Sejauh-jauh terbang bangau,
pulangnya ke kubangan jua, demikian pepatah lama yang hari ini tak lagi
terdengar. Bisa jadi saja, ‘bangau’ binatang jenis burung yang berkaki panjang dan
sering berada di tengah sawah dan kadang berdiri di punggung kerbau itu tak
lagi banyak diketahui anak-anak hari ini karena sawah telah menumbuhkan pabrik
dan mall. Ke manakah burung-burung bangau itu kini? Entahlah. Ya. sama saja hal
nya dengan kunang-kunang yang sekarang cuma berdiam dalam bait-bait puisi para
penyair.
Hamparan gurun dan sawah, telah
terjual dan tergadai begitu saja. sementara pemiliknya telah menjual dan
menggadaikannya buat anak cucu mereka yang dengan kebanggan tersendiri yakni untuk menjadi kaum intelektual. Demi sekolah
anak, demi kuliah anak cucu semua dilipat menjadi kertas da angka-angka.
Kebanggaan demi kebanggan telah membuat rasa menjadi terbang teramat jauh dan
tak lagi kembali. Demikianlah analogi, demikianlah perumpamaan yang terjadi
kini.
Hakikat perkembangan zaman,
dinamika yang salah kaprah itu membuat negeri kehilangan rasa. Pikiran menjelma
raksasa yang begitu buas dalam melipat bukit dan gunung dengan cengkramannya
untuk menjadi angka-angka yang kemudian memuntahkan banjir, gunung api dan
kesengsaraan masyarakat sekitar tanpa ada lagi yang bertangung jawab. Banyak
sarjana, banyak intelektual muda, tapi mereka tak pernah pulang ke akar. Mereka
terus berkutat dengan pikiran tanpa mengenal lagi sawah, ladang, atau gurun dan
napar yang membesarkannya.
Setiap saat, selalu saja muncul
pertanyaan. Kenapa di tanah yang subur ini para mahasiswa yang tamat itu tak lagi
begitu sayang kepada tanah kelahirannya. Tak ingat lagi bagaiamana pipit
bernyanyi, kerbau melenguh, atau uwir-uwir rima sore hari. Semua seakan lengkap
dengan games yang beragam dan memunculkannya dalam genggaman. Insinyur
pertanian kelihatan takut kotor kena lumpur, apalagi melihat cacing. Duh apa
seungguhnya yang tengah terjadi.
Menjawab semua itu, kita
dihadapkan dengan perkembangan yang salah kaprah. Mobil yang ribuan memadati
jalan, lampu merah yang menundang macet, sepeda motor yang bergerombol dan
kelihatan begitu buas dengan derumnya yang terus melaju mengelana pikiran dan
rasa yang hampa. Tak terbayangkan, jika ada yang ingin menyeberang di jalanan,
tau-tau mobil dan motor bersilangan dengan kecepatan tak terduga. Lampu merah pun
telah berbuat sekehendaknya. Dia terapit di tengahnya. Apa hendak di kata?
Di tengah jalan, dengan serbuan
mobil dan kendraan lainnya, dia tak tau lagi hendak bergerak kemana. Maju akan
ditabrak, mundur akan tertabrak. Begitu banyak yang akan menggilas. Debar
ketakutan kian merajam, jantung yang mendentung, atau kengerian yang tiba-tiba
itu muncul membuat kalut. Demikianlah suasana negeri ini. Ya, terlanjur
menyeberang: maju kena, mundur apalagi. Dari sini barulah diketahui, betapa
pentingnya sikap, pilihan, serta terjemahan ragam kemungkinan dan kepentingan
yang sesungguhnya.
Jika para intelektual berkiblat
terus dengan referensi yang ada berdasarkan tatanan yang mereka pelajari
tentang perkembangan dunia dengan Eropa-Amerika di dalam dada, maka kepulangan
akan semakin juah dan tak berkira. Jika mereka ini yang terpilih memimpin
bangsa, atau pejabat di pemerintahan, tentu akan mengukuhkan cengkraman dunia
luar: sengsaralah niat tulus orang tua yang menyerahkan tanah, sawah, ladang
dan gurun yang mengongkosi perkuliahan mereka. Sementara,
kehidupan membentang dengan ragamnya.
Ilmu itu bukan sekedar. Ada
ukuran dan prioritasnya. Format dan konsep tak melulu bisa sama. Lain padang
lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Jangan samakan begitu saja. negeri ini
amat merindukan kalian agar kembali menata lingkungan sebagaimana akar
menumbuhkan pohon. Sebagaimana sungai mengalirkan air. Sebagaimana kata dan
petuahnya. Jangan terlalu jauh, hilang diri: dekat pun masih ada resah. Tapi,
apa hendak dikata, prilaku sosial intelektual kita semakin tak mencerminkan
akar budaya bangsa.
Di layar kaca, mereka berkata
dengan seenaknya. Negeri ini seakan jadi bulan-bulanan kata-kata dengan
ucapannya yang tak sesuai dengan kenyataan yang sesungguh: mereka seakan
mementingkan hal yang tak penting dalam berbicara. Padahal, masyarakat yang
menonton di layar kaca, bukanlah sigoblok belaka. Dengan begitu, nilai
kebangsaan sudah tak berupa karena bopeng-bopeng. Hanya kebohongan yang
merajalela. Semua terbius dengan angka-angka.
Terlanjur menyeberang, mengambil
kiblat ke negeri orang, suka berpakaian orang luar, lupa budaya ketimuran telah
merebakkan dampak yang tak sehat bagi nilai kebangsaan. Jika prilaku sosial
para intelektual itu tetap mencerminkan peminjaman pikiran dan cara
pandang yang tidak tepat, tunggu saja, negeri ini akan bergolak dan kita akan
membayar mahal semua ini dengan darah dan airmata. Sehabis kata, apapun itu,
sebaik apa dan secanggih apa pun itu perkembangan zaman, jawabannya mesti
direngkuh kembali ke dada, agar mengakar dengan kebutuhan yang mendasar rakyat
dan negerinya.
Roemah Melajoe, 4 Maret
2016
No comments:
Post a Comment
SILAHKAN TINGGALkAN TANGGAPAN DI SINI