Oleh: IrmanSyah
(Sebuah Abstraksi Pemikiran)
Kesusastraan, Sastra, dan Bahasa, adalah 'Tali Tiga Sepilin', 'Dalihan Natolu', 'Satu Tungku Tiga Batu' di Papua, atau Tiga Tungku Sejarangan di Minangkaba” serta lain-lain sebagainya menurut kekayaan dan dialeka kebudayaan masing-masing daerah yang begitu beragam dengan keunikannya di Negeri ini. Sastra, jelaslah melingkup semua itu..
Tiang yang paling penting di sini tentulah bahasa: Bahasa gerak-gerik, air muka, tingkah-laku, tutur-ucap serta segala macamnya yang dapat dijadikan sebagai cerminan budi-bahasa, dan tentu pula jelas-jelas bukan Cermin Tipudaya. Kesatuan bahasalah yang menjadi sumber pokok dari semua persoalan yang diramunya menjadi begitupadu: homogen dengan keheterogenannya dalam membangun keutuhan dan keharmonisasian komunikasi kehidupan.
Apakabar bahasa Indonesia hari ini? Bahasa yang porakporanda. Bahasa yang memecah belah keutuhan. Bahasa yang centang prenang, kalah telak dari kenyataan hidup yang tragik dalam keseharian manusia. Di manakah Sastra bakal bermukin? Bagaimana Status? laki-laki, perempuan, 'bencos', 'homreng' atau 'lesbiola'kah..? Siapa pula pacar, istri/suami serta Anaknya? Ya, kalau itu ditata dan bisa di data lebih jauh lagi..
Apakabar bahasa Indonesia hari ini? Bahasa yang porakporanda. Bahasa yang memecah belah keutuhan. Bahasa yang centang prenang, kalah telak dari kenyataan hidup yang tragik dalam keseharian manusia. Di manakah Sastra bakal bermukin? Bagaimana Status? laki-laki, perempuan, 'bencos', 'homreng' atau 'lesbiola'kah..? Siapa pula pacar, istri/suami serta Anaknya? Ya, kalau itu ditata dan bisa di data lebih jauh lagi..
Mengenang semua itu, membayangkan ruang lingkupnya yang mahaluas, langit dan bumi, jadinya untuk mempertanyakan 'masadepan sastra indonesia' itu pun membuat kita menjadi gamang. Apalagi, kreator? pencipta sastra, dia bukanlah orang kebanyakan, men.. : seorang linguis pasti. Dengan begitu, bibit-bibit yang bernas untuk inilah kini yang semestinya perlu ada. Tentulah pula, tetap dari akar yang membersit di bumi ini, yang kemudian mampu bertahan: tiba di mata tak dipicingkan, sampai di perut tak dikempiskan. Siapa, Dia?
Kalau kita kembalikan sastra ke akarnya lewat idiom-idiom di atas, tentulah akan lahir lagi karya yang betul-betul membumi: dan “setampang benih” macam mana pula yang mesti dipilih untuk ditanam? Ph tanah yang seperti apa dan di mana pula tanah yang mampu menyuburkan? Dialog, kongkow-kongkkow semacam ini tentu bakal memberikan angin segar untuk sebuah kelahiran kesusastraan indonesia, dengn huruf “K” (K kapital tentunya..).
Kalau bahasa belum mampu menunjukkan bangsa, sastra macam apa pula kini yang bertebaran...? Makanya mari pasang badan! Dengan muka yang jernih, hati yang lapang, kita teriakkan “siang bak hari, terang bak bulan...!”, bernyata-nyata, kongkrit-konkrit aja. Masadepan sastra Indonesia, tentulah kelahiran karya yang mampu menaruh 'mahkota' kelayakan hidup manusia, yang wajib hidup layak di Zamrut Khatulistiwa! Bangunan peradaban: lain tidak! (Komunitas Planet Senen, Jakarta, 09 Juli 2009)
No comments:
Post a Comment
SILAHKAN TINGGALkAN TANGGAPAN DI SINI