Oleh Irman Syah
Membicarakan ‘lokal’ rasanya sulit juga untuk memulai
kalimatnya. ‘Kata’-nya bermula dan muncul dari daerah yang tak sempat kita raba
dan, yang terbayang akhirnya hanyalah sebuah kebiasaan baru tentang
penyeragaman pikiran yang kadang membuang rasa atas keaslian hidup manusia di
berbagai daerah di negeri ini. Mata, pengalaman hidup kita seakan membayangkan
gedung, atau bangunan besar yang di dalamnya terdiri dari jumlah kelas, untuk
kemudian diserbu oleh anak-anak yang ingin maju atau boleh juga dikatakan tak
mau ketingalan.
Jadi, maka jadilah,
bermunculanlah sesudah itu dengan gagahnya sebuah bangunan dengan kondisi
kehidupan yang sama dan diseragamkan oleh sebuah koordinat besar, tapi atas
nama efektif dan efisien -- yang keduanya itu juga berangkat dari ‘kata’ yang
nyaris sama itu -- begitu saja diikuti oleh masyarakat Indonesia tanpa sedikit
pun mau berprasangka. Keinginan untuk maju dan rasa yang tidak mau ketinggalan
itulah akhirnya menumbuhkan pikiran menjadi lebih dominan dalam menghidupi
perjalanan kenyataan keseharian hidup manusia.
Barangkali saja ada yang kurang sepakat untuk mengikuti cara
pandang semacam ini. Hal ini pun juga tidak apa, tidak jadi masalah, malah
sesungguhnya merupakan jalan keluar berdasarkan dialektika yang bisa diapungkan
setiap saat. Akan ada pula sentuhan yang dilakukannya terhadap akar budaya yag
dimiliki bangsa ini dan, ini mesti diingatkan bagi semua menjelang segala
sesuatunya berlalu begitu saja, tanpa sempat kita seleksi dengan kejernihan
pikiran. Ini juga akan berakibat langsung pada generasi mendatang yang sudah
jelas-jelas anak-cucu kita. Mereka akan hidup tanpa akar kehidupan yang nyata,
mengawang dan akhirnya jadi pengkhianat tanpa disadari bagi negeri ini. Hal ini
tentulah sesuatu yang tidak kita inginkan dan, makanya berbuat dan berusahalah
segesa mungkin untuk kepentingan yang nyata di mata.
Sekarang memang tengah muncul dengan popular idiom ‘muatan
lokal’ dan, ini adalah hal yang mesti dipikirkan serta dirumuskan dengan matang
agar istilah ini tidak pula menjadi sesuatu yang kelak menipu tanpa terasa.
Istilah yang muncul kepermukaan ini terkadang juga tanpa sadar telah menjadi
sesuatu pesanan yang tak terduga. Bukankah dengan kemunculan istilah ini, kemudian
dipublikasikan, maka kapital tidak akan segan-segan menggelontorkan dana dengan
beragam korporet yang berebutan pula membangun eksistensinya. Kecerdasan
masyarakat untuk mengamati pergerakan kekuasaan amatlah dibutuhkan.
Komunitas-komunitas hendaknya tidak ikut arus begitu saja agar nanti tidak
berdampak seperti yang diduga.
Dengan kenyataan yang terpapar di depan mata, perlu kembali
menyiasati bahasa yang bermunculan, karena selain mampu mengikat dan terkadang
malah menjadi undang-undag serta aturan yang mesti diikuti dengan terpaksa dan
ini dapat melonggarkan ikatan manusia dengan alam yang melingkupinya.
Ketidakwajaran budaya yang diahirkan atas nama kesalahan bahasa yang tidak
berbuat karena ahl bahasa, atau tidak dapat berfungsi semestinya tentulah akan
membenamkan kedamaian dan kenyamanan hidup manusia secara nyata. Bukankah,
kadang mucul saja ungkapan, “Lokal tak lokal, yang penting tahu lokalan..” ***
RoKeS, 13 Desember 2013
No comments:
Post a Comment
SILAHKAN TINGGALkAN TANGGAPAN DI SINI