Oleh
Irman Syah
Baru saja tanggal 9 Januari kemarin disepakati di Bekasi adanya bangunan kontemplasi tentang penting dan kebermaknaan ‘Sobat Tande’, tapi tanggal 14-nya langsung dijawab oleh sebuah peristiwa di Sarinah Jakarta. Begitulah kiranya antisipasi, antara impian dan kenyataan kadang bertentangan. Tak ada yang bisa memprediksi keadaan secara mutlak, kecuali kehendak-Nya.
“Menghidupkan kembali nilai yang terkandung dalam Sobat Tande
menjadi kian relevan di tengah indikasi menebalnya garis pemisah antara
berbagai kelompok masyarakat. Perbedaan cenderung tidak dipandang sebagai
keabsolutan alam, melainkan keberseberangan. Jika tidak diantisipasi, bukan
tidak mungkin akan muncul gejolak sosial yang bisa mengganggu semangat
persatuan.” Demikian penuturan K.H. Abid Marzuki.
Dalam pengertian Sobat Tande, persatuan tidak diartikan sebagai
penyeragaman, tapi lebih pada kerukunan yang tercipta dari harmonisasi antara
perbedaan dan perbedaan lainnya. Seperti halnya harmonisasi dari berbagai alat
musik yang kemudian menyatu dan menjadi kekuatan nada dan terciptanya lagu yang
indah. Artinya, persatuan dari perbedaan adalah kekuatan dari keindahan itu
sendiri yang mengabadi.
Tapi, negeri ini kian larut saja dalam pertikaian, silang
pendapat, sengketa yang tak pernah usai, hingga teriak dan letupan pun sampai
ke jalan-jalan. Hutan rimba persoalan jadi makanan empuk Negara-negara besar.
Kawan memakan kawan, saudara berubah rupa. Masihkah akan dipertahanan kerisauan
diri tanpa mencari jalan keluar dari titik temu bagi kedamaian dan
persaudaraan? Sudah sebegitu jauhkan jarak antara kita dan kita dalam
pengertian saudara?
Memang, tak ada lagi jalan yang tepat selain merumuskan
kemaslahatan umat dengan cara yang beradab. Berat sama dipikul, ringan sama
dijinjing adalah ikatan yang perlu dibenahi dari dalam. Sobat Tande,
sebagaimana untaian sejarah yang telah dilakukan K.H. Noer Ali atas nama
kebijaksanaan cara berpikir dan bersikap melalui kelapangan dada, itulah
warisan yang mesti dijadikan rujukan. Bukankah berbagai kelompok etnis dan
agama akan mampu memberi manfaat bagi banyak orang jika tercipta jalinan ikatan
lewat harmoni kehidupan.
Bekasi, daerah yang bersejarah dan bahkan sering disebut sebagai
kota santri dan perjuangan ini memang memiliki keragaman penduduk. Keluasan dan
keterbukaan yang dimilikinya menjadikan daerah ini semakin padat.
Bangunan-banguan baru dengan penduduknya yang ramai tentu amat
membutuhkan kerukunan. Kata warga menjadi mengemuka di daerah ini dibandingkan
kota-kota lainnya. Untuk itu, tentu dibutuhkan kiat yang tepat dalam segala
hal.
Dengan tidak melupakan sejarah. Dengan mengingat dan merenungkan
kembali jasa Pahlawan dan butir-butir yang telah dicapai sebelumnya, khususnya
Rapat Akbar 17 Januari 1950, maka pada tanggal dan bulan yang sama yakni 17
Januari 2016 makna itu diapungkan kembali. ‘Sobat Tande’ dipilih sebagai dasar
acuan dan tajuk peringatan ini. Sobat Tande merupakan budaya masyarakat Bekasi
yang memiliki nilai luhur, yakni harmoni sosial yang memang sangat dibutuhkan
dalam kehidupan.
Berangkat dari momentum peringatan terhadap Rapat Akbar Warga
Bekasi tahun 1950 yang digagas oleh K.H. Noer Ali, maka Sobat Tande dijadikan
hakikat tujuan. Drahim Sada, komunitas Paguyuban Pemangku Seni Budaya Bekasi
(Pangsi), menyampaikan bahwa kegiatan ini adalah peringatan dari cerminan
sejarah, dimana 66 tahun lalu, ada peristiwa yang dihadiri sekitar 25.000 warga
Bekasi yang berkumpul di Alun-alun dalam wujudkan Negara Kesatuan
Republik Indonesia, bukan RIS sebagaimana wacana waktu itu.
“Menghidupkan kembali semangat, spirit Sobat Tande yang sarat
filosofi tentang nilai kehidupan yang penuh harmoni itu, komunitas Sastra
Kalimalang yang bergelimang kesusastraan di pinggir Kali turut berpartisipasi
penuh, yakni berat sepikul dan ringan sejinjing tentang wacana yang tepat ini
,” ungkap Ane Matahari.
RoKe’S, 15 Januari 2016
Makasih bang udah mencatatkannya di sini, tanpa catatan banyak hal baik terlewat begitu saja
ReplyDelete