Oleh Irman
Syah
Kepadamu, wahai alam raya yang menggairahkan nafas kehidupan.
Membangkitkan gelora dan pertumbuhan rasa atas pertemuan manusia seadanya.
Arafah yang mengedipkan cinta kasih antara pasangan kehidupan yang melahirkan
anak-anak zaman. Alam rimba, hutan dan seisinya menyaring tingkah-laku hidup dari
asmara yang meggila. Satu demi satu tetesannya itu lahir bertumbuhan serta
mempertengkarkan kedudukan dan kekuasaan. Menikmati pembunuhan yang keji sekedar
untuk mengatakan kau penguasa.
Wahai diri yang selalu menyuarakan kedamaian sendiri dan
kelompok hidup manusia yang tertata, yang diberi akal dan pikiran penyaring
noda, dosa dan prilaku buruk kiebinatangan, bangunlah dari mimpi panjangmu yang
melenakan. Singkapkan tirai cahaya kasih sayang dari keredhaan yang Mahasegala.
Cerminkan kembali keputihan hati, kesucian jiwa, ketulusan cara pandang bagi
sesama. Bangun dan kukuhkan lagi tiang kebudayaan yang proses panjangnya telah
memakan korban tak bertara semenjak purba.
Jangan lagi cermin tipu daya yang kausiarkan ke pucuk-pucuk
zaman: prilaku tipsani (tipu
sana-sini) yang kautularkan demi kepentingan pribadi dan keluarga akan
mengurangi kodrat kemanusiaan yang kau miliki. Meruntuhkan martabat sendiri, mengajak
ketimpangan untuk berjalan beriringan, sehingga persimpangan dan pertikaianlah
yang memaknai penyelewengan sejarah dan peradaban. Pisau dam ketajamannya pasti akan berbalik pada tuannya dan akan
menebas dirimu sendiri pada akhirnya.
Membali-balik kitab kenyataan akan mampu mengantarkan dirimu
ke singgasana kedirian. Diri yang berguna bagi alam raya dan seisinya. Tak
terbayangkan kota-kota dan sungai-sungai purba yang mencahaya mengaliri
lembah-lembah tandus di dasar dada. Sebuah benua yang membentang, atau sebuah
benua yang hilang hanyalah kata-kata. Adalah bahasa yang mesti diterjemahkan
secara arif dengan akal-pikiran dan keyakinan utuh atas Penguasa alam semesta.
Jangan abaikan detak hatimu yang berdenting di malam sepi
tanpa bulan tanpa bintang-bintang tanpa kunang-kunang, karena jiwa akan sulit
menerjemahkan perih atas luka alam semesta bagi kesombongan dan keangkuhan
manusia yang seakan merasa bahwa dialah pemilik segalanya. Padahal hanya
sebintik luka-noda saja bagi tubuh kehidupuan. Ketika angin berputar, semua
akan ditebasnya, semua lenyap bintang gugur gunung meletus, macam kapas di
angin risau.
Akan dibawa kemana diri, selain pulang ke Diri yang
sesungguhnya diri? Kuncupkan mawar di dada semesta, di gurun kegersangan jiwa: miskin
pun tak apa tapi jelas tak menderita.
Bukankah Dia yang Mahasegala punya kuasa: menarilah dalam
cahaya, dalam keputih-hatian yang membawa serta kesadaran akan kehidupan yang
penuh makna. Tegur-sapa dikala duka atau pun suka. Ya, wahai jiwa alam semesta,
tubuhkanlah niat luhur manusia yang selalu berupaya untuk menyingkap dan
menghapus noda atas kesalahan. Izinkan dia menari dalam kekhusyukan do’a lewat
tangan-tangan yang bekerja demi kedamaian atas kodrat keutuhan manusia.**
RoKe’S, 18 April 2013
No comments:
Post a Comment
SILAHKAN TINGGALkAN TANGGAPAN DI SINI