Buah Bibir



Cerita Pendek Irman Syah

1

Tek Rasidah begitu bahagia.
Begitu pula Pak Malin Sati.
Anak mereka satu-satunya,
Matrilina, segera pulang dari kota.
Telah lulus ujuian sarjana,
tinggal menunggu diwisuda.
Senang hati tak berkira,
hilang penat nan diderita,
gadis cantik nan elok rupa,
pamenan mata nan muda-muda.
Matrilina bakal di depan mata.

Meski anak satu-satunya,
putri tunggal badan seorang,
dibuai disayang dan dimanja,
tetap tak membuatnya teranja-anja.
Tak ada waktu yang terbuang,
apalagi menyiram bunga.
Sikap serta tingkah lakunya,
cermin kaca anak sebaya,
buah bibir yang tua-tua

Rasidah beranjak ke beranda,
Malin Sati terduduk di kursinya.
Dibakarnya rokok daun nipah,
asap jemba-menjemba mata.
Kopi separo direguknya,
pembasah kelat kerongkongan.
Dipandangnya lagi surat di meja,
ingatan melayang kepada Sapar.
Kemenakan kandung badan diri,
yang tak berjodoh dengan anaknya

“Jangan dipikir masa yang lama
Matrilina mungkin lah melupkannya,”
Rasidah menawar hati suaminya.
Matanya tak lepas memandang bunga
meski ujungnya ke Malin Sati,
mengikuti gerak dan air muka
Tidak mungkin!
Matrilina pasti masih mengingatnya,
rasa bersalah menggangu jiwa.
Barulah kini tahu Malin Sati,
makna kerasnya hati Matrilina,
menolak perjodohan dengan Sapar
guru Madrasah di Pekan Kamis.
Dengan uang bulanan yang sering kurang,
tetap kuliah dan menamatkannya

Malin Sati tak mampu meneruskan pikirannya.
Di hati kecilnya waktu itu,
cuma membahagiakan hati anaknya,
sekalian tercapai cita-citanya.
Apalagi hidup di kota,
sebuah daerah tak teraba.
Menguliahkan anak dengan tani,
jangan-jangan putus di tenmgah jalan,
tapi yang terjadi waktu itu,
Matrilina menuding tanggung-jawabnya,
tamparan mendarat di pipi anaknya

“Pak, mawar yang disukai Matrilina
kini mengembangkan kelopaknya,”
Rasidah berharap Malin Sati bangkit,
tuk beranjak ikut menikmatinya

Keduanya kini sama di beranda,
Sama-sama memperhatikan bunga,
yang selalu dirawat Matrilina,
pabila pulang sesekali.
Mereka berdua juga tak lupa,
memperbaiki taman dan pagarnya.
Bunga-bunga pun seakan tahu,
dia menyambut kedatangan Matrilina

“Sudahlah, semua akan segera selesai,
persoalan lama pastikan hilang.
Apalagi cita-citanya telah tercapai,
ia kan sudah sarjana pula,”
kembali Rasidah menenangkan hati suaminya
tak ingin Malin Sati tekanan batin.

Sore mulai merengkuh senja.
Burung-burung pipit bercericit di pohon pinang.
Angin berhembus dari Tilatang,
Kelelawar yang bergerombol
Terbang pulang ke Bukit Kawin
oleng-kemoleng dari bukit Kamang,
kepaknya lelah menyongsong arah,
dan anak-anak menyorakinya
“he wah he wah he wah he wah!”
kemudian senja jadi redup.
Senyap oleh panggilan nyaring
ibu-ibu yang anaknya belum pulang.
Hanya derak dan debum dari jendela.
Pintu tertutup menandai malam

Kedai kopi Mak Raga selalu ribut,
Begitu setiap malam
malah hingga dini hari.
Riuh rendah dari kejauhan.
Batu domimo berdentang-dentang.
Gelak dan tawa anak muda,
seakan menjadi musik warga menjelang pagi.
Mereka bertaruh, judi kecil-kecilan
Ada juga yang main kowa dengan kertas ceki,
atau song dengan kertas remi.
Cerita pun melayang sana-sini.

Entah siapa yang memulai
cerita sampai ke Matrilina.
Gadis cantik tunggal-berbeleng,
anak tek Rasidah yang bersawah di Napa,
kini tlah pulang dari kota.
Kabarnya sudah jadi sarjana.
Hempasan kartu kadang berhenti
berganti dengan gelak-tawa.
Pertengkaran kecil pun kadang muncul,
terkadang hanya persoalan mata,
atau uang taruhan yang kurang di meja.

“Orang seperti kita tidak ada artinya bagi Matrilina,
suka begadang, judi, dan mabuk
meski pun kita punya uang banyak..”
Acin Nasir berpendapat
tentu saja dengan mengepulkan asap rokoknya..

“Apalagi kita jarang ke Jumat,”
tambah Basir..
“Belum tentu,” sanggah Cinok Nofri,
“Matrilina bukan tipe kampungan,
apalagi ke-alim-aliman. Ia itu Perempuan.
Tambahan lagi, budaya kota telah menjamahnya,”
sambung Cinok Nofri dengan butir pikirannya.
“Mobil opletmu takkan berarti di matanya!”
tuding Basir meninggi.
“Sudah-sudah.. kita belum cocok menjadi apak paja..”
Acin tertawa, kemudian mengocok batu di meja.

Bunyi terdengar menggaga-gaga
berderak-derak di papan triplek
sebuah alas yang disengaja
dan tawa baru terhenti ketika mereka
memungut batu tujuh perorang,
ditegakkan bagai berkaca.

Parewa belum lagi mengambil batunya,
Kawan-kawannya jadi terpanah.
Dalam pikiran Parewa bermain gambaran,
anak-anak muda seperti mereka
memang belum cocok menjadi seorang Bapak
bagi anak-anak yang bakal lahir
dari rahim Matrilina.
Yah, masih sering suka berhura-hura…

Permainan terus berlangsung.
Jarak meja dengan meja,
Dengan permainan yang berbeda,
Bigitu pula taruhannya,
Takkan sempat bertukar kata
Kecuali ada cerita yang sama
maka kata melintas dan menyeberang.
Biasanya dengan cerita yang mengena
seperti halnya soal wanita,
dan pagi pun hadir tanpa diduga.

Kabar mengalir begitu saja,
kehidupan terdampar di lipatannya.
Begitulah Matrilina..
Tak banyak yang berubah dari dirinya,
masih suka menyiram bunga,
pagi sepulang dari mushalla.

Matrilina, cerita baru sentuhan lama,
bahan bahasa bagi yang tua
tuk berpetuah pada anaknya.
Contoh teladan elok budinya,
buah bibir siapa saja…
Rasidah begitu bahagia, Malin Sati begitu pula,
menikmati bahagia dari istrinya.
Dalam kepala mereka berdua,
Selalu saja berdengung tanya:
Siapakah bakal Junjungannya?

Acin Nasir, Cinok Nofri, Basir dan Parewa,
beserta kawan-kawan sejawatnya
kini tak lagi duduk di kedai Mak Raga
kecuali Malam Minggu saja.
Kalau tidak di Karang Taruna, mungkin
di lapangan olahraga
mereka mengurus dan merumuskannya.
Setiap Kamis malam sudah pasti ke mushalla
Mengikuti pengajian Wirid Remaja.
Yang membuat mereka terkesima
selalu saja tutup kepala Matrilina,
kalau tidak merah menyala tentulah berwarna
biru muda: indah bagai rangkaian bunga
buah bibir pautan suka.
Matrilina tetap biasa-biasa saja
tak membayang sombong dan bangga..
3
Tak ada angin tak ada badai,
semua berita dikungkung duka.
Warga tersedak, bagai makan terlambat air
dan batuk datang tiba-tiba.
Nasi tersesat naik ke hidung. Meninggal?
Matrilina meninggal dunia?

Tentu saja banyak yang meneteskan airmata,
membekukan duka para pemuda.
Bedug diguguh tiga-tiga
Orang melayat aneka rupa, rumah Rasidah
jadi sasarannya.
Dalam ramainya suasana, masih terbayang Matrilina.
Warga seakan tidak percaya.
Padahal di depan mata mereka
Tepatnya di ruang tengah rumah
Bertutupkan kain panjang
telah membujur kaku mayat Matrilina.

Tibalah saat memandikan..
Air dibawa berember-pember,
tandu dan wadah telah siap sedia.
Tentulah kuburan kan dijelangnya,
Ibu-ibu yang terpilih pada sibuk bolak-balik
Kadang masuk kadang keluar kamar
Tempat mayatnya dipindahkan,
tempat di mana mayat dimandikan.
Tek Rasidah ada di antara mereka.
Dengan makna kehilangan di mukanya,
Ia tampak sabar dan tabah.
Lain halnya Pak Malin Sati,
tak kuasa mengangkat kepalanya..
Sementara Sapar kemenakannya
berusaha untuk menenangkan
tapi kecamuk dalam batinnya
tetap saja tak mampu mereda.

Di ujung rumah dekat arah ke pintu masuk
Tepatnya dekat jendela para pemuda terlihat pula.
Mereka tak banyak berkata-kata.
Acin Nasir, Cinok Nofri, Basir dan Parewa
Tampaknya begitu berduka,
Mereka cuma bisa berdiri.
Tempat duduk sudah tak ada.
Rumah duka disesaki tua dan muda.

Lain di luar lain di dalam,
tempat di mana mayat dimandikan
sedang terjadi upacara.
Seorang perempuan agak tua bertindak jadi Pengetua
Rasidah berdiri di arah kepala.
Mereka memulai dengan doa,
bekerja tak bersuara
kalau ada yang mereka perlukan
mereka bahasakan dengan berbisik.
Ada yang menyiram muka
kemudian ke seluruh tubuh
semua sibuk dengan khusyuknya.
Ada yang memindahkan ember yang kosong
menggantinya dengan ember yang penuh,
ada pula yang meluruskan selang air
agar leluasa mengalir ke bawah kandang
dan bermuara ke kolam ikan.

Rasidah tampak begitu tabah
Membarutkan kain basah ke muka mayat anaknya.
Tak seorang pun yang menyangka
Atau pun mengira-ngira
Kejadian datang begitu tiba-tiba
Rasidah terpekik dan menjerit:
Tattoo bergambar kupu-kupu melekat hinggap
di tubuh mayat anaknya.
Tepat bertengger di bawah pusar sang mayat.
Untung saja perempuan lain sigap menyambut,
Kalau tidak pastilah Rasidah akan tersungkur
di bawah mayat anak sendiri.

Ruang tengah jadi gemuruh..
Jeritan lengking dari dalam kamar
Tempat mayat dimandikan membuat tamu
sontak terkejut dan berdiri.
Ada pula yang secara reflek berlari ke arah suara.
Ada pula seorang Lelaki menyeruak masuk.

“Sabar, sabar…tak apa-apa..,”
cegat perempuan Pengetua di mulut pintu
“Kenapa? Ada apa?”
Tanya Laki-laki itu beruntun,
yang tak lain adalah saudara laki-laki dari Rasidah
sambil menyambut tubuh adiknya yang pingsan.
dari tiga orang perempuan yang membopongnya.

“Dia belum siap menerima…”
jawab perempuan pengetua dengan bahasa bijaksana
sembari menenangkan wajah yang penuh tanda tanya.
Rasidah digotong ke kamar ujung,
Malin Sati dan Sapar pun ikut pula.

Setelah peristiwa itu, bahka di bulan-bulan sesuadahnya
Tak ada seorang pun ada dari masyarakat yang tahu,
akan peristiwa yang sesungguhnya,
selain Rasidah dan perempuan yang memandikannya..
Matrilina tetaplah menjadi buah bibir sepanjang zaman,
tentang keelokan dan suri tauladannya…
 (Jakarta, Desember 2006)

Share:
spacer

2 comments:

  1. Replies
    1. Hehehe..
      Iya, Bang An. Masih berusaha mencari gaya penceritaan yang tepat untuk penulisan cerita-cerita.

      Makasih telah singgah.
      Salam Kreatif.

      Delete

SILAHKAN TINGGALkAN TANGGAPAN DI SINI