Teater di Sumbar dalam Tiga Ideologi *)

Oleh Nasrul Azwar
Sekjen Aliansi Komunitas Seni Indonesia (AKSI)

Teater lahir dari urbanisasi tak terkecuali teater di Sumatera Barat. Teater adalah gaya hidup “orang kota” dan tumbuh dengan cara orang kota pula. Teateradalah ruang-ruang yang melangsungkan perpindahan terusmenerus dari ruang yang disebut kampung menuju perkotaan, yang diusung dengan tertatih-tatih oleh orang kampung.

Perpindahanteater dari ruang-ruang bergerak dalamwujudapa sajadengan semua elementeater menyertainya. Teater yang hadir hari ini, hasil dari persenyawaan dan menyatunya dua ruang: kampung dan kota. Keduanya disertakan dalam perjalanan setiap pertunjukan teater. Dari situ ideologi teater lahir dan terpetakan.

Pegiat teater berproses mengaktualisasikan identitas diri dengan segenap ambiguitas artistik karya teaternya. Tetapi tak serta merta menghilangkan “rasa kampung” di dalamnya, kendati masing-masing sutradara teater memiliki rasa kampung dengan menu kotayang berbeda-beda.

Di Sumatera Barat ini memiliki puluhan sutradara teater dengan membawa ideologi masing-masing yang umumnya tak bisa melepaskan dirinya dari rasa kampung tadi. Booming sutradara di Sumbar ini semenjak hadirnya jurusan teater di ISI Padang Panjang belasan tahunlalu, tak bisa kita pungkiri. Salah satu kontribusi jurusan ini, ialah menebarkan banyak sutradara-sutradara teater di ranah ini. Jadi, kita tak perlu cemas, akan terjadi kelangkaan atau krisis sutradara teater di Sumbar.

Jauh sebelum kehadiran Jurusan Teater di ISI Padang Panjang, ada puluhan kelompok teater yang tumbuh bersemi di kampus-kampus dan sekolah-sekolah menengah pertama di Sumatera Barat. Ini era 1980-an hingga media 2000. Setelah itu, kelompok-kelompok teater di kampus dan sekolah, hanya catatan-catatan.

Kembali pada teater sebagai produk urban perkotaan dan gaya hidup. Dalam sejarahnya, teater terus perpacu dalam keurbanannyayang menyuarakanapa saja tentang kemanusiaan: bisakebenaran, keadilan, kemanusiaan, kesetaraan, kebebasan, kemerdekaan, gagasan-gagasan radikal, LGBT, dan semua hal yang dirasa perlu diekspresikan.

Proses urbanisasi itu kemudianmenghasilkan pertunjukan teater membentuk “ideologi” yang dalam dirinya. Ideologi-ideologi yang lahir dari teater akan menyatakan dirinya sebagai “isme” atau paham yang kelak akan diepigoni oleh yang lain. Semua terus berlangsung dalam urbanistis.

Seperti menggergaji air, ideologi teater yang sudah termapankan terus menerus digerus dengan pelbagai cara, namun tetap jua tidak “terputuskan”. Ia terus mengalir ke sudut-sudut kepala sutradara, pelakon, pembuat naskah teater, dan juga kelompok teater yang bersifat komunal, hingga saat kini.

Maka, dari itu pula, teater tidak akan pernah mampu melepaskan dirinya dari ideologi. Setiap peristiwa teater adalah peristiwa pelepasan ideologi dari rahim mereka yang dikandung sepanjang proses latihan berjalan. Kelahiran ideologi tentu terjadi saat teater berada dalam ruang publik. Penonton menyaksikan dengan latar belakang “ideologi” yang belum tentu sama dengan apa yang berlangsung di atas pentas.

Jika dilihat secara umum lima tahun belakang di Sumatera Barat, ada tiga ideologi teater yang terbangun secara tak sadar: Ideologi teater ISI Padang Panjang, Unand, UNP, STKIP PGRI Sumbar, UPI, UBH, serta kelompok diluar kampus.

Pengkategorian tiga ideologi teater yang saya buat itu, masih terbuka diperdebatkan. Tapi yang jelas ketiganya berbeda sama sekali.

Sutradara yang berangkat dari ISI Padang Panjang, setiap hasil garapannya di panggung, tampak sangat mempertimbangkan elemen dan konsep dramaturgi, serta hukum panggung lainya, sehingga pertunjukan teater yang dihasilkan tampak seperti “sekolahan” sekali: penuh disiplin, rapi, tertata, tidak garebeh tebeh, dan hasilnya dibuat terukur. Memang dimaklumi karena itulah yang mereka tuntut di bangku kuliah. Maka, ini saya sebut teater berideologi sekolahan.

Sementara itu, ideologi teater di Unanddankawan-kawannya tadi, kendati berada di kampus, tetapi capaian garapan teaternya tidak sedetailsekolah seni itu. Kebanyakan pengalaman dasar pengetahuan penyutradaannya otodidak dan ditambah keberanian. Elemen-elemen untuk artistik panggung, terkadang tak penting. Pamain tak akan melakukan olah tubuh yang detil untuk menghasilkan gestur dan karakter tokoh yang maksimal di atas panggung. Studi naskah biasanya sambil lalu. Tapi, terkadang improvisasi menjadi andalan kelompok ini. Ideologi teater ini saya sebut ideologi teater bauru-uru.

Yang ketiganya, ideologi teater kelompok di luar kampus. Ini banyak berupa komunitas dan grup. Sutradara biasanya sekaligus jadi pemimpin kelompok ini. Pemainnya juga kebanyakan dari kampus-kampus dan juga pelajar dari sekolah menengah atas. Umumnya, kelompok ini mementaskan karyanya “dalam rangka”, atau menerima undangan untuk mementaskan teater, atau memeroleh dana hibah dari lembaga donasi. Kelompok seperti banyak jumlahnya di Sumatera Barat. Sutradaranya biasanya orang yang aktif berkesenian saat jadi mahasiswa, dan juga ikut bermain dengan kelompok teater lainya, setelah merasa bisa, lalu mendirikan grup sendiri. Kelompok teater seperti ini saya sebut ideologi teater dalam rangka.

Ketiga ideologi teater itulah yang terus menerus meniupkan napas kehidupan teater di daerah ini sejak teater tumbuh di kota-kota. Jika direntang bisa jauh ke tahun-tahun 70-an. Tiga ideologi itu sangat memengaruhi perjalanan sejarah teater dikota-kota Sumatera Barat, yang Kota Padang dianggap sebagai puncak pencapaian seorang sutradara.

Diketahui, teater di Sumatra Barat dalam sejarahnya merupakan satu titik dari mata rantai sejarah teater modern di Indonesia. Direntang ke belakang tentu akan lebih panjang.

Pijakan tradisi randai contohnya, yang kebanyakan dibawa dari kampung, semisal teks-teks kabayang melekat dalam ingatan individu, dalam perjalanan kreatifnya akanmelahirkan "tradisi baru"padateater di Sumatra Barat. Tradisi baru itu yang kelak menghasilkan referensi untuk memotret peta teater di Sumatra Barat.

Puluhan kelompok teater yang pernah lahir di Sumatra Barat dalam era tahun 60-70-an 80-90-an dan dilanjutkan pada di awal abad 21 merupakanrepresentasi praktik-praktik pemaknaankehidupan kampung yang diselaraskan dengan kehiduoan urban itu. Urbanisasi dari kekuatan kultur tradisi lisan di kampungke kultur teks visual panggungdi kota, berlangsungdalam proses yang “menjadi” dan “tak menjadi”.

Namun begitu, sisi yang “menjadi” ini, sepanjang masa pertumbuhan teater di Sumatra Barat itu, kontribusinya cukupberarti bagi teater di Indonesia. Dapat dikatakan cukup signifikan.

Era tahun 70 -80-an dapat dikatakan sebagai era puncak bagi kehidupan teater dengan basis tradisi. Boleh dikatakan, yang tidak berbasis tradisi, silakan keluar. Paham demikian, juga melanda kota-kota lain di Indonesia.

Saat itu pula, perkembangan teater di Sumatra Barat berbanding lurus dengan kehidupan kritik teater. Kedua wilayah ini, peristiwa teater dan kritik teater, saling melengkapi. Maka, suasana berkesenian sangat kondusif dan mesra. Namun, era demikian tidak berjalan sepanjang masa.

Tahun 90-an hingga ke atas, terasa sebagai antiklimaks. Penurunan kondisi demikian ditengarai para pegiat teater di Sumatra Barat beralih ke “wilayah” lain dan juga menoleh pada kehidupan masa depannya. Maka, pada era 90 -an terjadi “kevakuman” aktivitas teater. Jika beberapa kelompok dapat juga melakukan pertunjukan teater, tak lebih sebagai pelepas penat-penat. Namun demikian, saat itu pula, kehidupan teater seperti ditumpukan pada kampus-kampus perguruan tinggi yang ada di Sumatra Barat.

Klaim Penonton sebagai Keniscayaan

Klaim penonton terhadap sebuah peristiwa teater menjadi risiko yang mesti diterima. Tidak ada kata absolut di dalamnya. Semua berpendar ria dalam relativitas. Munculnya klaim yang mengecewakan dari penonton setelah menyaksikan pertunjukan teater, misalnya, haruslah disikapi sebagai wilayah sebagaimana teater itu sendiri menyuarakan kemerdekaan, kebebasan, keadilan, dan lain sebagainya.

Pertimbangan demikian, seperti pernah ditulis Asrul Sani, teater itu adalah urbanisasi yang datang dari sekian banyak wilayah kebudayaan, yang berakibat teater telah masuk dalam suatu masyarakat yang heterogen.

Maka, peristiwa teater—sekali lagi—wilayah yang terbuka, dinamis, dan tidak berjalan dalam kerangka baku. Untuk itu pula, penonton teater berada pada posisi yang terus menerus berubah setiap pertunjukan. Jika dikejar lebih jauh, dalam setiap pertunjukan atau peristiwa teater, sesungguhnya koridor untuk memahami nilai-nilai demokrasi sedang berlangsung.

Kondisi yang seolah telah “terpola” antara penonton dan peristiwa teater, lebih luas juga peristiwa budaya lainnya, tampaklah penonton memiliki toleransi yang sangat dinamis dan terbuka ketika berhubungan dengan peristiwa teater.

Hal demikian sejalan dengan apa yang dikatakan Afrizal Malna. “Penonton memberikan toleransi kepada pertunjukan. Penonton mencoba melakukan suatu eksperimen kecil tentang cara-cara berdemokrasi dengan memberi toleransi terhadap apa yang sedang dirumuskan teater dalam pertunjukannya. Dan tidak harus mencurigai mereka. Bahwa mereka telah bersulit-sulit, telah memberikan toleransi, mungkin ada sesuatu yang sangat penting yang mereka sampaikan.”

Dengan pemahaman yang demikian, teater pun menjadi amat semarak, heboh, bebas, dan dinamis. Akan tetapi, kata Putu Wijaya, masalah kebebasan bukan sesuatu yang gampang. Untuk mencapai ke arah yang demikian, diperlukan pembelajaran, keterampilan, dan juga akal serta strategi dalam mengumbar kebebasan.

Belakangan beberapa sutradara di Padang sedang menyiapkan pertunjukan teater. Ada Pinto Anugerah, S Metron M (keduanya dari Ranah Teater), dan Mahatma Muhammad (dari Nan Tumpah). Tapi tak bisa dipungkiri, sepanjang 2016 ini publik teater di Sumatera Barat belum mendapatkan tontonan teater yang benar. ***

Dari Makalah Seminar 29 Tahun Teater Langkah Unand Padang*)







Share:
spacer

No comments:

Post a Comment

SILAHKAN TINGGALkAN TANGGAPAN DI SINI