Oleh Zelfeni Wimra[2]
Di balik kreativitas seni,
tersembunyi aspek ideologi. Potensi gambar, visualisasi ide kreatif, dan eksplorasi bunyi selalu bias dipakai untuk melakukan propaganda. Pertempuran sejati
yang berlangsung saat ini terjadi
karena memperebutkan siapa yang akan berkuasa mengontrol
otoritas dan citra
dunia, yang dengan itu akan dapat menjual gaya hidup tertentu, budaya tertentu,
produk-produk tertentu, Dan gagasan-gagasan tertentu. (Barber, 1996: 82).
Batasan
Diskursus
Tulisan ini
bersendi kepada pertanyaan: mengapa harus ada kelompok teater di perguruan
tinggi? Agar tidak melebar, teater kampus yang dimaksud dibatasi dengan
kelompok teater yang berada di perguruan tinggi non seni. Kampus tersebut
adalah, Unand (Teater Langkah, Teater Rumah Teduh, Taeter Harokah) UNP (Teater
Kampus Selatan, Oase, Katarsis), IAIN Imam Bonjol (Teater Imam Bonjol, Teater
Rumi, Teater Gita Ahkam, dan Sanggar 18), UPI (Tetaer Khatulistiwa),
Universitas Bung Hatta (Teater Pelangi; Proklamator), termasuk juga beberapa
kelompok teater kampus Sumatra Barat yang luput dari catatan ini.
Adapun dinamikakelompok
teater yang lahir dan berkembang di kampus seni, ISI Padangpanjang, tidak
termasuk ke dalam objek yang akan diulas dalam tulisan ini.Keberadaan komunitas
teater pada kampus ini merupakan keniscayaan alamiah. Pembatasan ini
dimaksudkan untuk menjernihkan apa sebenarnya spirit kehadiran teater di
perguruan tinggi non seni?
Teater
sebagai Ilmu
Perlu
ditegaskan bahwa teater sebagai ilmu dapat diketahui melalui kerja studi,
menyelesaikan seluruh silabus dan kurikulum yang dibebankan di sekolah atau
perguruan tinggi seni, seperti jurusan teater. Selepas pendidikan dikelarkan,
penyempurnaannya bisa dengan terus-menerus menyukai kegiatan penelitian yang
disertai dengan mengabdikan karya ke tengah masyarakat. Pendidikan dan
penelitian, seperti disindir Mohammad Iqbal, ilmu tidak akan berguna jika tidak
mampu memeluk realitas masyarakatnya.
Ditinjau dari aspek ini, kepentingan
seseorang untuk mempelajari, mengetahui, dan merealisasikan seni teater
utamanya untuk menjadikannya sebagai ilmu pengetahuan, sehingga seseorang itu
pakar di bidang keteateran, menjadi pekarya atau kritikus. Proses ini
berlangsung di perguruan tinggi seni. Berbeda dengan di perguruan tinggi non
seni yang menjadikan proses mempelajari dan mengetahui seluk-beluk teater hanya
sebatas media yang membantu seseorang dalam mempercepat tranformasi ilmu dan
mengembangkan bakat-minat atau membentuk dan membangun karakter individu.
Teater
sebagai Ideologi
Teater sebagai pandangan hidup (ideologi) maknanya lebih filosofis. Teater mengejawantah ke dalam laku keseharian. Misalnya menjadi pribadi yang selalu menjaga keindahan berpikir, keindahan nilai, costumary, dan instalasi kehidupannya. Dia bisa saja bukan seorang yang memproduksi teater secara praktis dan profesional, tetapi tampilan setiap aspek kehidupannya mencerminkan keindahan dan apresiasi penuh terhadap prinsip-prinsip artistik yang dianut dalam disiplin kreatif teater.
Teater
sebagai gerakan dipergunakan untuk merebut kekuasaan (dalam pengertain yang
lebih luas). Pada konteks ini, ada sejumlah peperangan konsep dan ideologi yang
akan dilalui seorang teaterawan. Ada estetika yang ingin dimenangkan. Sehingga
pada puncak pencapaiannya, produksi nilai, pandangan hidup, bahkan
spiritualitas manusia yang menikmati tergerakkan secara sadar menuju kehidupan
yang harmoni. Distrik penting dalam ruang-ruang media informasi mesti direbut
dan diwarnai dengan kecenderungan dan corak estetika yang ingin ditawarkan.
Gerakan ini akan berhasil apabila seseorang atau sekelompok telah memerdekakan
diri mereka dari kusut-masai wacana di tengah paradoks penafsiran. Artinya
teater bukan sebagai ilmu dan gerakan semata, melainkan menjadi sebuah
kesadaran spiritualitas tentang kompleksitas kehidupan yang bagaikan permainan tanda
dan senda gurau belaka.
Teater Sebagai Gerakan
Mengikuti prosedur belajar di perguruan tinggi bagi seorang mahasiswa
diikuti oleh kesempatan mengikuti aktivitas yang mengembangkan bakat minat.
Mendalami kegiatan keteateran adalah salah satu pilihannya. Selain itu,
teaterikalisasi atau dramatisasi juga merupakan salah satu pendekatan yang
sering dipakai terutama program studi keguruan.Lebih khusus, aktivitas teater sebagai
gerakan berlangsung secara praktis dengan menjadikan teater sebagai cara untuk
memobilisasi ide-ide kreatif.
Menjadi pegiat teater dalam konteks ini cenderung menjadikan teater
sebagai media penyampai idealisasi dari gagasan tertentu.Sederhananya dapat
dilihat dari pemanfaatan teater sebagai media mempelajari karakter untuk
kemudian diproduksi menjadi sekolah kepribadian. Pemaknaan ini memungkinkan
teater menjadi rumah produksi yang akan menjual gagasan pertunjukkan untuk
kampanye kepentingan tertentu.
Setidaknya, corak pemaknaanmahasiswa terhadap aktivitas berteater di
kampusberada di lingkaran tiga aspek tersebut. Mengapa teater bisa lahir dan
bertumbuh-kembang di perguruan tinggi, menurut argumentasi saya, berakar pada
ketiga aspek itu. Akan tetapi, mengingat teater kampus digerakkan oleh
mahasiswa yang pada waktunya akan menamatkan studi, keberadaan teater kampus
mengalami guncangan regenerasi. Baik regenerasi ideologimaupun regenerasi
keanggotaan. Atas alasan ini pulalah, sebagai refleksi 29 tahun Teater Langkah,
menurut saya, perlu menimbang masa depan ideologi teater kampus di Sumatra
Barat.
Menimbang Masa Depan Ideologi
Progresivitas kelompok teater kampus dipastikan berakar pada ideologi
yang mereka anut. Masing-masing mengembangkan kritik konsep yang menjadi
“kegelisahan” para anggotanya. Tetaer Langkah yang pada tahun ini berusia 29
tahun tentu telah menandai catatan proses kreatif dan sejarah organisasinya.
Melalui 29 tahun artinya melewati tempaan ideologi berteater di kampus. Andai
spirit ideologi itu disambung-kaitkan dengan fakultas tempat ia berkembang,
maka ideologi Teater Langkah berada di titik perjuangan kebudayaan. Artikulasi
karya Teater Langkah menyuarakan kritik kebudayaan.
Sebagai perbandingan, belajar kepada pengalaman para pegiat teater di
IAIN Imam Bonjol Padang yang tergabung dalam UKM Teater, maka pilihan berteater dilakukakan dalam kesadaran belajar.
Teater dijadikan media menafsrikan isu-isu internal dalam kajian keislaman.Misalnya,
bagaimana memberi tafsir pada beberapa dalilyang bertentangan.
Ada sejumlah
dalil yang menantang kreativitas penafsiran. Misalnya hadits tentang
diselenggarakannya pestival pertnjukan seni (tarian dan drama), yang diikuti
oleh berbagai bangsa. Sahabat Umar menolak acara tersebut, protes dengan
melempari batu kepada peserta, namun Rasulullah menyilakan tetap berlangsung,
bahkan beliau mengajak Aisyah, istrinya yang masih muda, dan tentunya senang
akan berbagai jenis tontonan dan hiburan, untuk menyaksikan tarian dari bangsa
Habasyah (Ethiopia), yang menyajikan tarian menggunakan tombak dan perisai,
mereka menari-nari di halaman masjid. Rasulullah memberi suport tarian tersebut
dengan mengatakan, “Terus. Terus hai, Bani Afidah!” Aisyah ikut menonton sambil
bergelayut di punggung Rasulullah, dengan asyiknya sampai pipi Aisyah menempel
di pipi Rasulullah. Begitu keduanya sangat mesra, walaupun di hadapan orang
banyak yang sedang menyaksikan festival tari tersebut (Shahih Bukhari
1:323).Peristiwa pada hadits ini tampak berbeda jika dibandingkan dengan sejarah
interaksiseni
teater dengan
kekuasanyang disertaidengansentimenberagama.
Di Afghanistan, interpretasi Taliban atassyari’ah menggiring dinyatakannya segala
bentuk ekspresi budaya “tidak religius” yang menyertakan tindakan manusia seperti
tari, drama,
dan music sebagai hal yang tidak Islami dan bergelimang dosa.
Sebagai akibatnya, seni teater
dan seni ekspresif lainnya dinyatakan
sebagai hal terlarang. Taliban di Afganistan menghancurkan alat-alat music tradisional,
seperti juga halnya yang dilakukan oleh Idi Amin di Uganda (Grund, 1995: 10).
Sebagaimana
disinggung di awal, idealisasi kreativitas seni teater di kampus mesti menjadi
proses mematangkan kecenderungan kajian yang terbeban pada fakultas-fakultas
ilmu di mana teater itu berada. Kelompok teater kampus dengan segala mekanisme
organisasinya bukanlah sekadar tempat transit, persinggahan sementara
menyelesaikan studi. Teater kampus memiliki estafet ideologi yang diteruskan
dari generasi ke generasi. Jika tidak demikian, maka bergesernya status
mahasiswa penggeraknya menjadi alumni akan menghentikan visi kreatif dan gerak langkah
dari ideologi teater kampus tersebut. Memaknai 29 tahun Teater Langkah, semoga
teater kampus di Sumatra Barat terus bergerak menuju masa depan ideologimasing-masing.
Ideologi khas yang terbit dan berkelindan atas keterpesonaan akan ilmu
pengetahuan.
Sumber Bacaan:
Barber, Benjamin R. 1996.Jihad vs. McWorld, New York: Ballantine Books.
Grund, Francoise. 1995.La Musique et la Monde, Paris: Babel/Maison des Cultures du Monde
Smiers, Joost. 2009. Art
Under Pressure, Memperjuangkan Keanekaragaman Budaya di Era Global, terj. Umi Haryati, Yogyakarta: INSISTPress
No comments:
Post a Comment
SILAHKAN TINGGALkAN TANGGAPAN DI SINI