Berangkat dari ragam
persoalan yang muncul di bumi pertiwi, benak kita telah dirasuki oleh bangunan
kepercayaan yang semakin tercerai-berai. Apalagi dengan pemberitaan ragam media
yang sering tidak menumbuhkan kedewasaan, kewaspadaan dan kesiagaan, tapi lebih
cendrung menimbulkan rasa takut dan was-was. Maka yang terlahir kemudian bagi
kenyataan kehidupan serta kondisi kedirian masyarakat Indonesia adalah
mempergunjingkan keadaan serta mempermasalahkan beragam kebijakan.
Alam menyatakan diri dengan bahasanya, dan manusia
menerjemahkannya dengan bahasa tersendiri pula. Dari hubungan keduanya
terciptalah bahasa yang disebar-luaskan ke seantero negeri. Saling berkabar, saling mengirimkan kata dan
gambar. Ambil saja contoh yang dekat, banjir: setelah kondisi susah, akses
tertutup, kehidupan yang mesti tetap bergulir dan mambuat manusia di Jakarta,
Bekasi, dan sekitarnya telah jadi pelengkap penderita, dan setelah itu, muncul
lagi pernyataan-peryataan yang saling tuding tentang sampah atau pun kali yang
dijadikan hunian dari mana-mana.
Artinya, setelah terpojok kemudian dipojokkan lagi atas
ungkapan-ungkapan yang menyakitkan. Bagi masyarakat yang kondisi
sosial-ekonominya pas-pasan tentu hal ini semakin menambah persoalan. Soal
sampah itu tentu saja tidak sekedar mempersoalkan kenapa tidak tertib dengan
sampah, tapi jauh dari itu tentu ada lagi yang perlu dipertanyakan: kenapa
begitu banyak diizinkan merk dagang dari produk yang sama? Apakah ini juga
tidak semakin membuat sampah kian bertambah banyak. Begitu pula dengan
pendirian bangunan mewah yang tidak ramah lingkungan, antisipasi dari dampak
jalan tol, pabrik, mall dan lain sebagainya. Nah, ini perlu direnung-inapkan
lagi. Kalau soal pemasukan bagi daerah itu lain lagi ceritanya, tapi tetap hal
semacam ini perlu dikaji-ulang agar telunjuk tidak cuma mengarah pada
masyarakat saja. bukankah hal demikian akan menimbulkan telunjuk-banyak pun
akan mengacung dalam rasa sakit hati dan dendam yang tak berkesudahan.
Itu baru secara fisik, belum lagi alam intelektual dari cara
berpikir manusia. Ukurannya begitu sulit untuk ditemukan. Wah, memang negeri
ini kian kaya saja akan persoalan dan pertikaian. Selain banjir, gunung
meletus, tabrakan kereta, alam intelektual dan budaya Indonesia pun dirasuki
oleh bencana yang tak kalah seru pula pertikaiannya. Di pusat-pusat kebudayaan
masing-masing daerah pertengkaran Antara masing-masing pikiran pun memunculkan
perpecahan. Banyak seniman yang terkotak-kotak dan dikotakkan oleh adanya
bangunan baru, atau bangunan lama yang dibarui lagi dalam bentuk komunitas.
Entah apa yang bakal terjadi kalau kenyataan yang semacam ini
terus-terusan berlangsung dan terus pula diekspos kemana saja, yang tak pantas
tau pun menjadi tau, atau bisa juga mengakibatkan pembacanya menarik ujung
bibir. Cemoohan dan pandangan sinis akan menjadi abadi tersebabnya. Inilah
sebuah risiko dari tuntutan kebebasan yang salah kaprah karena lupa ukuran,
patokan dan ini perlu diangkat lagi demi pemahaman ulang tentang manfaat yang
esensial atas nama kehidupan yang manusiawi. Hal semacam ini tidak hanya
berdampak pada kondisi hari ini saja, tapi berlanjut pula pada generasi
berikutnya, anak dan cucu. Kerja keras tentu memerlukan banyak hal untuk
meluruskannya.
Pelajaran pertama atas nama wahyu tentu saja kita tidak pernah
lupa: Iqra’! Permisalan yang dapat diambil untuk menjadikan diri kian berguna
tentu akan ditemukan dalam kandungannya. Dengan ketidak-pahaman akan aksara,
penerima wahyu yang disebut Nabi dan Rasul itu yang bertugas memperbaiki akhlak
mampu membaca dengan seksama. Di balik ini semua, alangkah dalam pengertian
membaca bagi manusia. Kalau ini diteruskan, tentu hidup yang punya pegangan dan
sikap akan tetap mampu bertahan dan menang. Apa pun kejadiannya, jiwanya akan
tumbuh menjadi magnit yang mampu mengikat tali silaturrahmi bagi kehidupan
manusia lain agar dapat semakin memaknai diri.
Membaca alam secara tepat dan sikap yang tegas terhadap
kemudaratan adalah kunci utama untuk mampu menyibak badai. Isian rohani inilah
yang kadang sering terlupakan. Bahkan, dari sudut lain banyak pula kebebasan
berbicara yang kemudiantanpa disadari makin menjerumuskan. Mempolitisir segala
sesuatunya atas nama kepentingan lain adalah salah satunya. Bahasa yang lebih
sering muncul adalah penekanan terhadap kecurigaan dan saling tak percaya.
Untuk itu, diperlukan pembacaan yang cermat terhadap apa pun dan jangan
sekali-kali meremehkan kenyataan. Alam bisa berbuat dengan bahasanya, manusia
mesti sadar dan cekatan membacanya, tapi televisi dan mie instan selalu saja
berhasil merayu-rayu perjalanan.
RoKe’S, 6 Februari 2014
No comments:
Post a Comment
SILAHKAN TINGGALkAN TANGGAPAN DI SINI