Oleh Irman
Syah
Salah satu tujuan hidup manusia adalah mendapatkan kemalasan.
Kemalasan tanpa pikiran adalah kematian. Sebuah kehidupan yang tak hidup karena
kebodohan. Maka, mengalirlah kenyataan mengisi waktu demi waktu tanpa mengenal
diri terlebih dahulu.
Kehadiran teknologi yang merambah negeri ini sesungguhnya
adalah produk budaya pikir manusia sebelumnya. Tentu berdasarkan kebutuhan
hidup yang ia ingini, tapi keinginan manusia untuk malas di mana saja
sebenarnya sama. Bedanya cuma cara dan bagaimana untuk mendapatkan kemalasan
itu. Ya. Itu saja.
Sesungguhnya, malas haruslah didapatkan dari kecerdasan.
Andaikan malas didapatkan dari kebodohan berarti konyol. Artinya, pintar itu
untuk malas. Analogi untuk pikiran semacam ini bisa saja ditemukan dalam
kenyataan keseharian. Orang pintar akan punya banyak waktu untuk bisa
bermalasan, sementara orang bodoh akan bermasalah hidupnya bila bermalas-malasan.
Bila dihitung dari ukuran waktu dalam mendapatkan malas,
orang pintar dan orang bodoh jelas sekali perbedaannya. Orang pintar punya
banyak waktu dan orang bodoh tidak begitu. Kasarnya, orang pintar bisa saja
waktu bekerjanya hanya sedikit dan bersenang-senangnya banyak. Kenapa?
Jawabannya gampang ditebak. Kalau tidak karena pintar, tentu saja karena bodoh.
Permasalahan kehidupan yang sampai kini makin menjadi-jadi
tak lain adalah sesuatu yang disebabkan oleh persoalan ini. Persoalan yang
membuat manusia porak-poranda. Kencendruangan di dalam kehidupan masyarakat memang
telah mengacu ke arah malas. Sayang sekali persepsinya jauh berbeda. Kebanyakan
masyarakat kita malasnya yang didahulukan baru berbuat. Semestinya, berbuat
sesuatu dulu baru hasilnya bermalasan. Itu pun untuk sesuatu yang berarti pula
bagi usaha berikutnya.
Mungkin karena malas sudah sudah terlanjur menjadi tujuan
maka ada pula yang berusaha untuk memaksakan kehendak untuk mendapatkan malas
secara cepat. Dengan demikian banyak diantara mereka yang melakukan
mabuk-mabukan sebagai ajang tercepat untuk mendapatkan malas. Ini tentu cara-cara
yang dilakukan oleh orang bodoh. Sayangnya, banyak pula yang meniru-niru.
Entahlah. Apakah memang tingkat kecerdasan manusia kita hari ini berada di
bawah garis normal.
Kemajuan teknologi memang menuntut kecerdasan masyarakat. Andai
tingkat kecerdasan masyarakat tidak begitu kuat maka akan lahrlah budak-budak
teknologi. Tak dapat dibayangkan bagaimana hancurnya generasi mendatang
kalaulah daya pikir yang dimilikinya tidak ada yang membuahkan sesuatu karya dan
yang ada hanyalah kemalasan. Kemalasan tanpa proses yang sungguh-sungguh.
Kemalasan karena bodoh, bukan karena pintar. Barangkali perlu adanya semacam
penyadaran bagi masyarakat agar dapat berbuat sesuatu yang berarti bagi
hidupnya.
Kondisi kekinian amatlah terkesan memabukkan, sementara
menjadi diri sendiri amatlah penting: bukankah sesudah itu manusia baru akan
mendapatkan tujuan. Tujuan serta kebutuhan lainnya baru akan tergambar setelah
manusia itu mengenal dirinya sendiri. Ironisnya, masyarakat kita hari ini nyaris
tidak memiliki cita-cita, yang ada cuma angan-angan, sesuatu yang ada dalam
bayang-bayang dan malas akhirnya menjadi sesuatu yang mengemuka.
RoKe’S, 31 Januari 2013
sampai saat ini akupun tidak tahu masuk golongan yang mana, apakah kaum orang pintar, apakah kaum orang bodoh. Aku merasa ada diantara dua2nya walaupun aku akui lebih condong ke orang bodoh. Dan setelah membaca artikel ini akupun jadi bingung, apa selama ini aku bercita2, atau hanyalah sebuah angan2...
ReplyDeleteAh seandainya......aku bisa kaya, mungkin aku akan jadi orang termalas didunia!