ketika aku menjadi kata,
seseorang
selalu memberatkan makna di inti jiwa
kemudian seorang lagi, sehingga
semua
sepakat menggelariku dengan sebutan-sebutan
kaku; tanah, sawah, gedung, kota,
pabrik, atau
berjuta sebuatan lain yang amat
beratnya
bahka ada pula yang menggunakan
batang-tubuh jiwaku dengan
sebutan yang
memualkan: ular, parasit, kondom,
kapitas, dan sejenisnya..
ah, betapa aku jatuh ke martabat
jahiliyah
sebagai seorang yang telah
menjadi kata
aku ingin digelari sebutan indah
dan melodius
kurindukan kenyataan: arrasy,
nur, qur’an, nabi,
khalifah, atau perangkat
tabi’-tabi-‘in
yang bergerak luwes atas nama
kebenaran
bagiku tak ada lagi yang indah
selain jiwa
yag menari menggapai awan dalam
pergantian
musim: sebuah singgasana
cinta-kasih..
tegur-sapa di saat pergi dan
pulang dari tepian
burung-burung meningkap sayap di
pohon mangga
aku kata lewat siulnya
sebagai kata, aku ingin berada di
beranda putih
merakit awan menjadi mendung,
menanam hujan
bagi daun-daun kering,
kubayangkan bahagia jadi
nyanyi yang menebarkan
kebijaksanaan
sedalam-dalam kalam..
No comments:
Post a Comment
SILAHKAN TINGGALkAN TANGGAPAN DI SINI