Oleh Irman Syah
Ramadhan! Di Bulan inilah kepastian sikap hidup dan keyakinan
manusia perlu ujian. Apakah memang kita beriman: bukankah himbauan adanya bagi
orang-orang yang beriman? Nah. Bulan Suci 1434 H telah mengabarkan ampunan
kepada manusia, dan manusia pun menanggapi bulan itu dengan keragaman pandangannya
di penjuru negeri. Ya, apakah disebabkan perbedaan penentuan tanggal jatuhnya
puasa atau bisa pula suara-suara yang berseliweran yang entah mewakili siapa
itu ikut pula menanggapi pendapat dan pandangan yang sesungguhnya mereka juga
tidak paham sama sekali.
Kasian memang. Begitulah negeri ini yang kini tengah berada
dalam masa transisi dengan cermin yang tak jelas dalam berkaca. Berpucuk dari
persoalan semacam ini, maka kian tumbuh saja pertikaian dan perbedaan yang
mengantarkan kesimpang-siuran bahasa. Kadang tajam menukik, kadang memilih
sikapnya dengan kekukuhan tersndiri, kadang menyalahkan dengan tudingan, ya
begitu maraknya keruncingan persoalan hingga menjadi tak berhingga.
Keberagaman
pendapat dan kesimpang-siuran kata dan umpatan itu sesungguhnya kekayaan yang
mesti disaring. Jangan pula sampai dijadikan bangunan utuh, tempat berdiamnya keegoan
yang nantinya akan menggampangkan jatuhnya penilaian, menghancurkan tatanan dan
nilai-nilai kebangsaan melalui runcingnya ketakberimanan manusia. Kekayaan pendapat
adalah kekuatan dan sekaligus juga kelemahan yang amat memalukan. Begitulah kenyataannya, bergulirlah
bahasa-bahasa kehidupan yang tak hidup itu ketika masyarakat sedang menunggu kapan
jatuhnya hari pertama puasa
.
Mungkin
dengan sedikit menarik nafas yang agak dalam, barangkali bahasa yang lahir akan
menjadi lebih bijaksana dan dewasa keluarnya di mulut-mulut pendapat yang
mengemuka. Dengan kata lain, karena nafas yang tak menentu, atau bisa jadi juga
karena bernafas di luar badan ditambah lagi karena sering terburu-buru akhirnya
kelahiran pendapat dan bahasa pun berubah menjadi gunjingan dan tudingan yang
mempertontonkan kehancuran persatuan kebangsaan di negeri yang petuahnya menyatakan
bahwa ‘Bahasa menunjukkan Bangsa’.
Gunjingan
dan bahasa yang berseliweran itu sesungguhnyalah wilayah tradisi yang biasanya
dihidupi oleh kaum perempuan. Makanya, hal tersebut jangan pula sampai mengubah
sifat dan sikap diri jadi ganti kelamin tanpa disadari. Bukankah itu sesuatu
yang mustahil, tapi anehnya bisa terjadi dan terlihat pula secara nyata. Apa dan
siapa sesungguhnya yang telah meracuni?
“Ah,
biarlah.. Kalau memang sudah begitu adanya mau diapakan lagi?” Kadang kalimat
semacam ini bisa kita dengar di mana saja; bisa saja di sekolah, kampus, warung-warung pinggir jalan, rumah tangga,
kantor atau perusahaan dan lain sebagainya. Ini biasanya terjadi ketika pikiran terbentur dan mengarah pada
persoalan yang rumit. Entah ini disebabkan malas, entah tak kuat berpikir atau
memang sudah tidak mau-tahu. Duh, ini menyedihkan, sementara sikap semacam ini nyata-nyata
akan memperburuk keadaan dan malah bisa mendatangkan bencana. Kenyataan ini
adalah merupakan salah satu dari sikap hidup manusia Indonesia yang perlu
ditelusuri sebab-musababnya.
Dalam
kondisi negeri yang kronis ini, Ramadhan datang untuk melunturkan ego personal
dan ego kultural yang meraja, mensucikan diri manusia yang penuh noda, ibadah
dan penyerahan jiwa dalam perujudan tingkat ketakwaan masing-masing jiwa.
Pertengkaran dan perdebatan telah menyambutnya dengan seksama dan dengan
disaksikan seluruh rakyat yang mendiami negeri tercinta. Semoga tersaringlah
kata-kata, agar hidup menemui kebanggaannya. Bukankah kita semua berasal
dari-Nya. Janganlah gampang menilai dan meniadakan apa dan siapa saja karena Tuhanmu akan menyampaikan
murka-Nya. Selamat menempuh puasa Ramadhan 1434 H, semoga Allah Swt memberikan
hikmah dan hidayah bagi kita umat-Nya
.
RoKe’S,
11 Juli 2013
Salam kenal, Kang Irman.
ReplyDeletenama saya Fandi, dari Jogja.
Sedikit komentar.
Saya sering mendengar kritik bahwa sejatinya, butir ke-3 dari Sumpah Pemuda itu direvisi saja.
BUKANNYA (seperti yang ada sekarang ini)
"... mengaku berbahasa satu Bahasa Indonesia."
melainkan
"... mengaku berbahasa PERSATUAN Bahasa Indonesia." sebagaimana dirunut dari naskah aslinya sebelum dipatenkan.
Saya pikir kekeliruan kita memaknai kepentingan budaya kedaerahan bisa muncul dari banyak hulu, akan tetapi banyak pesan dasar dalam sejarah pembentukan bangsa kita sendiri sudah keliru memberikan ketegasan soal ini.