Seharusnya ku mampu menegakkan wajah di hadapan orang-orang ini,/tapi moral ku tak cukup kuat bertopeng, bahwa wajah-wajah ini/tidak sedang mengemis. Mereka sedang menggugat haknya.//Antri panjang di tengah terik yang menyengat, menjadi tugas tambahan/dari para perempuan yang tak lagi muda ini. Saatku berada dalam nyaman/gedung ber-ac, mungkin aku tak selalu ingat bahwa kini para perempuan/miskin ini, bertambah satu kewajibannya; antri!//Tak hanya minyak, beras dan mie instan, kini singkong pun mereka rebut.
Bait-bait puisi itu, begitu dekat dan akrab dengan potret masyarakat Indonesia dewasa ini. Akan tetapi, di tangan Ketua Komisi IX DPR-RI, Ribka Tjiptaning Proletariyati, puisi itu menjadi perlawanannya. "Ucapanku adalah Perlawananku!" kata Tjiptaning., yang juga sekaligus menjadi judul buku kumpulan puisi "Ucapanku adalah Perlawananku!" yang diluncurkan, Minggu (1/6) malam di Warung Daun, Cikini Raya, Jakarta Pusat.
Peluncuran buku yang dihadiri ratusan orang dari berbagai kalangan itu, baik tokoh politik, wakil rakyat, tokoh partai, dan masyarakat luas dibuka dengan penampilan memukau penyair dan pembaca puisi terkemuka Irman Syah, sekitar 15 menit.
Dengan alunan bansi yang syahdu dan merdu, Irman Syah mengiring ratusan hadirin, yang antara lain salah seorang penghulu Taufik Kiemas, ke nuansa Ranah Minangkabau yang banyak melahirkan tokoh-tokoh kaliber nasional dan internasional.
"... bagaimana aku menciptakan negeri kalau hanya sebatas dendam/karena melulu kekuasaan yang mengalir membanjiri semesta/menestapa, begitu jauh negeri kemanusiaan: tahta-tahta, titah-titah,/menatihkan segala, orang-orang berumah dalam handphone, bersandiwara/di mesin hitung membunuh nurani," demikian pembacaan Irman Syah, dengan gayanya nan khas dan menarik.
Tjiptaning mengatakan, peluncuran buku kumpulan puisi "Ucapanku adalah Perlawananku!" (Editor Yulistini, Nurani, Desain grafis Revitriyoso Husodo, Penerbit Srikandi Demokrasi Indonesia, Juni 2008) sekaligus menandai hari ulang tahunnya yang ke-50.
"Ide penerbitan buku ini dari Gus Dur. Menulis puisi bagi saya adalah pernyataan diri bahwa kita ada dan berproses dengan jalinan kisah yang tidak sederhana. Masing-masing orang memiliki cerita utuh tentang keakuannya, termasuk saya Untuk itu, puisi ini adalah gambaran perjalanan seorang Ribka Tjiptaning, sebagai seorang anak PKI, dokter, aktivis, dan pengurus partai, sekaligus anggota DPR RI dan kini menjabat ketua komisi IX DPR RI," ungkapnya.
Menurut dia, pengalaman pahit, heroik, dan melankolis dapat menjadi pembelajaran, bahwa konsistensi dari sikap yang melawan ketidakadilan dan berkomitmen kepada wong cilik pada akhirnya mampu membawa perubahan.
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Erman Suparno dalam komentarnya mengatakan, Ribka Tjiptaning adalah pribadi yang gigih dalam membela kepentingan orang kecil. Ia berani dan tegas menyampaikan pendapatnya di berbagai kesempatan, tidak saja di dalam forum sidang, namun juga di dalam kesempatan tertentu di luar sidang.
"Beliau sebagai Ketua Komisi IX DPR RI yang juga merupakan mitra kerja Depnakertrans, banyak mencetuskan gagasan yang baik, sehingga temua masalah ketenagakerjaan dan ketransmigrasian dapat diperbaiki dari waktu ke waktu. Di bawah kepemimpinan Ribka Tjiptaning banyak menghasilkan keputusan politik yang mendorong pemerintah untuk lebih memperhatikan nasib penangguran dan masyarakat miskin," katanya.
Tjiptaning dalam puisi Suara-suara menulis; Adakah yang lebih membangkitkan nafsu, lebih dari kekuasaan?/Semua bertaruh, atas nama suara-suara yang telah memilih mereka./Suara itu selalu tersebut dalam setiap rapat, jumpa pers dan tentu saja/jumpa konstituen!//Tapi orang miskin makin banyak. Pengangguran semakin besar. Lalu apa makna suara-suara itu terucap dalam setiap rapat?//
Sebuah sindiran dan menghujam dalam kepada penguasa dari Tjiptaning. (Yurnaldi/Kompas)
No comments:
Post a Comment
SILAHKAN TINGGALkAN TANGGAPAN DI SINI