Oleh Irman
Syah
Berawal dari kenyataan kebodohan dan kejahiliahan umat manusia, maka bahasalah yang menata kehidupan dengan rasa, pengetahuan dan kebenaran kandungannya. Kalau tidak, alangkah tak ada bedanya prilaku hidup yang dilakukan manusia dengan binatang yang merangkak dan melata. Semua sama, dan bahkan jauh lebih kejam dan hinanya perbuatan manusia terhadap manusia lain apalagi terhadapn binatang atas pengingkarannya terhadap kebenaran dan ketauhidan yang sesungguhnya.
Bahasa dengan segala kandungannya takkan pernah berdiri
sendiri, ada ukuran pasti yang menilainya, sehingga dengan demikian akan mampu
menjadi patokan dan himbauan terhadap umat, untuk kembali pada hal yang
sesungguhnya. Kesimpangsiuran prilaku hidup manusia akan terlihat dari bahasa
yang diucapkannya. Kata dan kebohongan yang meluncur dari mulut manis seakan
gula yang telah menipu segerombolan semut untuk memungut remah-remah nasib atas
kebodohan mereka sendiri.
Bahasa adalah sesuatu yang berserikat. Adanya ikatan kata,
tingkah laku dan keutuhan yang telah menciptakan segalanya. Pembohongan
terhadap hal semacam ini adalah kekafiran yang mesti ditunjuk-ajari dengan
kelemah-lembutan bahasa pula. Demikianlah tanggung jawab, demikianlah rasa yang
mengalir, dan kesejukannya akan mampu bertegur sapa dengan pikiran yang tak
pernah sendiri. Memikirkan sesuatu, sudah pasti akan memunculkan apa dan siapa
yang menjadikannya, hakikat sesuatu itu menjadi ada atas nama kesadaran, sehingga hidup akan lebih
tertata dengan sendirinya.
Kedirian, ya, inilah yang hadir pada bulan ini, yang tercipta
atas perputaran waktu berdasarkan gerak bumi yang tiada henti pada sumbunya,
yang nantinya tentu pasti akan berakhir jua pada suatu masa. Mari, kita kenang
lagi sebuah peristiwa, kelahiran yang diakui dunia tentang tanggung jawab budi
pekerti atas nama akhlak manusia. Seorang pujangga alam yang diangkat
derajadnya, telah menghadirkan kebenaran melalui sikap hidupnya dengan
berpegang teguh pada ajaran yang diterimanya melalui wahyu, dan bertugas
mengupas kenyataan kehidupan seluk-beluk manusia.
Kenyataan ini memang tak dapat dipungkiri lagi. Perjuangan
dan derita yang dialaminya adalah pelajaran yang mesti diambil untuk bersikap
di bumi ini. Berpegang teguh pada tali yang satu adalah satu-satunya jalan,
yang mengantarkan pada kebenaran dan kebahagiaan hidup baik di dunia atau pun
di akhir zaman. Padanya tak ada sedikitpun keraguan yang mesti diucapkan. Semua
nyata. Tertulis dalam kitab-kitab dan prilaku hidup yang dijalankannya. Semua
menjadi pelajaran yang takkan basi sepanjang zaman.
Banyak kandungan dan hakikat yang disimpannya. Jangan
berlalai dan membuta. Jika hidup rasa hampa ingatlah ada yang menyapa. Iqra’,
demikianlah kata pembuka. Bumi dan langit akan berwarna. Inilah sejarah dari
yang Maha. Cermin rupa bagi manusia. Di bulan kelahiran Pujangga alam ini,
marilah kembali pada bahasa. Bahasa yang sesungguhnya bahasa, dengan
keistimewaan makna yang dikandungnya.
Peliharalah lidah, resapi setulusnya. Andai tak ada kata yang
benar jangan keluarkan dia dari dalam dada karena akan menyesatkan bagi sesama.
Mengenang kelahiran tentulah akan dapat
mengembalikan kesucian pada tampuknya. Bulan bahasa pujangga alam, tak
jauh beda dengan pelurusan sejarah hidup manusia atas nama kebenaran. Tekad
mesti selalu dikukuhkan meski apa pun aral melintang. Wahyu-wahyu yang
bertebaran mesti diikuti di detak hati.
Hanya satu yang diembannya: meski satu, tapi beratnya
wallahu’alam. Bagaimana tatanan tegur sapa, bagaimana tingkah polah bagi sesama,
bagaimana komunikasi mesti tercipta, bagaimana pengaduan yang sesungguhnya, dan
di sinilah akhlak yang mengemuka. Andai dipandang dunia yang fana, orang-orang
bergerombol mencuri harta. Kredit sana kredit sini, mengambil hak sebelum
waktunya. Yang demikian ini akan menyesatkan perjalanan diri. Maka, lakukanlah
tujuan sebagaimana adanya. Takkan lari gunung dikejar, takkan hilang rezeki
itu. Tinggal bagamana sikap dan pandangan, serta keimanan yang mesti
ditebalkan.
Tuhan berbuat sekehendaknya, tapi utusannya selalu
menerangkan. Tergantung rasa dan pikiran, bahasa yang mana mesti diungkapkan.
12 Rabi’ul awal, jadi jawaban yang berharga. Setidaknya pengubah sikap, untuk
kembali menata jiwa dengan bahasa yang sempurna.**
RoKe’S, 10 Januari 2014
No comments:
Post a Comment
SILAHKAN TINGGALkAN TANGGAPAN DI SINI