Oleh Irman
Syah
Masih saja suara-suara tak berkeruncingan itu muncul di
permukan bahasa kekinian. Kadang bagai kembang api dalam keramaian umpatan,
kadang bak petasan dan meletupkan guncangan. Masih saja semua itu yang menggemaskan
dan sekaligus menyedihkan: karena hal demikian itu hanya suara-suara tak
bertuan. Suara massa yang terjemahan personal dan kemudian diadu-dombakan tanpa
butir pikiran yang mampu jadi renungan. Melupakan hakikat dan kesungguhan
kejadian.
Semua bergerak membanjirkan kabar, menerangkan keterangan yang sudah terang. Mengabarkan kejadian yang hanya sekedar untuk memeriksanya kembali sendiri. Tentang berapa banyak kesukaan dan komentar yang bermunculan. Begitulah, negeri ini asyik-masyuk dengan kesibukan, semacam kesenangan sendiri sambil bersiul-siul di kamar mandi. Budaya pun bergerak, semakin baru dengan perubahannya, tapi tak banyak yang mampu membuahkan simpulan. Begitulah, banyak sudah ternyata manusia Indonesia yang bersuluh di nan terang.
Semua bergerak membanjirkan kabar, menerangkan keterangan yang sudah terang. Mengabarkan kejadian yang hanya sekedar untuk memeriksanya kembali sendiri. Tentang berapa banyak kesukaan dan komentar yang bermunculan. Begitulah, negeri ini asyik-masyuk dengan kesibukan, semacam kesenangan sendiri sambil bersiul-siul di kamar mandi. Budaya pun bergerak, semakin baru dengan perubahannya, tapi tak banyak yang mampu membuahkan simpulan. Begitulah, banyak sudah ternyata manusia Indonesia yang bersuluh di nan terang.
Menerangkan kegelapan adalah pucuk pekabaran, itulah
sesungguhnya yang dipentingkan. Hanya saja tak banyak yang mampu muncul ke
permukaan. Apalah artinya kabar berita kalau hanya membiaskan kenyataan, apalah
guna menyebar data tanpa makna yang dikemukakan. Padahal di sudut paling gelap
kebudayaan yang diagungkan itu bungkam saja sebagai kata. Tak ada yang sanggup
membangunkannya dengan nyala sumber cahaya bagai pelita. Kalaupun ada palingan
hanya kembali ke masa silam. Membahasakan kebudayaan dengan definisi, atau hanya
sekedar mengungkit-ungkit masalalu. Kasihan.
Memang, kebudayaan itu dinamis. Seperti kata yang sering diucapkan
dan setiap saat, tapi Cuma hafal di mulut saja kebanyakan. Sementara prilaku yang
demikian itu hanyalah bicara permukaan,
atau bermain di pinggiran tanpa menyelam di kedalaman yang padanya menyimpan
gumpalan makna. Demikianlah, banyak para ahli atau konseptor kebudayaan yang kembali
pada kenyataan masa silam, bukan ke hakikat kenyataan yang sesungguhnya. Maka
bermunculanlah upaya untuk menggalakkan kembali seni tradisi dan budaya sebagaimana
adanya dulu, bukan sebagaimana adanya kini yang mengakar.
Kealpaan adalah kenyataan pikiran, tapi melupakan hakikat
adalah pengkhianatan terhadap akal budi. Padahal di sanalah tersimpan beragam
kandungan yang dapat membutirkan perilaku berdasarkan nilai melalui fitrah atas
kesahajaan akan semesta. Maka, ketahuanlah bahwa manusia Indonesia sesugguhnya telah
kehilangan kediriannya. Tak bisa lagi mengungkapkan kehidupan kebudayaannya
sendiri karena telah kehilangan lidah ketimuran. Memang, kalau terlanjur
bernafas ke luar badan maka cara pandang pun jadi terbalik. Wajar saja bila tak
mampu lagi menggunakan lidah sendiri, mengecap asin dan manisnya aturan sebagai
ukuran.
Kembalilah pada bahasa, pulanglah ke diri sendiri. Salami
nada dan bunyikan alam berdasarkan kenyataan. Berbuat! Salah di ujung kembali
ke pangkal mula. Jenguk dan dalami diri melalui asal-muasal kehidupan. Kalaulah
demikian, lidah akan kembali mampu mengucapkan kata pada kebenaran. Keasaman
tanah di negeri tercinta akan selalu menyuburkan pandangan akan kebudayaan.
Hanya kesenianlah yang bisa dan mampu membahasakan carut-carut marut kenyataan
kehidupan, maka kampungkan lagi nilai-nilai yang didendangkan itu melalui
kesusastraan dan karya seni lainnya meski keperihan yang sering bermunculan
atas sunyinya perjalanan yang dilenggangkan.
RoKe’S, 22 Januari 2013
rangkaian kata2 yang indah nan menyejukkan, bak kato rang minang "lamaknyo kuaci jiko dikupeh"
ReplyDeletesalam kenal.....