: Ane Matahari
Ya! Dialah Sosok yang tak pernah mengatakan tidak kepada siapa pun meski dalam keadaan apa dan bagaimana pun juga dia waktu itu. Ya! Bagi siapa pun itu hal ini akan selalu berlaku, karena memang begitulah sifat dan sikap kesehariannya. Maka, wajar saja kepadanya banyak bahasa yang tercurah.
Semua dianggapnya sebagai bagian
dari hidupnya, padahal hanya berawal dari kenalan saja, teman, atau pun sahabat.
Sama dengan yang lainnya, tapi selepas itu berubah begitu saja menjadi saudara.
Ya. Dia tak cuma berarti ‘dia’. Dia telah menjadi ‘sosok’, menjadi ‘tokoh’,
menjadi ujung kata muara rindu yang tak pernah hampa.
Kini. Dia terbaring. Capek,
lelah, dan tak berdaya.
Barangkali energi yang terkuras
dari apa yang disikapinya telah begitu forsir. Mobilitasnya yang tinggi selama
ini mungkin telah mengukut-habis kalori di tubuhnya. Teparlah dia. Langit-langit
kamar berubah jadi ruang ‘rawat inap’ yang serba putih. Dia pun akhirnya terdaftar
menjadi salah seorang penghuni rumahsakit.
Tulisan ini ada setelah 3 hari
dia terbaring. Jarak dan kesempatan membentangkan kerinduan. Alam maya, dunia
virtual telah menjadi kabar yang berbicara, tapi tidak pernah mampu mengobat
rasa: tentang nilai persaudaraan, pertemanan, dan guru bagi murid-muridnya. Semua
menyebar begitu saja.
“Tak ada yang tak Ok sama kita,
Ok truss!” itulah kalimat yang terlahir atas terjemahan sikapnya. Kalimat itu pun
akhirnya menjadi rangkuman ‘rohmantik’ di halaman-halaman yang sengaja
kupersiapkan. Banyak yang mengikutinya. Terkadang kalimat dari idiom itu pun
telah berubah menjadi milik siapa saja.
Atau, “Jangan katakan apa yang
ingin kaukatakan: panggungkan!” idiom ini akhirnya menjadi motto tersendiri bagi
siapa saja ketika harus membatasi pembicaraan dengan orang lain, karena arahnya
menyimpang, bias dan sebagainya. Artinya, dengan idiom evaluatif atas sikap dan
Sosok-nya itu, diskusi akan terus berlanjut tapi topiknya bisa berpindah pada
hal yang baru lagi.
Ane Matahari, demikian dia
dikenal banyak orang -- dari Sabang sampai Merauke – karena aktivitas
perjalanannya. Ya. Andri Syahnila Putra Siregar nama terang dari keluarganya.
Dengan tidak membesar-besarkan, atau apa pun lah istilahnya, ya, pada
kenyataannya dia memanglah tokoh. Tokoh bagi lintas genre kesenian, karena
semua memang dia masuki.
Di Pinggir Kalimalang samping
Unisma Bekasi, atau Universitas Islam 45, di sana berdiri sebuah Saung yang
berfungsi sebagai sentra kreativitas apa saja. Perpustakaan pinggir kali itu
pun sering menerima tamu yang datang silih berganti. Tidak hanya seputar
Jakarta dan Bekasi saja, malah dari Ambon dan kota lainnya pun ada.
Sastra Klimalang tujuannya, Ane
Matahari dan kawan komunitas inilah yang dicarinya. Maka ‘Pro Kontra’ di halaman Sastra Kalimalang yang ada di Radar
Bekasi ini sengaja kutuliskan perihal Sosok ini. Seorang Tokoh Nasional yang
tak berjarak dengan siapa saja. Mulai dari kelamnya jalanan sampai cerlang gedung
parlemen pun digaulinya.
Tiga hari sudah dia terbaring di
rumahsakit. Ribuan ucapan mengalir di dunia maya. Apalagi di dunia nyata.
Komunitas Sastra Kalimalang menjadi sunyi dan sedih. Tapi ini takkan lama. Dia
akan kembali sehat. Kenyataan ini adalah teguran dan sapaan. Agar siapa yang
sehat mesti tahu menjaga dan mendisiplin diri.
Kadang kita begitu merasa kuat
saja, padahal tubuh kita sesungguhnya tak mampu lagi. Atas nama semangat semua
menjadi tak terasa. Catatan dari tulisan ini hanyah sebuah ungkapan yang memang
tak bisa dituliskan di social media. Selain maknanya yang tak seberapa, juga cuma
catatan kecil saja bagi para pemuda.
Jakarta, 28 Oktober 2016.
No comments:
Post a Comment
SILAHKAN TINGGALkAN TANGGAPAN DI SINI