Oleh Irman Syah
(ill. amien kamil)
Ketika semua saling curiga dan membunuh rasa percaya antar
sesama; itulah sesungguhnya yang dirindukan mereka sejak berabad-abad lamanya.
Berbagai cara, disain, taktik dan usaha untuk merumuskan kesimpulan yang menguntungkan
telah mereka lakukan dengan beragam cara yang sempurna. Akhirnya semua menjadi
nyata dan mengemuka: perbedaan telah melahirkan kepastian bahwa antara kita dan
mereka jurang menganga.
Pikiran ini makin menggerutu saja untuk segera keluar dari cangkangnya.
Tak mampu lagi rasanya ketajaman puisi, cerpen atau cerita lainnya untuk megisahkan
karena itu pun telah menjadi bahan bagus dari propaganda mereka. Begitulah
nasib seni dan budaya. Maka lahirlah kenyataan hidup menjadi pro-kontra dalam
lingkup besar yang mesti ditelusuri dengan penuh kedewasaan. Setelah segala
struktur dan patokan disesuaikan, maka hukum pun turut serta. Lengkaplah sudah
kehilangan, dan mereka pun menimbun laba atas kecerobohan kita.
Kita? Masihkah kata ‘kita’ ini akan mampu menjadi ikatan
makna yang bersih dan terpelihara. Ataukah ini cuma terlahir begitu saja di
saat suka, atau bisa juga ada dikarenakan memang ada maunya. Nah. Kembali lagi pertanyaan
mengarahkan anak panahnya pada rasa
percaya. Andai kata ‘percaya’ ini yang sering muncul dan menjadi ungkapan
pertanyaan maka sudah dapat dikatakan bahwa kemungkinan besar hal ini tentu berlandaskan pengalaman tentang betapa sakitnya
dampak dari kebohongan yang diterima.
Kalaulah ungkapan massa selalu saja melibatkan rasa dengan kata
‘percaya’, maka tak dapat pula dibayangkan, sudah berapa lapiskah tumpukannya
dan telah berapa lamakah kebohongan dan pembodohan tercipta di tanah negeri
tercinta. Maraknya hujatan, riuhnya pembeberan aib, dan munculnya manusia
‘seakan-akan’ dalam kebar berita yang menceritakan keroposnya bangsa ini jelas-jelas
membuktikan bahwa ‘kita’ sesuai maknaya telah entah berada di mana?
Bisa saja di Media Sosial tumpahan semua kesal, marah, benci
dan sebagainya, ya silahkan saja. Ini kan cuma semacam tipuan yang melenakan.
Bukankah dengan adanya media ini mereka yang mediplomasikan kerjasama sangat
tertolong, karena settingan antisipasi pun telah berlangsung dengan biaya
cuma-cuma. Padahal status dengan memunculkan rasa kesal, marah, benci dan
lainnya yang dimuntahkan palingan hanya sekedar menjauhkan diri sesaat dari
masalah, tapi anehnya kita seakan telah berbuat besar bagi negeri dan bangsa
ini.
Kasian memang. Semua lapisan membeberkan persoalan. Negeri
ini seakan lenyap tak berkira dan semakin tak mampu berpapasan lagi dengan rasa
cinta, tanggungjawab, syukur dan anugerah. Kemana lagi kata-kata itu mesti
dicari untuk kembali dipulangkan pada tempatnya. Ke rumah kehidupan yang
dicita-citakan sebagaimana semboyan bangsa, tanah air, dan bahasa, yang
kemudian disimpulkan oleh bendera, umbul-umbul, kordinat dan lain sebagainya.
Tipuan pun meraja-lela menciptakan kebohongan yang terencana.
Ketika semua saling curiga dan membunuh rasa percaya antar
sesama; itulah sesungguhnya yang dirindukan mereka sejak berabad-abad lamanya. Demikianlah
derita kita, nasib kata yang remuk di dalam. Kepercayaan, janji, ikrar, dan
segala macam kata lainnya ketika mereka ingin menjabat terasa bermakna begitu
manisnya. Ketika semua telah duduk di singgasananya, kata tak lagi bermakna,
janji tak lagi sempurna. Ya. Begitulah nasib rasa percaya yang akhirnya menemui
nasibnya untuk remuk di dalam dan entah kapan mampu bersuara.
RoKe’S, 4 Desember 2015
No comments:
Post a Comment
SILAHKAN TINGGALkAN TANGGAPAN DI SINI