Oleh Irman
Syah
Membicarakan dan menyigi kembali keberadaan Pancasila,
rasanya kita seakan dailunkan lagi oleh angin keagungan masalalu yang
sesungguhnya belum pernah dinikmati secara penuh hingga hari ini. Horison harapan
yang dikandungnya merupakan capaian pikiran mendasar yang sudah lama tertanam di
dalam jiwa bangsa berpuluh-puluh atau ratusan tahun lamanya. Landasan dasar
‘Kebangsaan Indonesia’ yang majemuk ini memiliki aneka warna cara berpikir adalah sebuah kekuatan yang mesti selalu dijaga.
Lima perasaan dasar yang dikandungnya dan merupakan sila itu
adalah tatanan nilai yang telah tumbuh dalam tubuh bangsa di negeri ini
sebelumnya. Kesatuan nilai yang dirangkumnya hendaknya mesti tetap jadi pandangan
kebangasaan yang seharusnya dipertahankan. Makna kekuatan atas kebersamaan dari
butir-butirnya akan hidup sepanjang masa. Begitulah harapan yang menjuntai di
ujungnya. Tinggal mempertegas kejelasan pelaksanaannya saja.
Waktu menggulirkan perjalanan. Hidup kian memperbaharui
kenyataan. Ada yang tercecer, tertingal dan terlupakan. Kalau tidak begitu
kejadiannya, keberadaan sebuah negeri akan menjadi lebih tertata dan memiliki
arah yang jelas dan terang ke depannya.
Bukankah dengan begitu kita akan lebih sedikit lega karena ada dasar kesepakatan
bersama yang dijadikan patokan atas segala sesuatunya bagi di negeri ini.
Berganti rezim, berganti kebijakan, dan penekanan pandangan
pun menjadi sesuatu yang kadang terlepas dari genggaman. Nilai kebangsaan
seakan sulit untuk dijelaskan. Palingan cuma kalimat beberapa tokoh yang hanya
mampu mengatakan bahwa nilai kebangsaan kita hancur, tapi tersebab dan
bagaimana kondisi kehancurannya tidak ada seorang pun yang mampu menyambungnya.
Artinya, negeri ini telah begitu berjarak dengan harapan dan niat tulus
Founding Father yang menanamkan pokok dan pohon kehidupan.
Kenyataan yang terpampang dan terpajang di depan mata setiap
saat ketika kita melihat dan membaca berita media massa atau gambar bergerak di
televisi adalah gambaran buruk tentang penyelewengan nilai-nilai tersebut.
Bagaimana korupsi merebak dan menjalari setiap inchi di sendi kehidupan tubuh Negara.
Apalagi yang akan mampu diucapkan tentang nilai jika penyelenggara negara itu sendiri pula yang terlebih dahulu menyalahgunakannya. Patokan dasar semacam apa yang dijadikan mereka sebagai dasar prilaku itu?
Akhirnya, kehidupan rakyat menjadi sesuatu yang selalu
dibulan-bulani kenyataan tersebab dari akibat itu semua. Hidup dengan ketidaknyamanan
dan dengan kondisi morat-marit. Sementara, dalam kesibukan pesta demokrasi, atau pemilu, telah begitu
banyaknya calon yang tidak malu lagi untuk menonjolkan dirinya agar dipilih dan
bahkan dengan tidak segan-segan membangun janji yang sesungguhnya polesan
kebohongan belaka. Landasan ideal macam apa pula yang sesungguhnya telah mereka
pahami? Miris memang. ***
RoKe’S, 6 Juni 2013
No comments:
Post a Comment
SILAHKAN TINGGALkAN TANGGAPAN DI SINI