkapkan
dengan matang. Tidak hanya dengan kata biasa tentu, bisa jadi lewat gambaran
dan symbolisasi yang mengena…
5
Emak Sakit
Oleh: Khadijah Amroe
(Ibu yang sakit dan si Aku -- Perempuan -- yang berusaha
mencarikan obat untuk kesembuhan Ibunya, namun si Kakak -- Perempuan -- tak
sedikit pun punya perhatian dan malah tidak menghargai usaha yang dilakukan si
Aku)
Sebuah cerita tentang Mak
yang sakit Tumor, namun, di dalamnya juga ada cerita Bapak yang sakit: artinya,
pedapat saya, cerpen ini sesungguhnya merupakan cerita yang telah diniatkan
dalam bentuk yang lain sebelumnya mungkin. Bisa saja novel. Atau bisa juga
karena kerancuan dalam memahami format pengucapan cerita. Alur tetang cerpen
disamakan saja dengan plot penceritaan sebuah novel.
(Catatan)
cerita ini bermula tentang mak yang sakit, kemudian flashback pada Bapak yang sakit kemudian dibawa ke dokter sebulan sebelumnya. Di dalam cerita ini ada dua pertentangan sifat dan cara pandang di antara anaknya: si aku dan Mbaknya. Ketulusan ada pada si aku dan si Mbak punya sipat yang sedikit agak lain. Cerita ini berakhir begitu saja.
cerita ini bermula tentang mak yang sakit, kemudian flashback pada Bapak yang sakit kemudian dibawa ke dokter sebulan sebelumnya. Di dalam cerita ini ada dua pertentangan sifat dan cara pandang di antara anaknya: si aku dan Mbaknya. Ketulusan ada pada si aku dan si Mbak punya sipat yang sedikit agak lain. Cerita ini berakhir begitu saja.
Yakni ketika si aku ingin
melihat Maknya untuk ke sekian kalinya, dia mengalami kekurangan uang untuk
membeli bawaan daging kesukaan buat Maknya. Ketika mereka sampai di sana, seperti
biasanya, anak-anaknya yang memang suka makan dan selalu riang langsung berbenturan dengan sikap Mbaknya.
Si Aku melihat Mbaknya yang
berusaha menyimpan makanan (pisang) dengan tergesa ke lemari pakaian. Dan dia
merasakan betul betapa tidak sukanya mbak pada anak-anaknya. Apalagi dalam
keadaan dia memang sedang tidak punya uang.
Cerita ini berakhir dengan bagaimana si Aku merasa pessimis tentang
keadaan yang berhubugan dengan pertentangannya dengan mbak nya dan berakibat
pada tidak ada keinginan dia (si Aku) untuk melihat maknya yang sakit.
Barangkali yang muncul di
sini lebih tepat mengarah pada perbedaan sifat adik dan kakak dan bukan cerita
tentang Mak yang sakit.
Kenapa? Berarti ada plot
yang tidak berjalan normal untuk mengungkung kandungan cerita menjadi sesuai
dengan apa yang diinginkan. Hal semacam ini tentulah sesuatu yang mesti diasah
dan dibiasakan dengan semangat dan kelapangan dada.
6
Dua
Kisah Perempuan
Oleh: Lailatul
Kipsiyah
(Ibu yang menjalankan kehidupannya secara tulus, tapi sesungguhnya
bukanlah Ibu kandungnya si Aku (perempuan): sementara Ibu kandungnya sendiri
ada di dalam puisi-puisi yang ditulis Ayahnya)
Sesungguhnya cerita
ini amat menarik bila penggarapan plotnya di disusun sedemikian rupa. Ada
kejutan yang menggigit di endingnya. Hanya saja keterbelahan beberapa peristiwa
yang kurang mampu disatukan. Hal itu berdampak pada kelonggaran alur yang
membuat cerita ini berkeping-keping.
Barangkali, lebih baik
cerita ini dimulai dengan sebuah puisi. Dengan begitu pembaca tidak kaget bahwa
kebiasaan menulis sajak si Aku bisa ketemu dengan kebiasaan sang Bapak yang juga
menulis sajak.
Kehadiran Bik Ros,
bisa saja dimasukkan dalam peristiwa selipannya. Hanya saja Lailatul Kipsiyah
tidak melakukan semacam itu. Bisa jadi ini sebuah ketergesaan atau memang
sebuah kesengajaan yang menjadikannya semacam itu.
Pengetahuan si Tokoh
aku bahwa Ibunya itu bukanlah Ibu kandungnya, dan Ibu kandungnya adalah ujud
dari isi puisi-puisi yang ditulis sang Bapak tentulah sesuatu yang luar biasa.
Bagaimana memunculkan ini dengan sempurna. Di situlah persoalannya.
7
Emakku,
Wis Mulih!
Oleh: Maya Carlina
(Ibu yang menjalankan kebutuhan hidup keluarganya dengan
bekerja di luar negeri (TKW), serta kondisi dan nasib para pekerja di luar
negeri selain tidak dihargai malah menjadi sasaran empuk tumpuan kekerasan dan
perkosaan)
Cerita ini melihat Ibu dalam sisi lain: lewat kacamata
seorang anak yang merindukan kasih sayang. Ditinggal ibu jadi TKW. Meresapi
bagaimana anak2 lain di SD nya yang dijemput. Ibu.
Cerita itu juga dihubnungkan dengan situasi kekinian
bagaimana Tenaga Kerja Wanita di negeri orang yang diperlakukan tidak adil.puisi2 menyampaikannya dengan sederhana.
Cerita ini juga didominasi dialog bahasa lokal (jawa). Tentu
pula publisitas yang mampu dijangkaunya akan menjadi lebih sempit. Kekuatan
bahasa yang universal tentulah sesuatu yang amat membantu dalam kecermatan
komunikasi. Cerpen ini ternyata memilih dengan caranya sendiri.
8
Menggapai
Bianglala
Oleh: Nungky Irma Nurmala Pratikto
(Ibu dan Bapak yang otoriter untuk menentukan kehidupan
anaknya (Perempuan) sebagai Ibu dalam feodalistik kehidupan. Tak bekerja, atau
hanya mengurus rumah tangga saja.
Sebuah pemberontakan perempuan (Aku) itu dan akhirnya dia menjadi Ibu yang memiliki karir dan malah, anak perempuannya sendiri juga mengidolakannya)
Sebuah pemberontakan perempuan (Aku) itu dan akhirnya dia menjadi Ibu yang memiliki karir dan malah, anak perempuannya sendiri juga mengidolakannya)
Sebuah kisah kehidupan
keluarga yang feodal (kolot) diramu menjadi cerita yang kandungannya melibatkan
pengaruh orang tua otoriter terhadap kemauannya terhadap anaknya. Namun, si Aku
(menik) berusaha meujudkan impiannya sebagai perempuan yang berkarir.
9
Inaq
Oleh: Nursyda Syam
(Sebuah kisah, penamaan dan gelar serta hukum dalam ruang
lingkup budaya serta adat-istiadat -- dalam hal ini Suku Sasak -- yang dihadapi
perempuan)
Sebuah kisah dan
penamaan serta hukum dalam ruang lingkup budaya serta adat-istiadat (dalam hal
ini Suku Sasak) yang dihadapi perempuan. Perjalanan kehidupan serta pilihan
yang dilakukan si tokoh telah membuat dia kehilangan hamper seluruh hidupnya.
Hidup yang dialami sekarang menjadi sesuatu yang menyedihkan.
Kisah ini diceritakan
si Aku dengan gaya dia-an.. ini juga termasuk sesuatu yang rancu, karena si Aku
sendiri tak begitu jelas sosoknya. Kadang berasa si pencerita (Si Aku) itu baru
berumur beberapa bulan dan ini tentulah sesuatu yang mustahil.
Barangkali, kegagapan
untuk membahasakan cerita lewat tokohnya telah membuat cerita ini bermasalah
dengan alurnya. Di lai sisi, cerita ini sesungguhnya punya peluang untu menjadi
sebuah cerita yang istimewa.
Kekayaan budaya dan
adat-istiadat ini tentulah akan mampu menguatkan cerita, tapi penulisnya belum
berhasil membangun penekanan cerita pada
focus yang ingin diceritakan. Nah, akibatnya alurnya menjadi sesuatu yang sulit
untuk diselamatkan.
10
Tunai
Sudah Tugasku
Oleh: Nyimas Hilmiyati
(Ibu
yang hidup tersiksa oleh laki-laki -- suaminya -- menjadi single-parent
dan bekerja sebagai tukang becak utuk menghidupi anaknya)
Sebuah kisah yang unik sesungguhnya. Bagaimana seorang
perempuan demi anak2nya menjalni kerjaan yang biasa dilakukan laki-laki:
menarik becak. Dia malah sudah terbiasa dipanggil penumpangnya dengan panggilan
untuk laki-laki, seperti: Bang, Mas atau Mang.
Perjalanan hiduplah yang membuatnya jadi begitu: sebuah perkawinan yang tidak direstui oleh mertua laki-laki, sehingga sang Suami yang memang idamannya itu tanpa diduga meninggalkannya karena dijemput ibunya.
dia berusaha membesarkan anaknya hingga sampai pada kemandirian anaknya yang telah bekerja dan kuliah.
Perjalanan hiduplah yang membuatnya jadi begitu: sebuah perkawinan yang tidak direstui oleh mertua laki-laki, sehingga sang Suami yang memang idamannya itu tanpa diduga meninggalkannya karena dijemput ibunya.
dia berusaha membesarkan anaknya hingga sampai pada kemandirian anaknya yang telah bekerja dan kuliah.
Hanya saja timbul persoalan, cerita ini tidak membuktikan apa
hakikat sesungguhnya yang membuat si Laki-laki (suaminya) itu pergi begitu
saja. Cerita terputus begitu saja. Ada keanehan dan terasa kurang logis.
11
Anakku Jatuh Cinta
Oleh: Ratna
Dewi Barrie
(Ibu
yang dengan pandangan hidupnya yang modera melihat anak-anaknya bertumbuhan
menjadi remaja serta ikut berkontribusi secara ‘partner’ dalam melihat
pertemanan dan percintaan anak-anaknya)
Cerita ini mengisahkan perjalanan sebuah
keluarga dan menceritakan anaknya beranjak remaja. Secara pasti tak ketemu konflik di dalamnya.
Hanya saja ada gambaran aturan yang mesti diikuti sang anak bila menentukan
pilihannya dalam berkeluarga.
sangat biasa dan ditutup dengan pertemuan di ruang keluarga tentang mereka sebagai keluarga yang bahagia..
Penceritaanya lancar dan biasa.
12
Perempuan
itu, Ibuku
Oleh: Sri Tedjawati Kamarullah
(Posisi
Ibu dalam sebuah Keperihan dan kepahitan perjalanannya)
Keperihan dan kepahitan perjalanan seorang ibu: cerita ini
terasa sulit untuk membangun komunikasinya pada pembacanya. Alurnya yang tidak
begitu tertata, bahasa penceritaannya terasa banyak yang melompat. Sementara
penekanan cerita menjadi sesuatu yang kurang komunikatif. Ya, sebagaimana
diucapkan cerita ini dari awal:
“Aku bingung mau memulai dari mana untuk
menceritakan tentang perempuan yang satu itu. Perempuan yang membuat aku jadi
pecemburu dalam tanda kutip. Karena menurutnya, menjadi pecemburu itu tidak
baik, ada sisi buruknya. Jadi kalau boleh, pakai istilah lain, yang justru aku
belum menemukan istilah itu. Dia kuat sekali.”
Setelah pembukaan awal ini, cerita mulai sulit
untuk dipahami secara cepat. Terasa kita mengerutkan kening untuk memahaminya. Selain
persoalan pengungkpan bahasa barangkali ini juga dipengaruhi oleh alurnya yang
tak begitu rapi.
AKHIRAN
Sebagai
catatan apresiatif, untuk membangun sebuah diskusi barangkali ni cukuplah buat
kerangka awal pembicaraan. Bisa jadi dalam suasana dialog akan banyak didapati
poin-pin tertentu yang sesungguhnya mesti dimiliki pengarang agar kemampuan
bertutur serta isian karyanya kian matang dan bermakna bagi pembaca.
Jakarta,
4 Januari 2013
No comments:
Post a Comment
SILAHKAN TINGGALkAN TANGGAPAN DI SINI