Dalam kenyataan keseharian, entah
kenapa, setiap kita menemukan ragam manusia berbondong-bondong bergerak,
melangkah dan menyuarakan sesuatu dengan pikirannya yang sempit. Menilai dan
menuduh manusia lain dengan caranya sendiri tanpa mempertimbangkan banyak hal
yang semestinya diteliti atau ditelusuri
dulu lebih jauh. Maka, wajar saja kita melihat parade-parade kepala yang kian
menonjolkan dirinya sendiri sebagai sesuatu dan satu-satunya yang mesti dipandang
benar.
Di jalan-jalan, di gedung-gedung,
di parlemen, di rumah-rumah tangga, dan di media-media cetak atau elektronik,
kita selalu dihadapkan dengan persoalan yang semacam ini. Selebihnya cuma iklan
sabun mandi atau apa saja yang dengan sengaja menonjolkan persoalan angka dan
harga. Menyimak dan mengikuti perkembangan kehidupan yang menjalar tak tentu
ini manusia Indonesia telah dikepung oleh beragam persoalan yang datang dari
luar dirnya. Kenyataan ini diserap tanpa disaring. Akhirnya, semua orang sibuk
dengan persoalan baru dari luar diri yang tanpa sengaja telah begitu saja
tumbuh mengakar.
Setiap hari kehidupan bergulir
dengan kesibukan tak menentu. Mempersoalkan orang lain telah menjadi makanan
setiap waktu tanpa menyadari diri sendiri juga terkurung dalam persoalan yang teramat
sunyi di rongga hati, dan tak satu pun pula yang mampu keluar dari dindingannya.
Anehnya, tak seorang pun mengaku dengan kesunyian yang dimilikinya. Semua sibuk
membohongi diri sendiri dan seakan manusia lain tidak tahu persoalannya.
Begitulah kebohongan dipelihara dengan rapi sambil menyalahkan orang lain yang
sesungguhnya belum tentu salah.
Akhirnya semua menonjolkan kepala
dengan mengatakan bahwa pikirannyalah sastu-satnya kebenaran. Kalau sudah
begini, apalagi yang bisa diucapkan bahasa bagi kepala-kepala yang berjalan
sambil berteriak-teriak tentang kesunyian dan penderitaannya sendiri yang
selalu dibunuhnya dengan kepala yang selalu diasahnya di mana-mana. Dimanakah
perasaan menyembunyikan dirinya? Pendidikan telah menajamkan pikiran, memandang
pikiran orang lain adalah satu-satunya kebenaran. Mengungkapkan penilaian
dengan dasar teori atau kebijakan nagara lain yang mereka sendiri juga belum
pernah ke sana.
Ketika agama sering dipersalahkan
pikiran dan para ahli yang nota bene berpendidikan atas kepentingan tertentu,
saat itulah Pendidikan mesti bangkit: mengevaluasi hasil, menilai kekurangan
serta menambal sulam sobekan budi pekerti berdasarkan keasaman tanah dari ilmu
dan pengetahuan yang dibutuhkan. Sekularisasi menjalar tak berbatas, nafas
manusia kian tersengal digiring ke pembantaian kemanusiaan. Kepala-kepala kian
mengutuhkan dirinya menjadi sesuatu yang paling lengkap dengan kesombongan
pikiran. Begitu jauh jarak diri dengan Diri sebagai pencipta langit dan bumi.
Rohani? Ya, begitulah kesepian
menjalar ketika manusia tak lagi menikmati makanan batin itu. Sementara kuliner-kuliner
lainnya pun menjarah rasa dan lidah manusia Indonesia hingga ke ujungnya
melalui gaya hidup keduniawian. Begitu pun kesenian kita telah pula diusiknya
lewat industri yang merajakan kembali
Singgasanya Luth dengan kehedonisannya. Karenanya, kepalkan bahasa rasa dan
periksa bagi keutuhan, kembalikan budaya pada singgasananya yang tepat dengan
usaha. Hadapi!
No comments:
Post a Comment
SILAHKAN TINGGALkAN TANGGAPAN DI SINI