Oleh Irman Syah
Apalah yang hendak dikata bila kata-kata itu berganti warna
oleh kepentingan tertentu di negeri ini. Apalagi label, akronim dan istilah
yang dilumuri angka-angka memarakkannya. Semua menari dan melambai-lambai dalam
kerlap-kerlip kota. Andai tak dicermati tentu saja akan menjadi hal biasa, tapi
bila sedikit saja ada perhatian atau sekedar mengedipkan mata, maka jelaslah
akan kelihatan, dan tahulah kita bahwa
telah banyak yang tertinggal dan tercecer dari bahasa yang bergerak kemudian
meninggalkan kita ke arah yang tak terkemasi lagi di bumi tercinta.
Gedung-gedung yang menjulang, label dan cahaya billboard yang
beragam warna itu telah membuat mata dan lidah kita mencecap rasa baru dalam
bahasa yang baru pula dan dengan begitu saja dikunyah tanpa sadar setiap hari.
Penamaan gedung dan istilah perumahan pun berganti dengan seenaknya entah dari
bahasa mana, dan kita begitu saja telah menerimanya dengan sukacita dan malah
dengan kebanggaan tersendiri pula. Diri seakan merasa sama dengan negara mana
pun di dunia. Aneh. Padahal ada rasanya yang menyayat-nyayat dan teriris di
dalam dada, tapi tetap saja kita biarkan agar terlihat maju, keren dan modern
di mata dunia.
Begitu pula ketika kita masuk ke dalamnya, sebutlah ke
gedung-gedung besar itu, atau mall-mall dan plaza itu, terasa benar bahwa kita
telah kehilangan dan yang melayani kita adalah label dan angka-angka saja.
Semua langsung bertegur sapa dengan kantong kita. Ketebalan dompet lah yang
ditanya. Hal biasa memang kalau itu yang diniatkan. Tapi, andaikan kita cuma
berniat hanya sekedar mencari kepentingan sederhana dan cuma ada di situ, maka
akan terlihatlah bahwa negeri ini telah bercelak dengan gaya hidup yang telah
berubah. Di sana, di ruang ber-AC itu kita merasa benar-benar terlempar ke
daerah yang belum pernah kita kenal sebelumnya. Diri entah berada di mana.
Tak ada tegur sapa, semua tak saling kenal, basa-basi tak
lagi ada, hilang lenyap tak berkira. Gurauan
dan kelakar yang dulu mampu membangkit darah untuk jadi riang telah tak lagi
kita miliki. Begitulah suasana yang tercipta di ‘dunia aneh’ itu. Semua
berduyun-duyun ke sana sampai capek, sampai bosan. Ada yang cuma jalan-jalan
saja singgah untuk menunggu macet yang padat merayap sambil mendinginkan badan
sekedar menghindari diri dari panasnya kota yang tak berhingga.
Kenyataan ini juga tak berlangsung lama. Kemudian, banyak
sudah mall dan plaza-plaza yang demikian megah itu suram dan berganti warna catnya
dengan warna yang buram dan kelam. Tiba-tiba muncul pula kreativitas baru untuk
menghidupakannya lagi dengan cara yang sedikit aneh: kadang pula dibikinlah
rumah hantu di lantai bawahnya sebagai penarik massa dan agar anak-anak sekolah
bisa datang untuk melihat hantu bikinan yang disetting dengan cara
diseram-seramkan. Maka berhondoh pulalah mereka datang ke sana dengan membayar
tiket yang lumayan mahal. Lama-kelamaan kebiasaan ini juga hilang karena memang
masyarakat kita sesungguhnya tak mau dibohongi.
Begitulah bahasa membangun gedung. Menciptakan
bangunan-bangunan baru yang mencontek bangunan yang pernah ada di belahan dunia
sana. Kalau dicermati lagi lebih jauh, bahasa-bahasa serapan itu sungguh telah meruyak ke berbagai bidang
dalam kehidupan manusia di negeri ini, baik di sekolah atau pun di
gedung-gedung pemerintahan, kemudian menyelinap ke dalam aturan-aturan dan
kertas-kertas kerja yang sesungguhnya tak pantas, tapi istilah-istilah itu
tetap digunakan untuk. Hal ini tentu saja menciptakan bangunan baru pula atas
nama perintah, kekuasaan dan kesepakatan yang dipaksakan. Kenyataan ini dipublikasikan pula melalui apa pun, termasuk
juklak dan juknisnya. Pemakaian kata, istilah yang demikian tentulah membuat
masyarakat kita semakin jauh tercecer dan tertinggal dari budaya yang
melahirkannya.
Di sisi lain, sebagai contoh saja, kita ambil perumpamaan
dengan gedung yang pernah ada dari lama tapi tak bisa dipastikan keberadaannya.
Gedung Joang 45 misalnya, apa yang telah kita pahatkan padanya: bahasa apa pula
yang telah kita kembangkan pada gedung bersejarah semacam ini. Pikiran kita
tentu akan mengelana pada persoalan pengelolaan yang tak tuntas dan
semena-mena. Begitu banyak persoalan yang muncul ketika gedung ini dimanfaatkan
untuk kepentingan masyarakat secara nyata. Banyak ini dan itunya pula.
Demikianlah ketika rasa dan kecintaan terhadap yang ada itu dibuang begitu
saja, beda dengan kenyataan yang baru dan belum tentu berarti penuh bagi
masyarakat tapi begitu saja amat digandrungi. Korupsi macam apa pula ini
namanya?
RoKe’S, 14 Maret 2014
No comments:
Post a Comment
SILAHKAN TINGGALkAN TANGGAPAN DI SINI