Oleh Irman Syah
TERLALU BANYAK yang mesti disebutkan perihal bencana yang menimpa negeri ini. Beragam pula jenis, bentuk, ruang-lingkup kenyataan dan dampak yang ditimbulkannya. Yang pasti, semua itu membahasakan ungkapannya tentang nilai bangsa yang berada dalam kondisi memprihatinkan. Bangsa ini tengah berada di negeri yang kehilangan arah. Tak ada lagi garis-garis besar dan haluannya. Semua seakan telah mementingkan hal yang tak penting pada setiap tindakan, ucapan, impian, cita-cita, serta laku kesehariannya.
Dalam kondisi sakit macam ini, negeri kembali ditimpa bencana fisik yang tak kunjung reda. Semua hadir mengemuka dan letupan bencana itu pun terus berulang serta terjadi ganti berganti. Apa yang bisa dikata kalau kata-kata hanya memperkeruh kenyataan yang melanda. Kadang di sini pulalah kesabaran kurang terpelihara: semua ingin menyampaikannya, tapi hasilnya sama saja dengan menyobek baju di dada. Lebih parah lagi sampai membuat orang lain, yang juga bangsa sendiri kena dampak pedas ucapannya.
Terlalu banyak untuk dipaparkan jikalau disebutkan satu satu.
Dengan begitu, tentu lebih baik bersikap dan tetap memilih setia merenungkannya.
Semacam tegur-sapa. Membahasakannya kepada diri sendiri. Bukankah tegur sapa
kedirian itu adalah keutuhan yang sangat bermanfaat untuk diungkapkan dalam
prilaku keseharian. Hemat berbicara pun akan jadi obat untuk tidak mengumpat,
apalagi membeberkan peristiwa tanpa ujung dan pangkalnya. Maka dari itu lebih baik memelihara
rohani agar tidak mendekatkan diri pada penyesalan
yang amat menyiksa.
Dalam khusyuk renungan, inti persoalan bisa muncul tak
terduga. Kedekatan diri pada pencipta segala akan melapangkan jalan bagi
kelahiran Bahasa dari jiwa. Nilai-nilai kehidupan akan mengemuka di depan mata
dan hati pun kian bersih menerimanya. Salah dan benar jadi terpapar dengan
sempurna. Tinggal memilih dan menatanya lagi dengan niat yang benar dan tulus
penuh keikhlasan sebagaimana cinta mengajarkan kasih-sayang dalam rupa yang
sedia kala. Begitulah niat kalau memang ditujukan jadi solusi. Tentu saja tak sekedar basa-basi.
Kehancuran negeri dari ungkapan atau letupan dan gempa di alam
raya yang disebut bencana memprihatinkan itu memanglah sangat menakutkan. Itulah
bahasa yang sempurna bagi yang bebal. Kematian adalah kewajaran karena
kehidupan telah memulainya. Begitu banyak
yang sudah tidak ingat lagi asal-muasal: ciptaan dan keutuhan dalam ikatannya
adalah syarikat yang saling kait pada mulanya, tentu pula ini akan turut dan serta
menyerta. Jika salah satunya dieksploitasi, maka yang lainnya akan meruang dan
ternganga. Di sanalah alam berbahasa mendentumkannya bagi manusia, tinggal menunggu
waktu saja.
Secara nyata, berdasarkan perjalanan dan hasil pandangan atau
pengamatan secara konkrit atas persoalah hidup manusia yang berawal mula, atau
dengan melihat tatanan yang ada dari bahasa yang pernah tercipta atas
peninggalannya, ternyata telah banyak yang terlupa. Bisa juga dilupakan dengan
sengaja. Ya, sebuah kehilangan yang memang seakan bersengaja. Sebagaimana Selera
dan gaya yang dipaksakan karena malu dibilang kampungan. Atau bepergian ke
dunia sana dalam rangka konferensi hura-hura, telah semakin membuat negeri ini
jadi porak poranda, apalagi hasilnya muncul pula pada penciptaan baru yang
sesungguhnya adalah contekan saja.
Tapi, seberapa lamakah prilaku itu bisa bertahan dalam
kebohongan yang disengaja. Atas nama pengalaman, lambat laun terbongkar juga, dan
kerinduan akan kembali pulang pada cita rasa pada bumbu masakan ibu tercinta. Tapi, apalah
artinya jika negeri yang dirindu itu telah sekarat melahap derita dari akibatnya.
Efektif dan efisien pun telah digunakan tanpa akar yang sesungguhnya, Time is
Money pun adalah rupa penjajahan dari bahasa dan sekaligus kapital tanpa diduga.
Pengaruhnya begitu besar dalam pandangan hidup manusia Indonesia dalam usaha
meninggalkan ibu pertiwinya untuk kesepian selamanya. Jual beli dan pengrusakan
alam, perdagangan yang mengatasnamakan kerjasama luar negeri adalah bencana yang
berawal dari bahasa dan struktur contekan yang digunakan pelaksana negara dan
pasti sudah tidak sama dan sebangun apalagi senafas di tubuh negeri dan inilah
yang selalu dilahap menjadi bencana.
RoKe’S, 20 Februari 2014
No comments:
Post a Comment
SILAHKAN TINGGALkAN TANGGAPAN DI SINI