Sekjen Aliansi Komunitas Seni Indonesia (AKSI)
Teater lahir dari urbanisasi tak terkecuali teater di Sumatera Barat.
Teater adalah gaya hidup “orang kota” dan tumbuh dengan cara orang kota pula.
Teateradalah ruang-ruang yang melangsungkan perpindahan terusmenerus dari ruang
yang disebut kampung menuju perkotaan, yang diusung dengan tertatih-tatih oleh
orang kampung.
Perpindahanteater dari ruang-ruang bergerak dalamwujudapa sajadengan
semua elementeater menyertainya. Teater yang hadir hari ini, hasil dari
persenyawaan dan menyatunya dua ruang: kampung dan kota. Keduanya disertakan
dalam perjalanan setiap pertunjukan teater. Dari situ ideologi teater lahir dan
terpetakan.
Pegiat teater berproses mengaktualisasikan identitas diri dengan
segenap ambiguitas artistik karya teaternya. Tetapi tak serta merta
menghilangkan “rasa kampung” di dalamnya, kendati masing-masing sutradara
teater memiliki rasa kampung dengan menu kotayang berbeda-beda.
Di Sumatera Barat ini memiliki puluhan sutradara teater dengan membawa
ideologi masing-masing yang umumnya tak bisa melepaskan dirinya dari rasa
kampung tadi. Booming sutradara di Sumbar ini semenjak hadirnya jurusan
teater di ISI Padang Panjang belasan tahunlalu, tak bisa kita pungkiri.
Salah satu kontribusi jurusan ini, ialah menebarkan banyak sutradara-sutradara
teater di ranah ini. Jadi, kita tak perlu cemas, akan terjadi kelangkaan atau
krisis sutradara teater di Sumbar.
Jauh sebelum kehadiran Jurusan Teater di ISI Padang Panjang, ada
puluhan kelompok teater yang tumbuh bersemi di kampus-kampus dan
sekolah-sekolah menengah pertama di Sumatera Barat. Ini era 1980-an hingga
media 2000. Setelah itu, kelompok-kelompok teater di kampus dan sekolah, hanya
catatan-catatan.
Kembali pada teater sebagai produk urban perkotaan dan gaya hidup.
Dalam sejarahnya, teater terus perpacu dalam keurbanannyayang menyuarakanapa
saja tentang kemanusiaan: bisakebenaran, keadilan, kemanusiaan, kesetaraan,
kebebasan, kemerdekaan, gagasan-gagasan radikal, LGBT, dan semua hal yang
dirasa perlu diekspresikan.
Proses urbanisasi itu kemudianmenghasilkan pertunjukan teater
membentuk “ideologi” yang dalam dirinya. Ideologi-ideologi yang lahir dari
teater akan menyatakan dirinya sebagai “isme” atau paham yang kelak akan
diepigoni oleh yang lain. Semua terus berlangsung dalam urbanistis.
Seperti menggergaji air,
ideologi teater yang sudah termapankan terus menerus digerus dengan pelbagai
cara, namun tetap jua tidak “terputuskan”. Ia terus mengalir ke sudut-sudut
kepala sutradara, pelakon, pembuat naskah teater, dan juga kelompok teater yang
bersifat komunal, hingga saat kini.
Maka, dari itu pula, teater tidak akan pernah mampu melepaskan dirinya
dari ideologi. Setiap peristiwa teater adalah peristiwa pelepasan ideologi dari
rahim mereka yang dikandung sepanjang proses latihan berjalan. Kelahiran
ideologi tentu terjadi saat teater berada dalam ruang publik. Penonton
menyaksikan dengan latar belakang “ideologi” yang belum tentu sama dengan apa
yang berlangsung di atas pentas.
Jika dilihat secara umum lima tahun belakang di Sumatera Barat, ada
tiga ideologi teater yang terbangun secara tak sadar: Ideologi teater ISI Padang
Panjang, Unand, UNP, STKIP PGRI Sumbar, UPI, UBH, serta kelompok diluar kampus.
Pengkategorian tiga ideologi teater yang saya buat itu, masih terbuka
diperdebatkan. Tapi yang jelas ketiganya berbeda sama sekali.
Sutradara yang berangkat dari ISI Padang Panjang, setiap hasil
garapannya di panggung, tampak sangat mempertimbangkan elemen dan konsep
dramaturgi, serta hukum panggung lainya, sehingga pertunjukan teater yang
dihasilkan tampak seperti “sekolahan” sekali: penuh disiplin, rapi, tertata,
tidak garebeh tebeh, dan hasilnya dibuat terukur. Memang dimaklumi karena
itulah yang mereka tuntut di bangku kuliah. Maka, ini saya sebut teater
berideologi sekolahan.
Sementara itu, ideologi teater di Unanddankawan-kawannya tadi, kendati
berada di kampus, tetapi capaian garapan teaternya tidak sedetailsekolah seni
itu. Kebanyakan pengalaman dasar pengetahuan penyutradaannya otodidak dan
ditambah keberanian. Elemen-elemen untuk artistik panggung, terkadang tak
penting. Pamain tak akan melakukan olah tubuh yang detil untuk menghasilkan
gestur dan karakter tokoh yang maksimal di atas panggung. Studi naskah biasanya
sambil lalu. Tapi, terkadang improvisasi menjadi andalan kelompok ini. Ideologi
teater ini saya sebut ideologi teater bauru-uru.
Yang ketiganya, ideologi teater kelompok di luar kampus. Ini banyak
berupa komunitas dan grup. Sutradara biasanya sekaligus jadi pemimpin kelompok
ini. Pemainnya juga kebanyakan dari kampus-kampus dan juga pelajar dari sekolah
menengah atas. Umumnya, kelompok ini mementaskan karyanya “dalam rangka”, atau
menerima undangan untuk mementaskan teater, atau memeroleh dana hibah dari
lembaga donasi. Kelompok seperti banyak jumlahnya di Sumatera Barat.
Sutradaranya biasanya orang yang aktif berkesenian saat jadi mahasiswa, dan juga
ikut bermain dengan kelompok teater lainya, setelah merasa bisa, lalu
mendirikan grup sendiri. Kelompok teater seperti ini saya sebut ideologi teater
dalam rangka.
Ketiga ideologi teater itulah
yang terus menerus meniupkan napas kehidupan teater di daerah ini sejak teater
tumbuh di kota-kota. Jika direntang bisa jauh ke tahun-tahun 70-an. Tiga
ideologi itu sangat memengaruhi perjalanan sejarah teater dikota-kota Sumatera
Barat, yang Kota Padang dianggap sebagai puncak pencapaian seorang sutradara.
Diketahui, teater di Sumatra Barat dalam sejarahnya merupakan satu
titik dari mata rantai sejarah teater modern di Indonesia. Direntang ke
belakang tentu akan lebih panjang.
Pijakan tradisi randai contohnya, yang kebanyakan dibawa dari kampung,
semisal teks-teks kabayang melekat dalam ingatan individu, dalam perjalanan
kreatifnya akanmelahirkan "tradisi baru"padateater di Sumatra Barat.
Tradisi baru itu yang kelak menghasilkan referensi untuk memotret peta teater
di Sumatra Barat.
Puluhan kelompok teater yang pernah lahir di Sumatra Barat dalam era
tahun 60-70-an 80-90-an dan dilanjutkan pada di awal abad 21
merupakanrepresentasi praktik-praktik pemaknaankehidupan kampung yang
diselaraskan dengan kehiduoan urban itu. Urbanisasi dari kekuatan kultur
tradisi lisan di kampungke kultur teks visual panggungdi kota, berlangsungdalam
proses yang “menjadi” dan “tak menjadi”.
Namun begitu, sisi yang “menjadi” ini, sepanjang masa pertumbuhan
teater di Sumatra Barat itu, kontribusinya cukupberarti bagi teater di Indonesia.
Dapat dikatakan cukup signifikan.
Era tahun 70 -80-an dapat dikatakan sebagai era puncak bagi kehidupan
teater dengan basis tradisi. Boleh dikatakan, yang tidak berbasis tradisi,
silakan keluar. Paham demikian, juga melanda kota-kota lain di Indonesia.
Saat itu pula, perkembangan teater di Sumatra Barat berbanding lurus
dengan kehidupan kritik teater. Kedua wilayah ini, peristiwa teater dan kritik
teater, saling melengkapi. Maka, suasana berkesenian sangat kondusif dan mesra.
Namun, era demikian tidak berjalan sepanjang masa.
Tahun 90-an hingga ke atas,
terasa sebagai antiklimaks. Penurunan kondisi demikian ditengarai para pegiat
teater di Sumatra Barat beralih ke “wilayah” lain dan juga menoleh pada
kehidupan masa depannya. Maka, pada era 90 -an terjadi “kevakuman” aktivitas
teater. Jika beberapa kelompok dapat juga melakukan pertunjukan teater, tak
lebih sebagai pelepas penat-penat. Namun demikian, saat itu pula, kehidupan
teater seperti ditumpukan pada kampus-kampus perguruan tinggi yang ada di
Sumatra Barat.
Klaim Penonton sebagai Keniscayaan
Klaim penonton terhadap sebuah peristiwa teater menjadi risiko yang
mesti diterima. Tidak ada kata absolut di dalamnya. Semua berpendar ria dalam
relativitas. Munculnya klaim yang mengecewakan dari penonton setelah
menyaksikan pertunjukan teater, misalnya, haruslah disikapi sebagai wilayah
sebagaimana teater itu sendiri menyuarakan kemerdekaan, kebebasan, keadilan,
dan lain sebagainya.
Pertimbangan demikian, seperti pernah ditulis Asrul Sani, teater itu
adalah urbanisasi yang datang dari sekian banyak wilayah kebudayaan, yang
berakibat teater telah masuk dalam suatu masyarakat yang heterogen.
Maka, peristiwa teater—sekali lagi—wilayah yang terbuka, dinamis, dan
tidak berjalan dalam kerangka baku. Untuk itu pula, penonton teater berada pada
posisi yang terus menerus berubah setiap pertunjukan. Jika dikejar lebih jauh,
dalam setiap pertunjukan atau peristiwa teater, sesungguhnya koridor untuk
memahami nilai-nilai demokrasi sedang berlangsung.
Kondisi yang seolah telah “terpola” antara penonton dan peristiwa
teater, lebih luas juga peristiwa budaya lainnya, tampaklah penonton memiliki
toleransi yang sangat dinamis dan terbuka ketika berhubungan dengan peristiwa
teater.
Hal demikian sejalan dengan apa yang dikatakan Afrizal Malna.
“Penonton memberikan toleransi kepada pertunjukan. Penonton mencoba melakukan
suatu eksperimen kecil tentang cara-cara berdemokrasi dengan memberi toleransi
terhadap apa yang sedang dirumuskan teater dalam pertunjukannya. Dan tidak
harus mencurigai mereka. Bahwa mereka telah bersulit-sulit, telah memberikan
toleransi, mungkin ada sesuatu yang sangat penting yang mereka sampaikan.”
Dengan pemahaman yang demikian, teater pun menjadi amat semarak,
heboh, bebas, dan dinamis. Akan tetapi, kata Putu Wijaya, masalah kebebasan
bukan sesuatu yang gampang. Untuk mencapai ke arah yang demikian, diperlukan
pembelajaran, keterampilan, dan juga akal serta strategi dalam mengumbar
kebebasan.
Belakangan beberapa sutradara di
Padang sedang menyiapkan pertunjukan teater. Ada Pinto Anugerah, S Metron M
(keduanya dari Ranah Teater), dan Mahatma Muhammad (dari Nan Tumpah). Tapi tak
bisa dipungkiri, sepanjang 2016 ini publik teater di Sumatera Barat belum
mendapatkan tontonan teater yang benar. ***
Dari
Makalah Seminar 29 Tahun Teater Langkah Unand Padang*)
No comments:
Post a Comment
SILAHKAN TINGGALkAN TANGGAPAN DI SINI