Oleh Irman
Syah
Dunia dengan segala pernak-pernik ciptaan yang lengkap itu sungguh telah menjadi ragam pandangan yang sangat mengagumkan. Dan manusia sebagai isian di dalamnya serta seluk-beluk dan bentuknya, jenis dan ragam rupanya itu hanyalah salah satu saja dari sekian banyak ciptaan, tapi sesungguhnya ia merupakan inti yang kemudian tumbuh menjadi kuntum-kuntum bunga yang marak di dalam taman kehidupan.
Begitulah kenyataan mengajarkan asal-usul sejarah kecintaan
dan kekaguman tentang mahkota dan ciptaan. Kekayaan pandangan itu tentunya akan
menjadi panorama yang selalu hidup sepajang zaman. Dan manusia, makhluk yang
maha indah itu merupakan magnit semesta di mana segala sesuatunya berpusat. Dalam dirinyalah sungai mengalir,
menebas rasa dan keinginan yang tak pernah padam.
Apa yang bisa kutuliskan jika kata tak mampu mewujudkan. Apa
yang bisa disampaikan kalau bahasa tak lengkap memaknakan. Begitulah kadang-kadang,
pikiran muncul menyombongkan diri, ilmu pengetahuan pun turut serta menjadi
seakan-seakan di dalam hati. Bagaimana? Kelengkapan yang bagaimana pula untuk
bisa ditasbihkan menjadi kata dalam memanen kenyataan yang sempurna menjadi
bahasa.
Entahlah kalian, bukankah panorama itu kadang tipuan, tapi
masih saja mereka menjadikannya sebuah keabadian. Ungkapan dan penilaian telah
begitu saja tercipta semena-mena dan serta merta dalam bahasa yang dituliskan. Ya.
Kejadian-kejadian yang begitu besar dan berarti itu bahkan bisa saja berubah
semacam berita tak berguna. Aku merarasakannya demikian. Apa sesungguhnya yang
kini bermukim di dalam dada, cinta ataukah pura-pura?
Para penyair telah menuliskannya demikian, yang konon mereka membuat
berita diri yang sempit dalam sekejap dalam dformat sajak. Kian hari mereka kian
banyak, buku kumpulan puisi merebak, tapi -- dan itu sudah pasti -- pembaca
tentu tak sebodoh itu pula menilainya. Jangan marah atau pun cemburu. Biarkan
saja. Dunia ini tipu daya. Tergantung
manusianya. Bukankah dari segumpal daging yag sebelah kiri di dada itu segala
sesuatu berpusat dan bisa dibaca.
Tidak dapat disangkal memang. Karya yang terbit sebagai buku hari
ini memang perlu untuk ditelusuri lagi. Tapi oleh siapa? Kritikus? Sejauh mana
pula kesanggupan mereka. Pendekatan, metode, dan pisau analisa mana pula yang bisa
dipakai. Apalagi, karya yang hadir setiap hari bagai limpahan air-bah yang
menelan apa saja karena dana. Padahal, kalau masih memiliki sikap dan berpendapat
bahwa sebuah karya adalah sebuah dunia maka dunia sastra kita takkan pernah terjerumus
ke lembah yang sia-sia.
Dunia dengan segala pernak-pernik ciptaan yang lengkap itu
sungguh telah menjadi ragam pandangan yang mengagumkan. Dan manusia sebagai
isian di dalamnya serta seluk-beluk dan bentuknya, jenis dan ragam rupanya itu
hanyalah salah satu saja dari sekian banyak ciptaan, tapi sesungguhnya ia
merupakan inti yang kemudian tumbuh
menjadi kuntum-kuntum bunga yang marak di dalam taman kehidupan.
Kesusastraan, ya, dan manusia yang menciptakannya tentulah
seorang yang linguis. Kecakapan dan
keahliannya dalam berbahasa mereka tak dapat lagi diragukan lagi dan sudah
pasti diplomatis. Tak cuma menuliskan, tapi juga menerangkan isi pikirannya
secara lisan, dan bahkan pula melaksanakan lakuan hidupnya pada kenyataan
sehari-hari dalam kehidupan. Jika bercermin pada sebuah kaca yang bukan
tipu-daya, pantulannya tentu akan kekal memaknakan kesungguhan. Jika tak
demikian, semua orang akan akan bisa saja mengatakan dirinya cermin, tapi
sesungguhnya itu lebih layak disebut sebagai pemelihara kebohongan.
Kebohongan paling tinggi yang merendahkan harkat itu pada
dasarnya adalah mendustai diri sendiri, Diri yang telah menciptakan dirinya
sebagaimana magnit di alam semesta tentu akan murka. Jika ini ada dan termaktub
dalam penulisan karya sastra kita di negeri ini, maka boleh saja itu dibilang sebagai
pekerjaan yang sia-sia. Setaman kata tak berbunga? Setaman kata tak berbunga
apalah artinya bagi dunia, terlebih pada kebenaran? Dan manusia sebagai pusat,
centrum dari ciptaan itu akan jatuh dan berada di lingkaran medan magnit
hipokrisi yang tak terbilang.
Roemah Melajoe, 29 January 2016
No comments:
Post a Comment
SILAHKAN TINGGALkAN TANGGAPAN DI SINI