Oleh Irman
Syah
Tulisan ini
memang sengaja dimunculkan dengan gamblang dan semoga menjadi Pro-Kontra yang
mampu membuka pikiran atas cara pandang yang dibutuhkan untuk merumuskan secara
apik tentang kedudukan dan keberadaan Kebudayaan Indonesia yang sesungguhnya.
Atau, bisa pula dilihat dengan cara lain tentang bagaimana kedudukan Kebudayaan
Daerah yang telah dimanfaatkan atas nama Indonesia untuk kemudian mengebirinya.
Adalah
sebuah kebanggan tersendiri bagi pemilik budaya lokal ketika mereka ikut
diperhatikan dan dipublikasikan secara internasional lewat event-event
pertunjukan tertentu di manca negara. Kebaggaan semacam ini sesungguhnya adalah
semacam kebahagiaan yang mereka rasakan ketika ungkapan atau idiom yang mereka
miliki mampu berbicara lebih luas. Di sisi lain, hal ini juga merupakan
kebanggaan nasional yang juga telah merasa memilikinya.
Hal demikian
diucapkan karena mereka berangkat dengan terlebih dahulu dilepas secara resmi
oleh pejabat pemerintahan serta juga diiringi oleh beberapa orang utusan
kekuasaan yang nantinya akan berbicara tentang ini dan itunya dengan segala
diplomatikanya. Jadi ada yang tidak beres sesungguhnya soal batasan secara
jelas antara lokal dan nasional dalam hal kebudayaan. Dengan begitu, adalah hal
biasa kalau persoalan yang muncul ke permukaan dan untuk kemudian sulit dicari
jalan keluarnya.
Sebut saja,
ketika cengkraman aturan nasional yang mengarah ke wilayah lokal akibat usaha
antisipasi terhadap global kadang merupakan bahasa baru yang menimbulkan
‘kelucuan’ dan semacam olok-olok bagi kearifan lokal yang memang telah menubuh
sebelumnya di daerah tertentu. Munculnya peraturan dan hokum tentang perempuan
dilarang duduk mengangkang di atas motor telah menjadi sesuatu yang memandang
remeh kearifan dan kebiasaan yang tak tercatat tapi telah menjadi aturan yang
diarifi oleh kehidupan masyarakat.
Kearifan
lokal adalah istilah baru yang dimunculkan ke permukaan. Hanya saja jarang kita
dengar kearifan nasional, kearifan internasional maupun global. Nah, untuk
menilik lebih dalam lagi tentang kearifan lokal, sesungguhnya kita mesti masuk
dan kembali menyigi ceruk yang paling dalam perihal bahasa. Peribahasa. Ya,
kata dan penamaan ini telah lama menghilang dalam kehidupan masyarakat. Dia
berada dalam pengetahuan kulitnya saja tanpa ada jabarannya lagi serta
keberadaannya dalam tingkah laku di keseharian hidup manusia Indonesia.
Kalau
dilanjutkan, dan ini mesti dicatat untuk diingat, bahwa sesungguhnya puisi
adalah karya yang harus menginovasinya ke permukaan. Bukankah keberangkatannya
bermula dari pantun, idiom, petatah-petitih, kias, dan lain sebagainya yang merupakan
sumber dari kearifan lokal itu sendiri. Kalau pun dilanjutkan lagi, apalah daya
puisi dalam era Post-Kapital, Post-Feodal dan post-post lainnya: ya, kaum
terhormat yang umumnya datang dari puak/kasta (militer) dan telah menjadikan bahasa yang sesungguhnya
‘rumah’ bagi sastrawan, tak lebih dari sebuah kediaman yang menyimpan kisah
yang melulu persoalan, pertikaian dan, dendam kesumat yang tidak berkesudahan.
Untuk tidak
mengarah pada wilayah yang kusut itu, barangkali perlu tulisan ini kembali
ditajamkan pada mutiara kebudayaan yang semestinya kembali dipeluk mengisi
dada, diiventarisir dan didokumentasi lagi dengan kejujuran yang matang terhadap
alam yang telah menumbuhkannya. Di sanalah masyarakat hidup tenang dengan
kenyamanan tradisi dengan kebiasaan-kebiasaannya serta amat menghargai kata
sepakat dengan mengutuhkan pendapat tentang bulat kata karena mufakat. Dan inilah sesungguhnya kearifan lokal yang
telah menumbuhkan kehidupan kebudayaan yang melahirkan peradaban. Ini penting
sekali untuk tidak menerima keadaan yang akan terjadi nanti begitu saja tanpa citarasa
dan pikiran yang benar-benar membumi.
Butir-butir
kearifan lokal yang tertera di dalam kata dan sengaja ditinggalkan dengan
legowo oleh pemiliknya itu untuk
kemudian berkiblat pada modernitas yang seakan-akan , terus, kemudian berlanjut
dengan era global, telah membuahkan sastra menjadi sesuatu yang tidak ada
apa-apanya karena lebih banyak bermuatan kulit dari pada isi. Demikianlah yang
bisa diperkirakan menjadi sebab musabab yang perlu direnungkan secara nasional
dalam bentuk nilai kebangsaan yang ber-kebhinneka-tunggal-ika-an. Sekedar untuk
tidak begitu saja menerima kearifan lokal sebagai istilah yang tepat, perlu
dimunculkan juga pendapat bahwa dengan adanya penyebutan ini tentu pula akan
ada makna tersirat bahwa tilah dimunculkan dengan sengaja ‘ketidak-arifan
lokal’. Nah. Sangat diharapkan punggawa komunitas dapat menyigi ini lagi lebih
jauh agar kecolongan tidak terjadi terus menerus di negeri yang dijajah oleh kekayaannya
sendiri!
RumahKehidupan, 5
Desember 2013
No comments:
Post a Comment
SILAHKAN TINGGALkAN TANGGAPAN DI SINI