Oleh Irman
Syah
Benar, simpang itu memisah kawan: tapi, simpang juga kadang
djadikan tempat untuk pertemuan, janji dan ikatan. Artinya, keberadaan simpang
tergantung kehendak yang ada di dalam diri manusia itu sendiri untuk
menjadikannya apa? Bertemu atau pun berpisah, kalau memang itu kehendak dan
pilihan tentulah akan menjadikan keputusan itu bukanlah keputus-asaan. Sikap
dan keterusteranganlah yang mampu menjawab kenyataan di depan.
Di negeri yang indah ini, tanah yang lapang dan
bertumpak-tumpak yang terdiri dari berbagai pulau, mengandung gunung dan lembah
yang dimiliki bangsa ini adalah ibu pertiwi yang merindukan anaknya pulang.
Hamparan samudera tentulah ikatan yang membangun rindu yang mesti dilayari dengan
penuh kasih-sayang. Laut, pemandangan kebiruan atau kepak burung camar tentulah
perekat pertemuan bagi masing-masing suku bangsa.
Kalau itu semua disadari dengan ketulusan hati serta saling
menghargai perbedaan untuk sebuah niat yang sama atas persatuan dalam
menghadapi tantangan baik dalam tubuh negeri atau dari luarnya tentu nilai
kebersamaan pastilah akan mejadi patokan sikap dan pilihan. Rasa cinta akan
tanah air adalah satu-satunya jalan untuk memperbaiki kenyataan hidup
masyarakatnya.
Tanahair, ya, Ibu Pertiwi yang menyimpan segenap keluh-kesah
dengan penuh kesabaran adalah analogi yang sama dengan makna ‘perempuan’ yang
setia atas kodrat yang dimilikinya. Di zaman yang serba tergesa ini memang banyak hal yang membuat
para ibu atau perempuan-perempuan negeri ini tersudutkan oleh kehidupan dan
perkembangan yang tiada batas dari sebuah kekuasaan yang maha hebat yang
dirancang oleh system dunia kehidupan universal dan global. Degan demikian,
tradisi yang hilang atau kebudayaan yang tak lagi jadi acuan kian membuat
mereka terpinggirkan secara nilai dan keluasan gerak kodratinya.
Apalagi tanah tempat mereka tinggal dan ‘mengeram’ untuk
melahirkan keturunannya jadi kian sempit dan mulai hilang. Kekuasaan tanah yang
disebut dengan milik Negara telah membuat mereka hidup menggelandang ke
mana-mana. Kesempatan kerja dengan mengolah tanah tentu saja menjadi sempit dan
tak lagi ada. Akhirnya, dengan terpaksa dan tuntutan zaman mereka ramai-ramai
ke luar negeri untuk mencari kenyamanan yang tak nyaman itu.
Bila disigi lebih jauh, karena mereka tak lagi punya, apalagi
memiliki tempat tinggal sementara tuntutan kehidupan mesti disesuaikan akhirnya
mereka tergiur mencari kerja sampingan yang termudah menghasilkan uang.
Pelarian semacam ini tentulah sesuatu yang tak diinginkan. Jangan salahkan
kalau perempuan-perempuan bangsa ini terjerumus pada bisnis sex komersil yang
kian merebak. Tak dapat dibayangkan pula generasi yang dilahirkan sesudah itu.
Artnya, kelahiran anak bangsa ke depan tentulah amat
merisaukan. Apalagi jika dihubungkan dengan rasa cinta pada tanah air. Demikian
perih bila diucapkan, dan ini tersebab karena tanah yang dengan keasamannya tak
lagi ada menimang-nimang rasa dan impian. Kebangkitan negeri ini tengah berada
di persimpangan: siapa saja bisa lewat, siapa saja bisa singgah untuk kemudian
menanamkan bibit-bibit baru: entahlah akan menumbuhkan pohon persatuan atau
perpisahan. Jawabannya tentulah tak cuma di kepala, tapi ruang dada yang gemuruh
pun wajib menyaringnya.
RoKe’S, 30 Mei 2013
semoga saja persimpangan yang ditemukan adalah tempat pertemuan antar suku bangsa yang memupuk rasa cinta kepada tanah air tercinta dalam bingkai bhineka tunggal ika.salam satu nusa Pak Irmansyah
ReplyDelete