Oleh Irman Syah
Dari Payakumbuh ke Pekanbaru, bersimpanglah jalan di
Bangkinang, laju menuju ke Petapahan. Jalan sunyi yang terasa lengang dan
hutannya lebat di kiri-kanan, mengantar sampai di kota Duri: Mandau namanya
Kecamatan, di sinilah Sakai bertempatan.
Laju kehidupan yang begitu cepat amat terasa bagi Suku
ini. Perkembangan dan perluasan lahan membuat Sakai semakin terjepit. Kehidupan
mereka yang demikian sulit menjadi semakin pelik. Hutan-hutan pun makin
terbuka, mereka pun semakin merana. Apalagi berbaur dengan suku pendatang yang
berduyun-duyun, ramai menuju daerah ini.
Pemukiman baru para pendatang menjadikan suku Sakai
kian terpencar. Diprediksi, 20 tahun ke depan Sakai tidak akan lagi ada di
negeri ini. Demikian yang diungkapkan oleh Anwar Ali, salah seorang tetua
masyarakat yang begitu paham dengan kondisi suku Sakai.
Tokoh ini memang sangat mengerti akan kehidupan Sakai.
Dia menyebutkan pendapatnya ini memang berdasar dan tentu saja dikarenakan
telah terjadinya kawin silang antara suku Sakai dengan suku-suku pendatang.
Meski pun begitu kebenaran dari pendapat Anwar Ali ini tentu saja butuh kajian
lebih jauh. Apakah benar suku Sakai akan punah? Andai hal demikian yang terjadi
tentu saja Duri, atau Kecamatan Mandau akan kehilangan kekayaan tradisi dan
budaya yang telah menghiasi kehidupan masyarakat pedalaman ini begitu lama.
Riau sendiri sebagai provinsi yang begitu kaya akan
kandungan alamnya itu tentu akan kehilangan permatanya yang amat berharga.
Membayangkan kehidupan Sakai, sebagai salah satu dari suku pedalaman yang ada
di Indonesia yang berada di Riau ini, kita seakan diajak kembali pada sebuah
bangunan suasana masalalu yang begitu alami. Ekosistem yang tercipta begitu
sempurna. Alam, tumbuhan, binatang dan manusia saling berdialektika dengan
bersahaja.
Kehidupan mengalir dengan udara yang sejuk atas
bangunan yang saling mengisi di antaranya. Begitulah Sakai, di mana mereka
berada, di sana kekayaan alam mengalir dan menggenang. Maka, dengan begitu tak
pelak lagi di mana Sakai berpijak berdirilah kilang-kilang minyak di sana.
Mereka pun tergusur dan kemudian berpindah lagi. Begitu seterusnya dan
seterusnya. Tambang minyak dan perkebunan telah mendesak mereka di hutan-hutan.
Gajah dan harimau akhirnya menjadi musuh karena
terluka dan terdesak yang kemudian menimbulkan masalah. Berkaca pada kondisi
hutan semacam yang dialami suku Sakai, melihat Indonesia dengan segala
persoalan yang kini mengemuka barangkali banyak hal yang mesti dikaji dan
diwaspadai. Negeri yang tengah mengulang tahun kemerdekaan baru-baru ini
memerlukan sikap serta antisipasi yang nyata terhadap kekuatan yang kini
bergrak pesat di luar sana, sedikit saja lengah dengan keputusan yang diambil
atasnama kebijakan tentu akan berakibat panjang dan menyusahkan.
Ketika Sakai kehilangan bahasanya akibat pendatang
yang memang telah terlebih dahulu mengerti dengan tujuannya, Sakai akan
tercerabut dengan akarnya. Mulai tidak lagi memikirkan alam tempat mereka
berpijak dan ikut arus modernisasi yang mereka tak tau ujung dan pangkalnya. Dampak
terbesar dan amat merugikan serta membunuh mereka adalah malu mengakui
eksistensinya.
Kenyataan ini persis sama dengan kenyataan yang
dialami bagi kenyataan tradisi ketika berhadapan dengan modernitas. Karena malu
dianggap kolot, telah menjungkir-balikkan hal ihwal pemilikan yang amat penting
bagi manusianya yaitu peradaban. Negeri ini kian mengidolakan sentralitas,
apalagi kepentingan dunia dan tak mampu mencari jalan keluar serta tidak berani
berdikari sebagaimana yang diungkapkan Soekarno tentu saja akan terjerembab
sebagaimana yang dialami suku Sakai yang akan usai.
No comments:
Post a Comment
SILAHKAN TINGGALkAN TANGGAPAN DI SINI