Negeri Bencana dan Nestapa dalam Igau-igau Risau



Apalagikah yang bisa disebut jika debar di dada lebih berdentum dari pada bahana gaung yang diucapkan oleh beribu mulut di mimbar-mimbar? Masihkah ibu pertiwi yang kaucinta itu tetap kaurengkuh ke dada..


Telah begitu lama, entah telah berapa masa pula negeri ini berkemas untuk menyulap diri menjadi pertiwi yang anggun, tapi teguran dan bencana silih berganti menjilati diri. Luka bumi, duka hati, raung kematian itu tidakkah meresahkan tidurmu?
Dari ujung Sumatera pun telah diisyaratkan, betapa bencana itu sangat menggunungkan jutaan kesedihan atas nama mahaduka yang teramat dalam, kemudian berlanjut terus: lepas tsunami disambut gempa, letusan gunung berapi, kecelakaan kereta, banjir, dan gempa lagi dan kemudian disusul tsunami pula.
Begitulah siklus sederhana dari beberapa peristiwa besar yang takkan pernah terlupakan. Banyak korban, diri dan benda menjadi sia-sia. Akan kah itu mampu menjadi cermin bagi isyarat atas nama masadepan dan impian? Entahlah, karena di sudut-sudut lorong dan gedung lainnya mereka masih saja tak henti mempertengkarkan hal-hal yang tak berguna.
Duhai, negeri yang berada dalam igau-igau risau, seakan ngilu ini begitu rindu memanggil pulang anak bangsa yang sederhana, bercita-cita untuk meujudkan kedamaian yang tak pernah jua nyata.
Di Negeri dalam igau-igau risau ini tersimpan badai topan yang purba dalam butir-butir pidato serta berita-berita bohong yang selalu berlaga dengan bursa yang terus naik secara brutal: penindasan masyarakat kelas tiga terhadap masyarakat kelas tiga saja tak pernah usai.
Hanya gumam inilah yang mampu tercipta ketika semua orang telah mementingkan hal yang tak penting dalam bicara dan berkabar-berita. Memarakkan silang sengketa yang sesungguhnya tiada guna dan bahkan sesuatu yang sia-sia. Pemimpin mana pula yang bakal bakal kemuka jika semua orang telah gelap-mata dan memaksakan kehendaknya kepada siapa saja.
Apalagikah yang bisa disebut jika debar di dada ini telah berganti dengan gemuruh suara kemunafikan yang membabi-buta, menyilaukan mata untuk tak lagi dapat menikmati cahaya atas nama kehidupan yang sentosa bagi umat manusia? Belum kering duka Lombok, Donggala pun kini menghentak dada.
Bekasi, 6 September 2018
Share:
spacer

1 comment:

SILAHKAN TINGGALkAN TANGGAPAN DI SINI